• Tentang UGM
  • Penelitian
  • Perpustakaan
Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Lingkungan Hidup
Universitas Gadjah Mada
  • Profil
    • Sambutan Kepala PSLH
    • Visi dan Misi
    • Sejarah PSLH UGM
    • Kegiatan
    • Hubungi Kami
  • Pengelola dan Staff
    • Kepala PSLH
    • Kepala Bidang
    • Bidang Pelatihan dan Kerjasama
    • Bidang Penelitian Pengabdian Masyarakat
    • Bidang Publikasi
    • Bidang Administrasi Umum dan Kepegawaian
    • Bidang Keuangan dan Inventaris Aset
    • Bidang Media dan IT
  • Pelatihan
    • Agenda Pelatihan
    • World Bank
    • FAQ
  • Resource
    • Opac
    • Info Layanan
    • Referensi
    • Text Book
    • Hasil Penelitian
    • Pengadaan Buku
    • Jurnal
      • Jurnal Umum
      • Jurnal PSLH
    • Penerbitan
    • Buku Tamu
  • Event
    • Hibah Penelitian Mahasiswa Tahun 2023
    • Prosedur Peminjaman Ruang
    • Desa Wisata Pinge
    • Pameran Virtual
    • Pendaftaran Webinar
    • Download
      • Virtual Background Webinar
      • Virtual Background
      • e-Book Tata Kelola Sawit Indonesia
  • Blog

Hasil COP 27: Kepedulian Iklim Minus Ambisi

ArtikelBerita Tuesday, 22 November 2022

Pertemuan para pihak/ the Conference of the Parties ke-27 (COP 27) dalam Konferensi Perubahan Iklim ((the United Nations Framework Convention on Climate Change/ UNFCC) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berakhir pada 20 November lalu. Pada tahun 2015 UNFCC melahirkan Persetujuan Paris (Paris Agreement) sebagai hasil pelaksanaan COP 21. Persetujuan Paris adalah perjanjian internasional tentang perubahan iklim yang bertujuan untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C di atas tingkat di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan suhu ke 1,5°C di atas tingkat pra-industrialisasi. Tinjauan atas implementasi dari Persetujuan Paris adalah agenda utama diselenggarakannya COP27. Beberapa hal penting yang telah dicapai dalam COP 27 antara lain, yaitu: read more

hibah pslh ugm 2022 - Copy

Hibah Penelitian Mahasiswa Tahun 2023

BeritaKegiatan Friday, 18 November 2022

Hibah Penelitian PSLH UGM 2023

poster hibah pslh ugm 2023

Panduan Hibah Penelitian PSLH UGM 2023

Dalam rangka meningkatkan kualitas riset, publikasi, dan kultur diseminasi hasil riset yang inklusif di Universitas Gadjah Mada, Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada (PSLH UGM) dengan komitmen tinggi mempersembahkan Program Hibah Penelitian bagi Mahasiswa di tahun 2023.

Untuk lebih jelasnya, silahkan klik download untuk mendapatkan file lengkap mengenai Panduan Hibah Publikasi Penelitian PSLH UGM 2023.

D O W N L O A D

PENDAFTARAN

PENDAFTARAN AKAN DIBUKA PADA TANGGAL 16 JUNI 2022 PUKUL 00.00

PENDAFTARAN

PENDAFTARAN AKAN DITUTUP PADA TANGGAL 9 JULI 2023 PUKUL 23.59 read more

Labelisasi dan Daur Ulang Kemasan Plastik Oleh Produsen

Artikel Thursday, 17 November 2022

Klaim hijau, telah berkembang seiiring meningkatnya permintaan konsumen terhadap produk atau jasa yang ramah lingkungan. Salah satu bentuk klaim hijau tersebut terwujud dalam bentuk simbol “daur ulang” pada kemasan plastik. Sangat mudah ditemukan simbol “daur ulang” pada seluruh kemasan plastik yang kita manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pada tahun lalu, California melakukan terobosan dengan memperluas kriteria teknis atau persyaratan simbol atau labelisasi Daur Ulang pada kemasan plastik. Dimana penggunaan simbol daur ulang pada kemasan plastik mensyaratkan jaminan tersedia dan berjalannya sistem daur ulang bekas kemasan plastik atau sampah plastik sehingga dapat memastikannya untuk tidak berakhir di tempat pembuangan akhir sampah. Karenanya pengguna simbol daur ulang harus memberikan bukti, bahwa kemasan yang bersimbol daur ulang nantinya akan dikelola untuk di daur ulang dan kemudian dapat dipergunakan kembali. Meskipun suatu material atau plastik memang dapat di daur ulang, namun apabila upaya daur ulang yang dibebankan kepada produsen kemasan tidak berjalan, maka material tersebut dikategorikan tidak layak untuk menggunakan simbol “daur ulang”.

Sebelumnya kebijakan simbol daur ulang hanya mensyaratkan material atau bahan baku dari kemasan plastik semata. Tanpa mempertimbangkan terlaksana atau tidaknya upaya daur ulang, yang mencakup upaya pengumpulan sampah, pengolahan sampah dan penggunaan kembali material hasil proses daur ulang. Masalahnya, meskipun material tersebut dapat di daur ulang, namun tidak ada upaya untuk mendaur ulang bekas kemasan atau sampah plastik yang dihasilkan. Akibatnya sampah plastik hanya berakhir di tempat pebuangan akhir sampah tanpa adanya proses daur ulang.

Ada kesan simbolisasi “daur ulang” pada kemasan plastik hanya isapan jempol semata. Karena kenyataannya, pencemaran plastik telah menjadi masalah global. Menurut UNEP, sekitar 7 miliar dari 9,2 miliar ton plastik yang dihasilkan dari tahun 1950-2017 hanya menjadi sampah plastik dan kemudian berakhir di tempat pembuangan akhir atau dibuang ke lingkungan. Sedangkan sampah plastik yang dapat di daur ulang hanya mencapai kurang dari 10% jumlahnya.

Sedikitnya volume sampah plastik yang mampu di daur ulang telah menepis klaim “daur ulang” pada kemasan plastik. Transformasi labelisasi “daur ulang” telah mendorong terlaksananya sistem daur ulang sebagaimana mestinya, melalui penyediaan sarana pengumpulan, pengolahan dan pemanfaatan kembali kemasan plastik yang telah di daur ulang.

Kebijakan labelisasi daur ulang yang dibebankan kepada produsen adalah implementasi dari extended producer responsibility (perluasan tanggung jawab produsen) pada kemasan produk/ jasa. Selama ini, konsumen dan pihak retail telah dibebankan untuk tidak menggunakan kantong plastik sekali pakai. Beberapa daerah di Indonesia telah melarang toko-toko modern dan pusat perbelanjaan untuk menyediakan kantong plastik melalui kebijakan pembatasan kantong plastik. Kebijakan daur ulang yang dibebankan kepada Produsen diharapkan semakin memperkuat kebijakan pengurangan timbulan sampah plastik di Tanah Air.

 

Studi: Landfill Abu Batubara di Amerika Mencemari Air Tanah

Artikel Monday, 14 November 2022

Sebuah laporan studi di Amerika menemukan, bahwa sebanyak 91% pembangkit listrik tenaga batubara di Amerika (265 dari 292) yang diketahui telah mencemari air tanah dengan polutan beracun tidak melakukan penaatan hukum terkait upaya pemulihan akibat pencemaran air tanah yang telah terjadi. Pencemaran bersumber dari kolam penampungan abu sisa pembakaran untuk pembangkit listrik. Studi disusun oleh lembaga Earthjustice dan the Environmental Integrity Project dengan mengamati 292 pembangkit batubara yang beroperasi di Amerika.

Studi tersebut menjadi kelanjutan studi dari earthjustice di tahun 2019. Dimana ditemukan, bahwa sebanyak 242 pembangkit dari 265 pembangkit listrik AS yang memantau air tanah, telah melaporkan tingkat yang tidak aman dari setidaknya satu polutan yang berasal dari abu batubara. Lebih dari setengah fasilitas tersebut melaporkan tingkat arsenik yang tidak aman, karsinogen yang terkait dengan berbagai jenis kanker, dengan 60% menemukan peningkatan lithium, yang dikaitkan dengan kerusakan neurologis.

Pembakaran batu bara di pembangkit listrik batu bara yang menghasilkan abu sisa pembakaran batu bara dapat mengandung tingkat kontaminan yang berbahaya dan merupakan salah satu jenis limbah industri terbesar yang dihasilkan di Amerika Serikat. Pada tahun 2015, Badan Perlindungan Lingkungan Amerika (the US Environmental Protection Agency/ EPA) mengumumkan serangkaian persyaratan yang komprehensif untuk pengelolaan abu batubara di tempat pembuangan akhir dan penimbunan yang dikenal dengan istilah “the Coal Ash Rule”.

Menurut EPA dalam situsnya, Peraturan tersebut dipicu karena terjadinya bencana tumpahan abu batubara di Stasiun Pembangkitan Sungai Dan Duke Energy dan hampir 160 kasus kontaminasi air di seluruh AS. Residu pembakaran batu bara (Coal combustion residuals/ CCR atau abu batu bara), produk sampingan dari pembakaran batu bara di pembangkit listrik tenaga batu bara di Amerika, telah dianggap mengandung kontaminan seperti merkuri, kadmium, dan arsenik yang tanpa pengelolaan yang tepat dapat mencemari saluran air, air tanah, air minum, dan udara.

Peraturan the Coal Ash Rule tersebut mewajibkan pembersihan kolam-kolam atau tempat pembuangan limbah abu batubara. Sekitar 500 kolam penampungan abu batubara yang tidak dilapisi, diminta untuk berhenti menampung limbah abu dan memulai ditutup pada April 2021. Diketahui, pembangkit batubara Amerika menghasilkan sekitar 100 juta ton abu batubara setiap tahun, dengan sedikitnya 2 miliar ton tersimpan dalam kolam-kolam penampungan abu batubara dengan kualitas yang berbeda-beda. Sebagian besar kolam abu batubara menua dan tidak dilapisi dengan pelapis yang akan mencegah abu merembes ke sungai atau sempadan sungai.

Namun, setelah tujuh tahun EPA memberlakukan peraturan the Coal Ash Rule, hanya sekitar setengah dari pembangkit listrik yang mencemari air tanah setuju bahwa pembersihan diperlukan. Sedangkan sebanyak 96 persen dari pembangkit listrik tidak mengusulkan pengolahan air tanah.

Menurut hasil studi earthjustice, sebagian besar pembangkit sudah tidak lagi mengirimkan abu batubara ke kolam penampungan abu yang tidak dilapisi. Namun studi menunjukan, bahwa industri tidak melakukan pemantauan kontaminasi air tanah dan membersihkan serta memulihkan kualitas air tanah yang terkontaminasi di sekitar lokasi. Laporan memaparkan, bahwa secara ilegal cenderung memanipulasi data dan sistem pemantauan untuk membuat lokasi yang terkontaminasi terlihat bersih dan untuk menghindari pembersihan di sekitar penimbunan abu batubara.

Studi menemukan, bahwa hanya 4 persen dari industri yang telah memilih rencana pembersihan yang mencakup pengolahan beberapa air tanah yang terkontaminasi. Dari jumlah tersebut, hanya 1 pabrik yang merencanakan pembersihan menyeluruh, dengan 10 pabrik mengusulkan rencana pembersihan yang tidak lengkap.

Abu batubara (FABA) di Indonesia

Studi tersebut layak menjadi gambaran kebijakan pengelolaan Faba di Indonesia.  Diketahui, limbah abu batubara di Indonesia dikenal dengan istilah Fly Ash dan Bottom Ash (Faba). Sumbernya adalah dari Pembakaran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), yang saat ini sudah dikeluarkan dari jenis limbah B3 (limbah bahan berbahaya dan beracun). Perubahan pengaturan Faba sebagai Limbah Non B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan Lampiran XIV PP Nomor 22 Tahun 2021, menetapkannya dalam kategori Limbah Non-B3 terdaftar. Jenis limbah batu bara yang dihapus dari kategori limbah B3 adalah fly ash dan bottom ash.

Direktur Jenderal PSLB3, Rosa Vivien Ratnawati menyampaikan bahwa material FABA yang menjadi limbah nonB3 hanya dari proses pembakaran batubara di luar fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri, seperti antara lain PLTU yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal (PC) atau chain grate stoker. Sedangkan dari Fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri, tetap katagori Limbah B3 yaitu Fly Ash kode limbah B409 dan Bottom Ash kode limbah B410.

Alasannya antara lain pembakaran batubara di kegiatan PLTU pada temperatur tinggi sehingga kandungan unburnt carbon di dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan. Hal ini yang menyebabkan FABA (dan juga CCP/Coal Combustion Products) dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, subtitusi semen, jalan, tambang bawah tanah (underground mining) serta restorasi tambang. Selain itu, dalam hal pembakaran batubara dilakukan pada temperatur rendah, seperti yang terjadi di tungku industri kemungkinan terdapat unburnt carbon di dalam FABA masih tinggi yang mengindikasikan pembakaran yang kurang sempurna dan relatif tidak stabil saat disimpan, sehingga masih dikategorikan sebagai limbah B3. Lebih lanjut menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana menjelaskan bahwa, hasil uji karakteristik beracun TCLP dan LD-50 menunjukkan bahwa FABA yang dihasilkan PLTU memiliki konsentrasi zat pencemar lebih rendah dari yang dipersyaratkan pada PP Nomor 22 Tahun 2021.

Sebagai antisipasinya, menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) Kementerian LHK, Rosa Vivien Ratnawati, meskipun dinyatakan sebagai Limbah non B3, namun penghasil limbah non B3 tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi standar atau persyaratan teknis yang ditetapkan dan tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan. Misalnya persyaratan teknis dan tatacara penimbunan FABA dan persyaratan teknis dan standar pemanfaatan FABA. Vivien juga mengungkapkan bahwa di negara lain seperti Jepang, Eropa, Amerika Serikat bahwa FABA dari PLTU juga dikategorikan sebagai limbah nonB3, namun tatacara dan standar pengelolaanya sama dengan tatacara dan standar pengelolaan yang diterapkan di Indonesia.

Menurut Penelitian Puslitbang tekMIRA, FABA berpotensi digunakan sebagai bahan baku pembuatan refraktori cor; bahan penimbunan dalam kegiatan reklamasi tambang; bahan substitusi kapur untuk menetralkan air asam tambang serta bahan pembenah lahan untuk memperbaiki kondisi fisik tanah dan media tanam untuk revegetasi lahan bekas tambang. Namun saat ini volume limbah FABA yang dimanfaatkan masih rendah. Menurut Litbang ESDM dalam situsnya, pemanfaatan Faba untuk subtitusi bahan baku hanya mencapai maksimal 45 persen (litbang ESDM). Karenanya, sebagian besar pengelolaan Faba masih terbatas melalui penimbunan lahan (landfill). Litbang ESDM juga sudah mengakui, bahwa jika Faba tidak dimanfaatkan dan tidak ditangani dengan baik, maka dapat berpotensi menimbulkan pencemaran. Selain volume, masih banyak tantangan yang dihadapi dalam pemanfaatan FABA, di Indonesia, yaitu kualitas dan lokasi. Kualitas FABA sendiri bervariasi dan fluktuatif, sehingga menyulitkan dalam proses pemanfaatan. Lokasi PLTU terkadang di lokasi terpencil, sehingga biaya pengelolaan FABA menjadi mahal dan kurang ekonomis.

Meskipun secara global telah ada komitmen “shutdown” untuk batubara, namun sebagai sumber bahan baku energi termurah, maka pemanfaatan batubara masih akan terus bertambah setiap tahunnya di Indonesia. Saat ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, kebutuhan batu bara dalam negeri tahun 2022 mencapai 165 juta ton, sementara tahun 2025 naik menjadi 208,5 juta ton. Kebutuhan batu bara masih didominasi untuk keperluan pembangkit listrik tenaga batu bara milik PT PLN (Persero) yang mencapai 129 juta ton. Diperkirakan, pada tahun 2022 saja, potensi limbah abu batubara yang dihasilkan dari pembangkit listrik mencapai tak kurang dari 6,45 – 12,9 juta ton.

[i] read more

G20 untuk Bumi

Artikel Friday, 11 November 2022

“Recover Together, Recover Stronger” sudah menjadi slogan yang hampir memenuhi seluruh ruang fasilitas umum di Indonesia sejak awal tahun 2022. Pasalnya, slogan yang diangkat untuk menyambut presidensi Indonesia dalam G20 tersebut memiliki makna penting yang harus ditanamkan kepada seluruh masyarakat. 

Indonesia akan menjadi tuan rumah dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang diadakan di Bali pada tanggal 15 – 16 November 2022. Indonesia dipercaya menjadi pihak yang mampu membawa konferensi ini menjadi kerja sama yang harmoni untuk melaksanakan berbagai kesepakatan penting dunia. Salah satu isu penting yang menjadi perhatian dalam konferensi ini yaitu persoalan ekonomi dunia yang juga terancam oleh permasalahan krisis iklim. Oleh sebab itu isu krisis iklim pun menjadi persoalan penting untuk disepakati demi terlaksananya berbagai agenda dunia.  read more

COP27: Menyesap Rasa Pesimistis di COP ke-27

Artikel Thursday, 10 November 2022

Awal pekan ini, kembali diselenggarakan pertemuan COP ke-27 (COP27) di Kota Sharm el-Sheikh di Mesir. COP (the Conference of the Parties/ COP) 27 adalah forum pengambilan keputusan tertinggi dalam kerangka Konferensi Perubahan Iklim (the United Nations Framework Convention on Climate Change/ UNFCC) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pertemuan yang dihadiri lebih dari 100 pemimpin negara tersebut adalah wujud upaya dunia untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca sehingga dapat mencegah bahaya terhadap sistem iklim, karena “gangguan antropogenik”.

Konvensi (UNFCC) yang beranggotakan 198 negara (hampir seluruh negara di dunia) pada tahun 2015 melahirkan Persetujuan paris (Paris Agreement) sebagai hasil pelaksanaan COP 21. Persetujuan Paris adalah perjanjian internasional tentang perubahan iklim yang bertujuan untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C di atas tingkat di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan suhu ke 1,5°C di atas tingkat pra-industrialisasi. Tinjauan atas progres atau kinerja implementasi dari Persetujuan Paris adalah salah satu agenda utama diselenggarakannya COP27.

Sayangnya, alih-alih memberikan harapan untuk mengatasi perubahan iklim, pelaksanaan COP ke-27 telah menghangatkan berbagai sikap skeptis.

Seminggu sebelum pelaksanaan, aktivis iklim asal Swedia Greta Thunberg mengkritik COP27 sebagai forum “greenwashing” para pemimpin dunia. Sikap pesimis Greta, bukannya tanpa alasan. Mengingat pencapaian komitmen yang dihasilkan pasca COP 26 di Glasgow. Beberapa Negara malah terkesan menyepelekan, sehingga “terlambat” untuk menyusun dan menyerahkan pembaharuan NDC sesuai dengan waktunya.

Padahal pada COP sebelumnya, Greta Thunberg mengecam para pemimpin dunia dengan menyebut mereka sebagai “bla, bla, bla”. Greta menyatakan, janji manis atau obral komitmen para pemimpin dunia untuk mengatasi krisis iklim tidak tegak lurus dengan hasil riset dan ilmu pengetahuan, yang menunjukan terus meningkatnya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan.

Sebelumnya, Lembaga Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa UNEP (the United Nations Environment Programme) mempublikasikan laporan yang berjudul: Emissions Gap Report 2022 (The Closing Window – Climate crisis calls for rapid transformation of societies) tanggal 27 Oktober 2022. Laporan UNEP Emissions Gap Report 2022 menunjukkan, bahwa komitmen negara-negara yang diwujudkan dalam Nationally determined contributions (NDCs)[i], yang diperbarui pasca COP26 tidak memberikan pengaruh yang besar atas perhitungan perkiraan emisi pada tahun 2030.

Secara komulatif komitmen NDC masih jauh untuk mencapai target yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris, yakni membatasi suhu pemanasan global hingga jauh di bawah 2°C, atau sebaik-baiknya mencapai 1,5° C. Kebijakan saat ini akan mengakibatkan kenaikan suhu bumi sebesar 2,8°C pada akhir abad (Tahun 2100). Sedangkan apabila memang diimplementasikan, maka diperkirakan komitmen negara-negara (NDCs) hanya mengurangi kenaikan suhu menjadi 2,4 sampai 2,6°C pada tahun 2100, untuk NDC tanpa syarat maupun NDC bersyarat.

Direktur eksekutif UNEP Inger Andersen mengatakan, meskipun pada COP 26 di Glasgow tahun 2021 negara-negara telah berkomitmen untuk memberikan pengurangan emisi yang jauh lebih besar melalui pembaruan NDC, kenyataannya secara kolektif NDC negara-negara hanya mengurangi kurang dari 1 persen dari emisi gas rumah kaca yang diproyeksikan pada tahun 2030. Karenanya ditegaskan oleh Inger, bahwa secara Global Komitmen NDC saat ini tidaklah cukup!

Laporan UNEP Emissions Gap Report 2022 juga menyoroti lemahnya komitmen iklim negara-negara G20. Secara kolektif, anggota G20 yang menjadi tulung punggung ekonomi dunia tidak berada di jalur yang benar untuk mencapai NDC baru atau yang diperbarui. Tanpa adanya tindakan yang lebih besar, maka Negara-negara G20 diperkirakan akan gagal dalam memenuhi komitmen pengurangan emisi di tahun 2030.

Sehari sebelumnya dimulainya COP 27, salah satu koran internasional menerbitkan hasil liputan terhadap delegasi peserta COP 27 sehingga makin menyuburkan pesimisme terhadap COP 27. Meskipun Delegasi “rahasia” tersebut menekankan tidak bermaksud untuk pesimistis, namun COP 27 diibaratkannya sebagai permainan besar, tanpa suatu hasil yang memadai untuk mencapai target iklim. Iklim yang menurutnya, sangat mirip dengan iklim demokrasi di negara tuan rumah COP 27.

Agenda pendanaan baru yang diperdebatkan menjelang pelaksanaan COP27 juga cenderung disambut skpetis dalam COP 27. Agenda baru tersebut adalah mekanisme pendanaan kerugian (loss) dan kerusakan (damage) untuk negara-negara miskin dan berkembang akibat perubahan iklim turut diperkirakan mendapatkan hasil yang tidak memadai. Mengingat komitmen pendanaan sebelumnya yang telah disepakati lebih dari satu dekade lamanya (2009), hasilnya belumlah memadai. Telah disepakati sebelumnya, bahwa diperlukan pendanaan sebesar US$100 miliar per tahun untuk membantu negara-negara berkembang mengurangi emisi dan beradaptasi dengan perubahan iklim.

Saat berlangsungnya COP 27 sebuah laporan yang dirilis juga menunjukan, bahwa janji-janji oleh non state actor, seperti perusahaan, investor, lembaga keuangan, dan kota dan wilayah untuk mencapai emisi net-zero sering kali tidak lebih dari sekadar greenwashing. Laporan PBB yang disusun oleh para ahli PBB (Expert Group on the Net Zero Emissions Commitments of Non-State Entities) secara khusus bertujuan untuk menilai komitmen net-zero menetapkan standar baru yang diusulkan untuk menguatkan klaim net-zero olehpihak non-negara.

Perubahan iklim yang menimbulkan krisis iklim bagi umat manusia dan planet bumi adalah keniscayaan. Seluruh masyarakat dunia dan bangsa-bangsa, termasuk Indonesia tentu berharap, COP 27 akan memberikan hasil yang baik dan mampu mencegah krisis iklim.

Laporan UNEP Emissions Gap Report 2022 read more

Kenapa Krisis Iklim dapat Menyebabkan Inflasi Pangan?

Artikel Monday, 7 November 2022

Fenomena ‘Climate Change Denial’ tidak hanya terjadi pada masyarakat yang tinggal di belahan dunia barat, tetapi gejala ini juga menyerang masyarakat Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh YouGov 30 Juli – 24 Agustus 2020, Indonesia berada di peringkat atas (21%), mengalahkan Amerika Serikat (19%) dan Arab Saudi (18%). Dapat dipahami apabila masyarakat Indonesia yang notabene secara geografis hidup di kawasan yang dilewati garis khatulistiwa mengalami gejala tersebut. Berbagai kejadian dan bencana hidrometeorologi yang disebabkan oleh perubahan iklim dianggap sesuatu yang lumrah atau masyarakat lebih memilih pasrah karena dianggap sebagai musibah. read more

1…1920212223…137
Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM

Kompleks Gedung PSLH-EFSD UGM, Jl. Kuningan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta 55281

   pslh@ugm.ac.id
   +62 (274) 565722, 6492410
   +62 (274) 517863

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY