Proses pelibatan masyarakat hukum adat dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Manokwari belum optimal. Pada umumnya, pelibatan masyarakat bersifat formalitas belaka. Hanya kepala suku atau tokoh adat yang disertakan, sementara para pemangku hak tidak dilibatkan dalam perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Hal itu disampaikan Wakil Bupati Manokwari, Roberth K.R. Hammar, S.H., M.H., dalam ujian terbuka untuk memperoleh gelar doktor di Fakultas Hukum UGM, Kamis (16/6).
Roberth Hammar mengatakan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Manokwari belum mengakomodasi prinsip-prinsip penataan ruang, baik berupa bentuk, yakni pembagian wilayah masyarakat hukum adat, maupun prinsip-prinsip yang hidup pada peraturan daerah tata ruang wilayah. Hal ini berimplikasi pada kesemrawutan penataan ruang dan konflik perebutan ruang antara masyarakat hukum adat dengan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. “Memang pemerintah mampu mengundang tokoh adat di perkotaan, tapi tidak bisa kumpulkan masyarakat adat yang tinggal di pedalaman. Bahkan, mereka sering tidak dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan tata ruang,” kata Hammar.
Berkenaan dengan eksistensi hal ulayat masyarakat hukum adat, perlu dibangun dialog yang berkesinambungan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten serta masyarakat hukum adat untuk menyampaikan persepsi tentang hak ulayat. Terlebih lagi, hak ulayat tidak pernah mendapat pengakuan atau diinventarisasi oleh pemerintah setempat. “Hak ulayat itu tidak hanya meliputi tanah saja, tetapi objek yang ada di atasnya. Dengan adanya inventarisasi jenis tanah ulayat dan tanah negara diharapkan bisa mengurangi konflik di Papua dan membantu dalam membangun keterbukaan investasi di tanah Papua,” ujar pria kelahiran Larat, 18 Agustus 1965 ini.
Diakui Hammar, konflik yang sering terjadi di tanah Papua disebabkan oleh adanya perebutan dan kepemilikan hak ulayat. Oleh karena itu, penting pelibatan masyarakat hukum adat untuk ikut serta membantu proses penyusunan tata ruang di daerahnya. Dari hasil penelitian Hammar, hanya 32,69 persen masyarakat hukum adat yang pernah dilibatkan dalam perencanaan tata ruang. Hal ini menunjukkan tingkat pelibatan masyarakat hukum adat masih sangat rendah. “Kondisi di Kabupaten Manokwari dan secara umum di Papua, keterlibatan dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan tata ruang masih sangat rendah. Untuk itu, diperlukan komunikasi secara berkesinambungan antara pemerintah dan masyarakat hukum adat,” tambahnya.
Di Manokwari, masih terdapat kelompok masyarakat adat yang mendiami wilayah tertentu memiliki penguasaan lahan ulayat dengan sumber daya yang terkandung di dalamnya. Namun saat ini, dalam penyusunan berbagai kebijakan, Pemerintah Kabupaten Manokwari terus memahami dan melibatkan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat hukum adat kendati belum semuanya berhasil diinventarisasi.
Setelah mempertahankan disertasi yang berjudul ‘Implikasi Penataan Ruang terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat’, Roberth K.R. Hammar dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude dan tercatat sebagai lulusan doktor ke-1398 UGM. Bertindak sebagai promotor ialah Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, S.H., M.C.L., M.P.A. dan ko-promotor Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H., M.Si.
Sumber: Humas UGM