Fenomena ‘Climate Change Denial’ tidak hanya terjadi pada masyarakat yang tinggal di belahan dunia barat, tetapi gejala ini juga menyerang masyarakat Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh YouGov 30 Juli – 24 Agustus 2020, Indonesia berada di peringkat atas (21%), mengalahkan Amerika Serikat (19%) dan Arab Saudi (18%). Dapat dipahami apabila masyarakat Indonesia yang notabene secara geografis hidup di kawasan yang dilewati garis khatulistiwa mengalami gejala tersebut. Berbagai kejadian dan bencana hidrometeorologi yang disebabkan oleh perubahan iklim dianggap sesuatu yang lumrah atau masyarakat lebih memilih pasrah karena dianggap sebagai musibah.
Focus Group Discussion
Rabu, (12/10) Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM mengadakan rangkaian acara bertajuk diskusi yang mengusung tema besar “Indonesia Mung Siji: Prospek Perlindungan Lingkungan untuk Masa Depan Indonesia dan Peranan Akademisi”. Acara pertama yaitu Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan pada pukul 10.00 – 12.00 WIB di Ruang Rapat 309 Gedung Sugeng Martopo PSLH UGM. Mengingat persoalan lingkungan merupakan persoalan yang harus diselesaikan dengan melibatkan interdisiplin ilmu, FGD tersebut dihadiri oleh para ahli dan akademisi yang merupakan dosen dari berbagai fakultas di Universitas Gadjah Mada secara hybrid (daring dan luring).
Populasi seringkali menjadi kambing hitam dalam persoalan yang timbul di lingkungan hidup. Meningkatnya populasi (khususnya manusia) dianggap menjadi penyebab lingkungan hidup semakin terdegradasi. Namun apakah asumsi tersebut sepenuhnya benar?
Memahami Populasi
Istilah populasi muncul dalam kehidupan manusia seringkali pertama diperkenalkan melalui keilmuan biologi. Ketika masih di usia sekolah dasar, istilah populasi telah diperkenalkan sebagai sekumpulan individu sejenis (memiliki ciri-ciri sama) dan hidup di tempat (habitat) yang sama. Namun apabila menggunakan kacamata keilmuan lain seperti statistik, maka populasi merupakan data secara keseluruhan yang menjadi fokus penelitian dengan ruang lingkup dan waktu tertentu.
Aktivitas manusia berpengaruh besar pada kondisi bumi, bukan tidak mungkin manusia di masa depan akan ditenggelamkan oleh ciptaannya sendiri, yaitu plastik.
Istilah Antroposen diperkenalkan hampir dua dekade lalu oleh ilmuwan atmosfer sekaligus peraih Nobel, Paul Crutzen, dan ahli biologi Eugene Stoermer. Antroposen merujuk kepada suatu zaman geologis baru yang menunjukkan peningkatan intensitas aktivitas manusia yang mempengaruhi lingkungan global.
Aktivitas manusia awalnya diusulkan sebagai salah satu penyebab perubahan lingkungan yang ada di planet ini, sama halnya dengan perubahan zaman geologis sebelumnya (Pleistosen hingga Holosen), atau bahkan lebih besar. Sejak saat itu, istilah Antroposen banyak digunakan di berbagai kalangan baik ilmiah maupun non ilmiah. Namun, istilah tersebut masih belum diresmikan oleh International Union of Geological Science (IUGS). Hal ini diragukan karena, “Apakah manusia telah mengubah sistem Bumi ke titik yang tercermin dalam lapisan batuan?”.
“Only One Earth” menjadi tema peringatan Hari Lingkungan Hidup sedunia yang jatuh pada tanggal 5 Juni 2022. Tema tersebut menjadi refleksi dan pengingat bagi seluruh manusia di bumi untuk menyadari bahwa kita hanya memiliki 1 bumi yang dapat dijadikan tempat tinggal. Bumi yang tanpa modifikasi teknologi sudah layak menjadi tempat tinggal seluruh makhluk, termasuk manusia. Namun demikian, seperti kata Mahatma Gandhi bahwa “Earth provides enough to satisfy every man’s needs, but not every man’s greed”.
Kasus COVID-19 berdasarkan data dari laman resmi World Health Organization (WHO) secara global sudah mengalami penurunan. Namun hal tersebut juga disertai dengan merebaknya virus penyebab penyakit lainnya yang tidak kalah penting untuk menjadi perhatian. Mulai dari virus penyebab hepatitis akut misterius yang banyak menyerang anak-anak hingga kembali merebaknya virus penyakit mulut dan kuku (PMK) pada ternak.
Permasalahan di bumi tidak berhenti pada penyebaran virus yang mengancam eksistensi manusia. Kondisi bumi yang semakin memanas juga diduga menjadi penyebab munculnya virus-virus misterius yang kini banyak menelan korban.
Tanggal 22 April merupakan momen penting yang diperingati sebagai hari bumi. Momen ini sudah seharusnya menjadi refleksi bagi seluruh elemen masyarakat dunia untuk menillik kembali kerja bersama dalam menurunkan risiko akibat krisis iklim.
Sebagai Negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam mengurangi emisi karbon. Terkenal sebagai Negara yang memiliki hamparan hutan yang luas, Indonesia terlibat dalam perjanjian REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dan mendapat kucuran dana dari komitmen tersebut. Memiliki predikat sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai 99.093 kilometer, potensi laut untuk mitigasi perubahan iklim perlu mendapat perhatian lebih.