Pada tanggal 14 Desember 2022 (A/RES/77/161), Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mencanangkan tanggal 30 Maret sebagai Hari Tanpa Sampah Internasional (The International Day of Zero Waste). Pada tahun 2023, untuk pertama kalinya jutaan orang di seluruh dunia memperingati Hari Tanpa Sampah Internasional untuk meningkatkan kesadaran akan inisiatif tanpa sampah di tingkat nasional, subnasional, regional, dan lokal serta kontribusinya terhadap mencapai pembangunan berkelanjutan.
Hari Tanpa Sampah Internasional yang kedua kalinya, di tahun 2024 ini menjadi langkah untuk meningkatkan pengelolaan sampah secara global serta pentingnya praktik produksi dan konsumsi yang berkelanjutan yang telah mendorong planet ini menuju kehancuran. Saat ini, rumah tangga, usaha kecil dan penyedia layanan publik menghasilkan antara 2,1 miliar hingga 2,3 miliar ton sampah kota setiap tahun, baik berupa kemasan dan elektronik hingga plastik dan makanan. Namun, layanan pengelolaan sampah global tidak mampu menangani hal ini, dengan 2,7 miliar orang tidak memiliki akses terhadap pengumpulan sampah padat dan hanya 61–62 persen sampah kota yang dikelola di fasilitas yang terkendali.
Dalam laporan berjudul “Towards Zero Waste: A Catalyst for delivering the Sustainable Development Goals”, United Nations Environment Programme (UNEP) memastikan bahwa pengelolaan limbah yang ramah lingkungan merupakan kunci untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan pada saat yang sama mengakui bahwa pengelolaan limbah termasuk langkah-langkah untuk mempromosikan inisiatif tanpa limbah akan membantu memajukan seluruh 17 target dalam Agenda Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2030, khususnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 11 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 12. Tujuan-tujuan ini mengatasi segala bentuk limbah, termasuk kehilangan dan pemborosan pangan, ekstraksi sumber daya alam dan limbah elektronik.
Selama Hari Tanpa Sampah Internasional, Negara-negara Anggota, organisasi-organisasi sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa, masyarakat sipil, sektor swasta, akademisi, pemuda dan pemangku kepentingan lainnya diundang untuk terlibat dalam kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran zero-waste di tingkat nasional, subnasional, regional dan lokal akan inisiatif dan kontribusinya untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Seluruh masyarakat dihimbau harus memperlakukan sampah sebagai sumber daya sebagai langkah mengatasi krisis sampah. Mencakup langkah pengurangan timbulan sampah dan menselaraskan dengan pendekatan siklus hidup. Sumber daya harus digunakan kembali atau dipulihkan sebanyak mungkin, dan produk harus dirancang agar tahan lama dan membutuhkan bahan yang lebih sedikit dan berdampak rendah. Solusi hulu seperti ini dapat meminimalkan polusi udara, tanah, dan air serta mengurangi ekstraksi sumber daya alam yang berharga dan terbatas.
Selain itu, seluruh tindakan pemangku kepentingan, di semua tingkatan sangat diperlukan untuk mencapai tujuan masyarakat tanpa sampah. Dimana konsumen dapat mengubah kebiasaan konsumsi dan menggunakan kembali serta memperbaiki produk sebanyak mungkin sebelum membuangnya dengan benar. Pemerintah, masyarakat, industri dan pemangku kepentingan lainnya harus meningkatkan pendanaan dan pembuatan kebijakan, terutama karena krisis sampah berdampak besar pada kelompok marginal, masyarakat miskin perkotaan, perempuan dan generasi muda.
Pemanfaatan Sumber Daya Sampah Oleh Pemulung
Pemulung, merupakan pihak yang sejak dahulu menjadikan sampah sebagai sumber daya. Secara historis, pemulung telah melakukan kegiatan pengumpulan, klasifikasi dan pemulihan atau pemanfaatan barang-barang daur ulang sampah secara informal. Baik di Indonesia, maupun di banyak kota yang ada di negara-negara Selatan, pemulung sering kali merupakan kekuatan utama dalam proses daur ulang sampah (major recycling force). Di seluruh dunia, lebih dari 15 juta orang mencari nafkah dengan mengumpulkan bahan-bahan daur ulang dari jalanan dan tempat pembuangan sampah.
Selama beberapa dekade pekerjaan pemulung diabaikan oleh skema pengelolaan sampah resmi dan kebijakan sampah berulang kali memperburuk keadaan melalui pengucilan, kriminalisasi, atau penindasan terhadap para pemulung. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) , pemulung yang selama ini membantu pengelolaan sampah berbasis 3R, yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali) dan recycle (mendaur ulang sampah) belum mendapat penghargaan sebagaimana mestinya.
Para pemulung di TPAS Piyungan misalnya, yang saat ini kehilangan pendapatannya akibat langkah pemerintah menutup TPAS Piyungan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Ketua Pemulung “Mardiko” TPST Piyungan, kiriman sampah dari Bantul, Sleman, dan Jogja selama ini menjadi sumber penghasilan bagi 400 – 450 pemulung dan 15 pengepul di TPA Piyungan akan turut menghilang karena ditutupnya TPA Piyungan. Padahal, selama ini setiap pengepul mampu mendapatkan 6 ton sampah, sehingga 15 pengepul mampu mengumpulkan sampah sampai 90 ton setiap pekannya.
Ironisnya, skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yang berambisi untuk mengolah seluruh sampah yang tidak terkelola di hulu telah mengabaikan dampak terhadap pemulung.Dokumen Acuan Alokasi Risiko 2022 milik PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia, BUMN yang mendampingi Pemerintah Daerah DIY dalam mempersiapkan proyek KPBU, hanya mencantumkan satu risiko mengenai pemulung, yaitu sebagai faktor “menurunnya kualitas komposisi sampah” yang penanganannya adalah dengan cara “membatasi peran pemulung terhadap komposisi sampah.” Karena terabaikan dampak terhadap penghasilan para pemulung, maka pemulung mencari cara adaptasinya sendiri melalui pembangunan unit pemilahan sampah terpadu untuk para pemulung, di sebuah bangunan berukuran 10 x 15 meter.
Meskipun pembinaan pemulung sudah diamanatkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, sebagai bagian dari strategi Peningkatan kinerja penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, namun belumlah diatur secara mendetail. Menurut Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), langkah awal pembinaan pemulung oleh Pemerintah Daerah adalah pendaftaran pemulung setempat. Ini termasuk daya tampung atau pun ”sampah” plastik, kertas, dan logam yang dikumpulkan di pelapak. Setelah terdaftar, pemerintah daerah bisa memberikan pengakuan kepada pemulung sebagai bagian dari sistem pengelolaan sampah dengan memberikan identitas, alat pelindung diri, dan seragam. ”Ini supaya pemulung bisa bekerja tanpa ketakutan dan dikejar-kejar,” ujarnya.
Dalam laporan berjudul “Towards Zero Waste: A Catalyst for delivering the Sustainable Development Goals”, UNEP mendeskripsikan berbagai langkah untuk mengentaskan kemiskinan di kalangan pekerja sampah, termasuk di dalamnya para pemulung. Antara lain, yaitu:
- Mengenali nilai ekonomi dan peluang mata pencaharian dalam sistem perbaikan, daur ulang, dan daur ulang. Mengumpulkan data untuk memahami manfaat lingkungan, sosial, dan finansial dari layanan yang ada, termasuk penghematan biaya publik dalam mengurangi kebutuhan pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan.
- Memberikan jalur yang jelas, bertahap dan simpatik bagi pekerja sampah untuk terdaftar, mengakses perlindungan sosial, dan membentuk asosiasi. Menciptakan kebijakan yang memungkinkan asosiasi pekerja sampah mengakses kontrak sektor publik untuk pengelolaan sampah.
- Memperbaiki kondisi kerja dengan menyediakan APD, ruang kerja yang aman, dan akses transportasi, membantu meningkatkan efisiensi dan mempertahankan nilai lebih dalam perekonomian lokal.
- Mengarahkan kesetaraan gender dalam semua inisiatif terkait sampah serta di semua tingkat rantai nilai (lihat juga SDG5), menciptakan peluang yang ditargetkan bagi perempuan rentan untuk memaksimalkan manfaat sosial.
- Mendukung usaha mandiri dengan menawarkan pelatihan usaha, kredit mikro, jalur yang disederhanakan menuju formalisasi dan akses terhadap pasar yang sesuai untuk semua usaha yang mengelola bahan-bahan sekunder; menghilangkan hambatan formalisasi untuk memungkinkan pekerja limbah meningkatkan rantai nilai, menangani jumlah bahan yang lebih besar, dan menghasilkan aliran pendapatan yang lebih dapat diandalkan.