Tahun 2100 mendatang Indonesia diperkirakan telah siap untuk memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Di tahun tersebut dari sisi infrastruktur, kesiapan masyarakat, dan seluruh sumber daya energi yang dimiliki telah didayagunakan. Hal ini ditegaskan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan Nasional, Dr. Alexander Sonny Keraf, dalam Seminar Pro dan Kontra Nuklir sebagai Energi Alternatif di Fakultas Filsafat UGM, Jumat (8/4). Selain Sonny, hadir pula sebagai pembicara dalam acara tersebut Anggota Dewan Energi Nasional, Dr.Ir. Tumiran, M.Eng serta Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM, Prof.dr. Hari Kusnanto, Dr.PH.
Sonny Keraf menambahkan sebagai bahan pertimbangan apakah Indonesia sudah siap memanfaatkan PLTN bisa dilihat dari beberapa aspek, seperti momentum, teknis maupun faktor ekonomi, sosial, lingkungan hingga keamanan. “Dilihat dari bebeberapa kesiapan itu dimungkinkan tahun 2100 mendatang Indonesia sudah siap menggunakan PLTN,” kata Sonny. Ia menambahkan dari sisi momentum khususnya pasca meledaknya reaktor nuklir (PLTN) Fukushima di Jepang beberapa waktu lalu. Dampak meledaknya PLTN Fukushima ini ternyata berdampak buruk terhadap sektor perekonomian di Jepang. Di sisi lain, beberapa negara maju justru berusaha untuk berpikir ulang menata kembali reaktor nuklir yang dimiliki. “Indonesia pun seharusnya harus mulai berhati-hati dan berpikir kembali untuk menata pembangkit energi seperti listrik dsb dengan lebih baik. Insiden kilang minyak Cilacap misalnya, setidaknya sudah lima kali terjadi,” imbuh Sonny.
Dalam kesempatan itu ia juga mengingatkan mengenai budaya keselamatan dan kedisiplinan (savety culture) masyarakat Indonesia yang masih rendah. Sementara pengawasan dari pihak Internasional, imbuh Sonny, tidak bisa sepenuhnya dipercaya. Perlu diperhitungkan pula tingkat kerawanan sosial dan politik yang tinggi seperti ancaman terorisme. Sonny yang juga pengajar di Fakultas Filsafat Universitas Atmajaya Jakarta itu menegaskan selain faktor tersebut yang tidak bisa ditinggalkan adalah etika/perilaku serta masih kerasnya reaksi penolakan sebagian masyarakat terhadap pembangunan PLTN.
“Belum lagi kalau bicara tentang bahan baku uranium yang masih banyak diimpor maupun mahalnya biaya pembangunan PLTN,” papar Sonny.
Di tempat yang sama, Anggota Dewan Energi Nasional, Dr.Ir. Tumiran, M.Eng justru menilai energi nuklir memiliki beberapa keunggulan, misalnya untuk mensuplai energi listrik. Energinya selain memiliki kapasitas yang besar juga relatif ramah lingkungan, serta biaya operasionalnya yang kompetitif. Tumiran yakin dengan optimalisasi PLTN, maka bisa mensuplai energi listrik, khususnya berbagai daerah di luar Jawa yang selama ini pasokan energi listriknya minim. “Luar Jawa energi listriknya masih minim. Kalau pun ada listrik menyala bisa dihitung berapa jam sehingga juga berdampak di sektor ekonomi,” ujar Tumiran.
Dibandingkan negara lain kapasitas energi yang dimiliki Indonesia masih sangat kecil. Apalagi jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang mencapai 235 juta orang. Mengenai pemanfaatan energi alternatif lainnya, kata Tumiran, seperti geotermal, angin, maupun surya memang prospektif. Hanya saja besarnya energi yang dihasilkan dari sumber energi ini jauh lebih kecil dibandingkan energi nuklir. “Tapi saya sepakat mengenai keselamatan maupun kedisiplinan masyarakat untuk pemanfaatan energi nuklir ini harus ditingkatkan,” kata Dekan Fakultas Teknik UGM itu.
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM, Prof.dr. Hari Kusnanto, Dr.PH. juga mengingatkan mengenai kemungkinan faktor kesehatan masyarakat yang bisa terganggu dengan radiasi nuklir yang ditimbulkan. “Kasus di beberapa negara sudah terbukti dampak radiasi nuklir ini bisa mengganggu kesehatan masyarakat,” papar Hari Kusnanto.
Sumber: Humas UGM