(Penelitian Empirik Dalam Rangka Penyusunan Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi)
Dalam acara “Focus Group Discussion (FGD) RUU Perubahan tentang Energi (Penelitian Empirik Dalam Rangka Penyusunan Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi)” yang diselenggarakan oleh Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dan Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Acara yang diadakan secara langsung (luring) dan secara daring (Zoom) tersebut dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 1 Maret 2022 di PSLH UGM Yogyakarta. Sebagai pengarah atau Moderator acara, dilakukan oleh Dr. Wahyu Yun Santoso, S.H., M.Hum., LL.M., yang merupakan salah satu Tenaga Ahli dari PSLH UGM.
Dalam Sambutannya, Sekretaris Jenderal DPD RI Bapak Rahman Hadi mengungkapkan, bahwa pada tahun 2022 ini Komite 2 DPD RI menyepakati untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi. Komite 2 DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada pengelolaan sumber daya alam; dan pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya. Mekanisme penyusunan RUU Perubahan UU Energi dilaksanakan melalui penjaringan aspirasi masyarakat dan penelitian empirik yang dilakukan bersama dengan perguruan tinggi, yaitu dengan UGM dan Universitas Brawijaya (Malang).
Sebagai pengantar diskusi, Bapak Paul Butar-Butar selaku Tim Ahli dari Komite II DPD RI yang turut hadir secara daring dalam diskusi ini, menyampaikan latar belakang upaya perubahan UU Energi, antara lain yaitu:
- Indonesia merupakan salah satu eksportir batubara dan LNG terbesar di dunia, tetapi juga merupakan pengimpor minyak bumi yang hampir 1 juta barrel per hari
- Indonesia memiliki potensi energi terbarukan (ET) yang sangat besar, namun belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga belum dapat memberikan jaminan kepada keberlangsungan kedaulatan dan ketahanan energi nasional
- Tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam rangka kedaulatan energi antara lain:
- sumber daya energi yang sampai saat ini masih difungsikan sebagai sumber pendapatan nasional;
- keterbatasan infrastruktur;
- pemanfaatan energi terbarukan (ET) belum optimal;
- disparitas wilayah pemasok (supply) sumber daya energi dan kebutuhan (demand) energi yang tidak seimbang.
- Masalah tata kelola energi nasional dipengaruhi oleh kondisi geografis Indonesia yang berdampak serius terhadap perekonomian nasional, kedaulatan dan ketahanan energi.
- UU Energi menjadi perekat bagi beberapa UU yang mengatur Sumber Daya Alam dalam peraturan perundang-undangan yang lain, yakni: UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba, UU No.22 Tahun 2021 tentang Migas, dan UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, UU No.10 Tahun 1997 tentang Keetenaganukliran, UU No.21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi, dll
- Kebutuhan energi listrik selama tahun 2019 – 2050 akan mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu menjadi 23% pada tahun 2050. Penggunaan kendaraan listrik listrik di sektor transportasi angkutan jalan raya turut berkontribusi pada peningkatan ini.
- Adanya kebutuhan pengaturan definisi, hak, kewajiban dan kewenangan dalam revisi UU Energi terkait konsep Net Zero Emission (NZE), Transisi Energi Nasional, dan pelibatan pelaku usaha dan warga negara dalam membantu pemerintah menurunkan emisi GRK dalam sektor energi pasca ratifikasi Persetujuan Paris melalui UU No.16 Tahun 2016
- Namun demikian, UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi belum mampu untuk menjawab permasalahan dan dinamika energi nasional yang memerlukan pembaharuan dibidang regulasi. Akibatnya, kebijakan energi nasional tidak cukup kuat untuk memayungi dan memberikan solusi atas dinamika energi, apalagi jika dikaitkan dengan UU sektoral bidang energi.
Pembahasan
Pembahasan awal dimulai dengan judul “Transisi Energi dan Dekarbonisasi” oleh Ahmad Agus Setiawan S.T., M.Sc, Ph.D., selaku Ahli atau Praktisi terkait Energi Terbarukan, yang saat merupakan Tenaga Profesional pada Deputi I Bidang Kajian & Pengelolaan Isu-isu Energi & Infrastruktur Kantor Staff Presiden Republik Indonesia.
Saat ini Indonesia masih memiliki ketergantungan pada fosil energi tinggi, sedangkan bauran energi primer dan pemanfaatan EBT masih minim. Sebagai negara kepulauan yang memiliki kemungkinan besar untuk terdampak akibat perubahan iklim, maka Indonesia diharapkan melakukan berbagai percepatan untuk mencapai bauran energi terbarukan.
Potensi energi terbaruan belum termanfaatkan secara optimal. Hingga saat ini, hanya 2,6% dari total potensi yang dimanfaatkan. Karenanya menurut AAS, Indonesia harus bekerja keras mencapai target emisi nol karbon sebagaimana tuntutan dunia. Ada banyak sektor yang harus dihitung mengingat tiap sektor memiliki kontribusi yang berbeda-beda. Sektor energi misalnya, paling banyak menyumbang emisi gas rumah kaca dibandingkan sektor lainnya.
Dua strategi utama mengurangi emisi karbon di sektor energi: Meningkatkan produksi Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan mengoptimalkan sumber daya dalam negeri. Misalnya program bahan bakar nabati (PLTA, PLTS, PLTP, PLTB, PLTBm). 01 Meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi dengan mengurangi emisi seperti penghentian penggunaan PLTU yang masuk usia pensiun, co-firing PLTU dengan biomassa, konversi pembangkit diesel ke Energi Baru Terbarukan dan Gas Bumi, hingga pada percepataan implementasi kendaraan listrik.
Secara nasional Indonesia harus mencapai target bauran energi sebesar 23% untuk tahun 2025. Apalagi saat ini Indonesia menjadi Presiden G20, sehingga komitmen dan implementasi NDC Indonesia akan menjadi perhatian secara internasional. Harapannya adalah Indonesia secara global dapat mencapai implementasi Net Zero Emmisions Milestone.
Selanjutnya Dr. M. Pramono Hadi, M.Sc., yang saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM menyampaikan, bahwa secara geografis Indonesia terletak pada posisi yang strategis, yakni berada di garis khatulistiwa. Letak geografis tersebut memberikan anugrah berupa energi sinar matahari yang optimal sekaligus curah hujan yang tinggi. Potensi inilah yang menjadi alasan Indonesia didaulat menjadi “Paru-paru dunia”, bersama dengan negara Kongo dan Brazil yang sama-sama terletak di khatulistiwa.
Kenyataanya, curah hujan tahunan yang jatuh pada daerah beriklim tropis cenderung tinggi. Beberapa daerah bahkan dikarunia hujan yang stabil di setiap tahunnya. Potensi air yang ada tentunya menjadi potensi sebagai pembangkit energi listrik (PLTA).
Melimpahnya sinar energi matahari yang disertai dengan curah hujan yang tinggi telah menjadikan proses fotosintesis tanaman di bumi nusantara menjadi sangat besar, sehingga meningkatkan potensi kekayaan biomassa sebagai sumber bahan baku energi listrik. Salah satunya adalah pemanfaatan tanaman sawit untuk biodiesel.
Potensi atau kekayaan sumber daya alam yang dimiliki harus dikelola dengan baik dan lestari. Karena pada pokoknya potensi tersebut memiliki dua sisi mata pisau. Kekayaan hutan atau gambut misalnya, pada satu sisi dapat berfungsi sebagai sumber energi serta penyerap karbon, namun sebaliknya apabila tidak dikelola dengan baik malah menjadi penghasil karbon, sebagaimana dalam kasus terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Selain itu, menurut Pramono hadi, maka dalam kebijakan energi tidak boleh dipisahkan dengan permasalahan pemanasan global, yang disertai dengan masalah emisi karbon atau emisi gas rumah kaca. Apalagi saat ini hal tersebut telah menjadi perhatian nasional serta terintegrasi dalam rencana pembangunan nasional.
Sebagai penutup materi, Pramono Hadi menekankan prospek pengembangan energi berbasis potensi SDA, dengan mempertimbangkan aspek geografis, mencakup pengembangan pembangkit tenaga surya, khususnya pada lahan-lahan yang tidak produktif. Potensi lainnya adalah pembangkit listrik berbasis biomassa (fotosintesis) dan geothermal (ring of fire). Terakhir adalah pengembangan PLTA mini/ mikro hidro sebagai solusi kondisi geografis pulau-pulau yang tersebar di seluruh nusantara serta pada sungai-sungai dengan kapasitas air yang tidak melimpah. Potensi lainnya adalah energi berbasis pengelolaan sampah. Sedangkan propek pengembangan energi Non SDA ada pembangkit nuklir, yang saat ini telah memasuki teknologi generasi ke-empat, baik itu berbasis uranium atau thorium.
Angelina Ratna Kartikasari, S.T selaku inspektur ketenagalistrikan Dinas Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan ESDM Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyampaikan beberapa kendala tentang pemanfaatan energi terbarukan di Yogyakarta yang dapat mempengaruhi keterlibatan daerah dalam pengembangan energi terbarukan. Antara lain, yaitu kewenangan EBT yang terbatas; potensi EBT DIY terbatas; pandemi Covid 19; dan perlu adanya regulasi teknis akselerasi EBT di DIY. Selain itu, kewenangan pengembangan dan akselerasi EBT di daerah tidak secara jelas ditetapkan, sehingga dapat menghambat akselerasi EBT di daerah.
Menurut Angelina, diperlukan petunjuk pelaksanaan teknis agar pemenuhan dari Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2020 tentang RUED agar lebih optimal (Surat Edaran / Pergub). Sedangkan potensi yang pada saat ini dapat direalisasikan adalah Pengembangan PLTS Rooftop dengan Stakeholder terkait, sebagai potensi EBT yang paling mudah untuk di kembangkan dan didorong penerapannya. Termasuk sebagai salah satu amanat dalam RUEN bahwa bangunan gedung pemerintah sangat ditekankan untuk menggunakan PLTS Rooftop paling sedikit 20% dari total luas atap bangunannya.
Hal lainnya terkait Peran, Hak dan Kewajiban Masyarakat serta Pelaku Usaha adalah perlu adanya sistem Insentif dan Disinsentif untuk Masyarakat serta Pelaku Usaha yang telah berperan dalam pengembangan energi harus jelas. Kemudian perlu adanya kepastian hukum, pedoman teknis dan Standart Harga termasuk kepastian Rantai Pasok sebagai acuan Masyarakat maupun Pelaku Usaha dalam pengembangan energi. Selain itu juga diperlukan sistem pelaporan/ pengaduan EBT yang dapat menjadi jembatan antara masyarakat dan pemerintah terkait hambatan-hambatan dalam pemanfaatan EBT.
Prof. Dr. Ir. Deendarlianto, S.T., M.Eng., yang saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM serta merupakan salah satu Guru Besar Fakultas Teknik UGM, memaparkan materi tentang kondisi pengembangan ET yang saat ini dilaksanakan di Indonesia, yaitu 1. Naik turunnya political will pemerintah: UU Energi Belum akomodatif; 2. Preferensi pemerintah pada energy fosil dalam kebijakan bauran energi; 3. Tidak ada roadmap pengembangan energi nasional yang aplikatif dengan target energy mix. PSE, perlu sinergi kebijakan atau harmonisasi kebijakan secara vertikal dan horizontal untuk percepatan pengembangan EBT; 4. FiT (feed-in tariff) belum diaplikasikan untuk meningkatkan atraktivitas keekonomian, sehingga harga ET bisa mencapai harga keekonomiannya; 5. Top-down policy pengembangan et belum berjalan. Misalnya penyusunan RUED yang masih jalan di tempat.
Selain itu juga diperlukan kebutuhan pembenahan tata kelola, untuk menunjang akselerasi pengembangan ET. Beberapa isu yang terkait yaitu Target besar pengembangan et adalah keadilan, keberlanjutan, optimalisasi, keterpaduan; Percepatan pengembangan ET; Keekonomian proyek ET; dan Desentralisasi ET.
Terakhir, beliau juga menyampaikan 4 aspek krusial dalam kaitannya dengan perubahan UU Energi (UU 30/2007), sehingga dapat menjadi dasar hukum yang mampu mendorong akselerasi pengembangan ET,yaitu: 1. Atur norma yang imperatif; 2. Atur proteksi BUMN pelaksana proyek-proyek ET yang keekonomiannya rendah; 3. Atur delegasi kewenangan secara tegas dan tidak multiinterpretasi; dan 4. Atur skema RPS (Renewable Portofolio Standard) dimana pengembang kegiatan energi non-renewable diwajibkan untuk turut mengembangkan ET.
Sebagai tanggapan atas pertanyaan yang diberikan dari undangan FGD, beliau juga menekankan, bahwa apabila tidak ada perubahan political will yang ditetapkan dalam landasan hukum di bidang energi, maka akan sulit untuk meningkatkan nilai keekonomian EBT yang mampu bersaing dengan bahan bakar fosil.
Tanggapan/ Masukan dari para undangan
Endang Astuti dari PSLH UGM. Menyampaikan pandangan yang sama dengan Prof Deen, terkait nilai keekonomian listrik energi terbarukan. Menurutnya nilai rupiah per/ kwhnya untuk energi non terbarukan masih lebih rendah daripada nilai keekonomian energi terbarukan. Selain itu, Ibu Endang juga setuju tentang adanya kewajiban kepada kawasan komersial untuk menggunakan energi terbarukan dengan prosesntase tertentu. Misalnya kewajiban membangun Pembangkit Surya Rooftop untuk bauran energinya.
Perlu untuk mengharmonisasi dengan pengaturan secara horizontal, misalnya dengan pengaturan terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pemanfaatan EBT sudah ditetapkan dalam program Proper, untuk penilaian melebihi ketaatan hukum (beyond compliance) bagi perusahaan berperingkat hijau dan emas. Sebaiknya ketentuan tersebut dirubah dari sebelumnya bersifat sukarela, menjadi kewajiban hukum.
Bapak Heri Setiawan dari Pemda DIY, menyampaikan agar UU Energi yang baru secara filososfis tidak hanya berlandaskan tentang ketahanan energi, namun lebih jauh juga mencakup landasan tentang kedaulatan dan kemandirian energi. Selain itu, perlu ada penjelasan tentang perbedaan antara uu energi yang bersifat umum dan UU EBT yang lebih bersifat khusus, agar tidak terjadi overlaping dalam pengaturannya.
Secara substansi perlu harmonisasi antara UU energi dan PUU terkait kewenangan pemerintahan daerah yang diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga menjadi salah satu kendala dalam penyusunan RUED oleh pemerintah daerah kabupaten/ kota. Beliau juga menekankan, bahwa perlu ada kewenangan kepada kabupaten/kota, karena lokasi energi terbarukan berada di wilayah kabupaten/ kota.
Abimanyu, Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum UGM.
Bagaimana peran pemerintah dalam memberikan insentif kepada pengembangan EBT berbasis komunitas. Mengingat sudah ada komunitas yang telah berhasil mengembangkan EBT untuk komunitasnya, namun terkendala atas mahalnya biaya perawatan fasilitas, solar panel misalnya.
Dalam perencanaan perlu perlibatan masyarakat sekita, sebagai antisipasi dampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat sekitar.
Eko Sugiharto dari PSLH UGM mengungkapkan, bahwa secara faktual banyak kendala yang ditemui dalam upaya pengembangan EBT oleh perusahaan, salah satunya adalah ketika lokasi pengembangan berada di Hutan Lindung. Selain itu juga ditemukan adanya penolakan oleh masyarakat. Perlu ada harmonisasi pengaturan antara pembangunan EBT dan pengaturan perlindungan lingkungan, yang sesungguhnya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk kepentingan lingkungan hidup.
Perlu keselarasan antara perizinan usaha EBT dan pengelolaan lingkungan, sehingga tidak terjadi penundaan kegiatan yang menimbulkan biaya yang tinggi, yang pada akhirnya nantinya dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga jual energi.
Sedangkan untuk pembangkit berbasis sampah, menurutnya belum dapat dilaksanakan di Indonesia saat ini, menginat tingkat kepekaan kita dalam pengelolaan sampah masih sangat rendah. Pengelolaan sampah yang buruk meningkatkan risiko kesehatan dan lingkungan dalam pembangunan pembangkit berbasis sampah.
Ir. Subaryono, MA., Ph.D., dari Tenaga Ahli PSLH menyampaikan harapannya terhadap RUU Perubahan UU Energi agar mampu mengantisipasi risiko lingkungan yang timbul dari kegiatan pengembangan energi. Perlu adanya integrasi dengan aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara konkrit dan operasional. Karena pada kenyataanya, masih banyak terjadi permasalahan pengembangan energi yang erkait dengan persoalan lingkungan, misalnya lokasi pembangkit yang berada di hutan lindung.
Selain itu, UU yang baru diharapkan dapat mengintegrasikan dengan berbagai instrumen lingkungan hidup, khususnya prinsip internalisasi biaya lingkungan dalam kerangka pengembangan energi terbarukan. Sehingga harapnnya pengembangan energi bisa selaras dengan upaya perlindungan lingkungan di Indonesia.
Menurut sekretaris jenderal Dewan Energi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Daffa Indraprawira I., berharap, agar potensi panas bumi Indonesia yang sangat besar bisa dimanfaatkan secara lebih optimal dalam upaya pengembangan energi. Selain itu, Daffa juga mengingatkan kembali aspek sosial sebagai salah satu pertimbangan dalam upaya pengembangan energi, mengingat berbagai penolakan masyarakat yang telah terjadi di Masyarakat. Terakhir, Daffa menyampaikan agar dalam pengembangan energi dapat memberdayakan masyarakat pedesaan. Dimana Desa merupakan aktor utama dalam bidang pertanian dan peternakan, sebagai sektor dengan kontribusi emisi GRK terbesar secara global.
Tatang S. Julianto dari Universitas Islam Indonesia, menyampaikan pengembangan bioenergi dari biodiesel dan bioetanol sebagai salah satu energi yang menurutnya dianggap potensial untuk dikembangkan oleh masyarakat kecil pada umumnya atau UMKM. Salah satu kendala yang ditemui dalam pengembangan energi berbasis minyak jelantah misalnya, menghadapi harga produksi yang lebih tinggi daripada energi fosil. Salah satu penyebabnya adalah diekspornya minyak jelantah sebagai bahan baku energi yang dapat dikembangkan oleh UMKM. Selain itu Tatang menekankan perlunya ada pemetaan potensi energi terbarukan di daerah, sehingga dapat menggali potensi energi terbarukan menjadi lebih optimal.
Darwanta dari Mahasiswa Doktoral Ilmu Kimia UGM dan Dosen universitas Cendrawasih menyampaikan tentang potensi pengolahan sampah plastik, seperti yang telah dikembangkan di Universitas Cendrawasih. Hal itu mengingat timbulnya dampak lingkungan dari sampah plastik sekaligus dinobatkan sebagai penghasil sampah plastik peringkat 2 terbesar sedunia. Meskipun terdapat kendala dalam pengelolaan sampah untuk pembangkit, sebagaimana telah disampaikan Bapak EKo Sugiharto, namun menurut Tatang, secara sosial timbulan sampah plastik Indonesia cenderung semakin besar. Kendala utamanya adalah bensin plastik yang dihasilkan memiliki nilai ekonomis yang tidak sebanding dengan bahan bakar fosil, yang mungkin telah memiliki harga subsisdi lingkungan.
Penulis: Nur Halimah K
Editor: Zakky Ahmad