Kota Semarang merupakan satu diantara kota besar di Indonesia, memiliki luas wilayah 373,4 km2 dengan jumlah penduduk 1.481.460 jiwa (2008). Ditinjau dari kondisi geografis di bagian selatan terdiri dari perbukitan struktural denudasional dan perbukitan vulkanik, sedangkan dataran aluvial terletak di bagian utara.
Seiring bertambahnya penduduk, untuk memenuhi kebutuhan rumah tinggal dan industri dilakukan pembangunan, penyiapan lahannya antara lain dengan cara menimbun tambak dan reklamasi pantai. Akibatnya, kegiatan ini merupakan salah satu penyebab amblesan tanah (land subsidence) terus meningkat.
“Dampak dari amblesan tanah ini antara lain terjadinya genangan di permukiman yang lokasinya di tepi pantai, kerusakan rumah dan infrastruktur permukiman dan berpotensi timbulnya penyakit,” papar Ir. Soedarsono, M.Si dalam disertasinya yang dipertahankan pada ujian doktor Program Studi Ilmu Lingkungan, di Sekolah Pascasarjana UGM, Sabtu (7/5).
Pada disertasinya yang berjudul Pengaruh Amblesan Tanah (Land Subsidence) terhadap Lingkungan Permukiman di Dataran Aluvial Sebagian Kota Semarang, Soedarsono menjelaskan penelitiannya ini menggunakan metode survai dan laboratorium. Evaluasi amblesan tanah dengan cara overlay peta daya dukung tanah, tebal endapan aluvial, tebal timbunan tanah dan penurunan air tanah dan hasilnya berupa peta amblesan tanah, selanjutnya peta amblesan tanah di-overlay dengan peta amblesan tanah (peta tahun 2000), hasilnya peta evaluasi amblesan tanah.
“Penelitian dilakukan pada rumah di Kelurahan Tanjung Mas, Bandarharjo, Kuningan, dan Dadapsari yang terdiri dari rumah permanen, semi permanen dan tidak permanen,” kata Sekretaris Magister Teknik Sipil Unissula Semarang tersebut.
Dari hasil penelitiannya, Soedarsono mengatakan bahwa perubahan penggunaan lahan dari tambak menjadi kawasan permukiman dengan cara menimbun 2-4 m berpengaruh terhadap kategori amblesan tanah. Semakin ke utara (arah laut) timbunan semakin tebal, daya dukung tanah semakin kecil, endapan aluvial semakin tebal dan muka air tanah terkekang semakin dalam.
Sementara genangan pada permukiman terjadi di sekitar sungai dan saluran drainase, saat hujan dan pasang air laut masuk ke permukiman melalui Kali Asin, Kali Semarang, Kali Baru, dan Kali Banger. Di sisi lain, upaya untuk mengatasi genangan dengan membuat kolam tampung (polder) dan 54 unit pompa dari Pemkot Semarang dan penduduk, belum sepenuhnya berhasil mengatasi genangan.
“Nah, air yang menggenang di permukiman selain akan merusak rumah dan infrastruktur lain sekaligus menyebabkan munculnya penyakit seperti diare karena lingkungannya kumuh,” terang pra kelahiran Salatiga, 20 Juni 1953 itu.
Peningkatan amblesan tanah seluas 270 Ha juga bisa dijumpai di kawasan permukiman Puri Anjasmoro dari amblesan kecil (0,00-0,10 cm/th) menjadi amblesan sedang (0,10-0,20 cm/th) selama 9 tahun, peningkatan amblesan tanah seluas 496,50 Ha di permukiman Marina, Indoperkasa dan PRPP, dari amblesan sedang (0,10-0,20 cm/th) menjadi amblesan besar (<0,20 cm/th) selama 9 tahun, dan terjadinya penambahan genangan di permukiman seluas 29.62 Ha selama 14 tahun.
Dengan melihat kondisi tersebut, Soedarsono mengusulkan beberapa saran, yaitu dilakukannya pengendalian pembangunan permukiman (real estate) khususnya untuk area tambak melalui ijin dari Pemkot Semarang supaya amblesan dapat dikurangi. Disamping itu perlu upaya pengendalian genangan di lingkungan permukiman akibat hujan kiriman, hujan lokal dan pasang air laut dengan cara memperbanyak kolam tampung (polder) di permukaan yang rendah.
Setelah melalui ujian doktor di hadapan tim penguji, yaitu Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS, Prof.Dr.Sudarmadji, M.Eng.Sc, Prof.Dr.Ir.Sunjoto, Dip.HE.,DEA, Prof.Dr.H.A.Sudibyakto, MS, Prof.Dr.Ir.Kabul Basah Suryolelono, Dip.HE., DEA, Dr.rer.nat.Muh.Aris Marfai, M.Sc, Prof.Dr.Sudharto P.Hadi, MES (Rektor UNDIP), serta Prof.Dr.Sutikno, akhirnya Ir. Soedarsono, M.Si dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan. Dengan hasil tersebut Soedarsono merupakan doktor ke-1387 yang lulus dari UGM.
Sumber: Humas UGM