Hari lingkungan hidup sedunia tahun yang jatuh pada tanggal 5 Juni 2023 ini mengangkat tema tentang perlunya solusi nyata bagi polusi plastik di seluruh dunia dengan menggunakan hashtag #beatplasticpollution. Kampanye ini mungkin sudah terdengar berulang-ulang sejak beberapa tahun yang lalu. Namun solusi nyata yang mampu menurunkan volume sampah plastik yang terbuang ke lingkungan kita memang belum sepenuhnya nyata. Pasalnya diproyeksikan bahwa sampah plastik akan memasuki ekosistem akuatik 3 kali lebih banyak dari 9-14 juta ton per tahun pada 2016 menjadi 23 – 37 juta ton per tahun pada 2040.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan kita, sempatkah pikiran kita memikirkan apa yang mereka pikirkan?
The Living Planet Index 2022 menunjukkan bahwa kita kehilangan 69% kehidupan liar kita sejak tahun 1970 – 2018. Fakta tersebut sudah sangat mencengangkan karena lebih dari setengah populasi kehidupan liar kita harus punah dari bumi.
Hilangnya berbagai jenis spesies kehidupan liar ini disebabkan oleh deforestasi, alif fungsi lahan, hingga perburuan satwa liar. Manusia mungkin tidak pernah terbersit apa yang mereka (satwa) rasakan, pun yang mereka pikirkan. Kita manusia, seringkali beranggapan bahwa binatang tidak akan berpikir sejauh itu sehingga konflik pun tidak dapat terhindarkan.
Merusak bumi itu mahal.
Diperlukan penggunaan pendingin artifisial, penggunaan listrik berlebihan, penggunaan bahan baku tidak ramah lingkungan, dan masih banyak lagi. Komponen-komponen tersebut pun dapat dengan mudah kita temukan di rumah-rumah yang kita tinggali atau sekedar kita singgahi. Mungkin bagi sebagian orang, kemahalan-kemahalan di rumah itu menguntungkan. Namun seberapa besar orang yang menikmati keuntungan dari berbagai kerusakan yang diakibatkan?
Berbicara tentang rumah, bangunan rumah di setiap daerah memiliki ciri khasnya masing-masing. Khususnya bangunan rumah di masa lampau atau rumah adat yang bahkan memiliki nama dan filosofi masing-masing. Tidak hanya filosofis, arsitektur rumah dan bangunan yang dibuat oleh nenek moyang di masa lampau, apabila dipelajari kembali justru merupakan rumah masa depan yang berkelanjutan dan adaptif terhadap kondisi cuaca dan iklim.
Yogyakarta, Senin (28/11) Jaringan kerja sama Pusat Studi Lingkungan yang tergabung dalam Badan Kerja sama Pusat Studi Lingkungan (BK-PSL) melaksanakan Seminar dan Konferensi Nasional dengan tema “Recover Stronger, Protect Greater: Refleksi dan Proyeksi bagi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia”. Seminar dan Konferensi Nasional ini dilaksanakn secara hybrid di auditorium lantai 4 Gedung Sugeng Martopo Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada (PSLH UGM), melalui zoom meeting, serta disiarkan langsung di kanal Youtube PSLH UGM.
“Recover Together, Recover Stronger” sudah menjadi slogan yang hampir memenuhi seluruh ruang fasilitas umum di Indonesia sejak awal tahun 2022. Pasalnya, slogan yang diangkat untuk menyambut presidensi Indonesia dalam G20 tersebut memiliki makna penting yang harus ditanamkan kepada seluruh masyarakat.
Indonesia akan menjadi tuan rumah dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang diadakan di Bali pada tanggal 15 – 16 November 2022. Indonesia dipercaya menjadi pihak yang mampu membawa konferensi ini menjadi kerja sama yang harmoni untuk melaksanakan berbagai kesepakatan penting dunia. Salah satu isu penting yang menjadi perhatian dalam konferensi ini yaitu persoalan ekonomi dunia yang juga terancam oleh permasalahan krisis iklim. Oleh sebab itu isu krisis iklim pun menjadi persoalan penting untuk disepakati demi terlaksananya berbagai agenda dunia.
Fenomena ‘Climate Change Denial’ tidak hanya terjadi pada masyarakat yang tinggal di belahan dunia barat, tetapi gejala ini juga menyerang masyarakat Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh YouGov 30 Juli – 24 Agustus 2020, Indonesia berada di peringkat atas (21%), mengalahkan Amerika Serikat (19%) dan Arab Saudi (18%). Dapat dipahami apabila masyarakat Indonesia yang notabene secara geografis hidup di kawasan yang dilewati garis khatulistiwa mengalami gejala tersebut. Berbagai kejadian dan bencana hidrometeorologi yang disebabkan oleh perubahan iklim dianggap sesuatu yang lumrah atau masyarakat lebih memilih pasrah karena dianggap sebagai musibah.
Focus Group Discussion
Rabu, (12/10) Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM mengadakan rangkaian acara bertajuk diskusi yang mengusung tema besar “Indonesia Mung Siji: Prospek Perlindungan Lingkungan untuk Masa Depan Indonesia dan Peranan Akademisi”. Acara pertama yaitu Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan pada pukul 10.00 – 12.00 WIB di Ruang Rapat 309 Gedung Sugeng Martopo PSLH UGM. Mengingat persoalan lingkungan merupakan persoalan yang harus diselesaikan dengan melibatkan interdisiplin ilmu, FGD tersebut dihadiri oleh para ahli dan akademisi yang merupakan dosen dari berbagai fakultas di Universitas Gadjah Mada secara hybrid (daring dan luring).