Harimau Sumatera merupakan satu-satunya dari subspecies Harimau yang masih tersisa di Indonesia. Sementara Sub species harimau jawa dan harimau bali sudah punah. Kendati demikian, harimau sumatera kini terancam mengalami hal yang sama. Populasinya semakin menurun seiring maraknya perdagangan ilegal satwa liar dan deforestasi hutan. Diperkirakan, jumlah populasi harimau sumatera kini tinggal tersisa 7 persen di masing-masing habitatnya.
“Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang mengalami kepunahan dua sub species harimau sekaligus,” ujar pemerhati fauna UGM Dr. Satyawan Pudyatmoko dalam seminar konservasi harimau sumatera yang berlangsung di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM, Sabtu (16/4).
Ia menyebutkan, sekitar 400-500 ekor harimau sumatera yang kini masih hidup. Jumlah tersebut menurun drastis dalam 40 tahun terakhir. Padahal jumlahnya pernah mencapai 1200-an ekor di tahun 1970-an. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya kepunahan seperti harimau jawa dan harimau Bali, dia mengusulkan harimau sumatera segera dilakukan upaya konservasi. Salah satunya dengan menambah lahan kawasan konservasi sebagai areal habitat populasi lestari. “Untuk bisa lestari dalam jangka 100 tahun minimum kawasan konservasi menampung 250 ekor harimau dengan luas minimum habitat 1 ekor per 100 kilometer persegi,” paparnya.
Sementara ini, luas habitat kawasan konservasi saat ini hanya 58.321 kilometer persegi. Padahal luas habitat potensial mencapai 144 ribu kilometer persegi. “Sayangnya, hanya 29 % dari habitat harimau yang masuk dalam kawasan konservasi,” katanya.
Koordinator Wildlife Species WWF Indonesia Chairul Shaleh mengatakan ancaman kepunahan harimau sumatera disebabkan adanya bisnis perdagangan satwa liar yang tengah marak di seluruh dunia. Bahkan, bisnis perdagangan harimau ini merupakan bisnis hewan liar terbesar kedua setelah kera. “Tiap tahun diperkirakan 100 ekor harimau di seluruh dunia dibunuh. Dagingnya dijual untuk dikonsumsi, sedangkan kulitnya untuk dikoleksi,” katanya.
Untuk melestarikan keberadaan harimau sumatera ini, kata Shaleh, perlu dilakukan kebijakan pengembangan tiger farming seperti yang dilakukan di China. Meski hasil dari penangkaran dan pengembangbiakan harimau ini di jual di pasaran namun tetap dalam kerangka melindungi populasinya dari ancaman kepunahan. Tidak hanya China, kata Shaleh, Negara Zimbabwe dan Mozambik juga berhasil melakukan hal yang sama dalam pengembangbiakan populasi gajah untuk mengantisipasi terjadinya kepunahan dari ancaman perdagangan illegal satwa liar. “Perdagangan illegal ini semakin mengancam keberadaaan harimau sumatera,” tuturnya.
Dr. drh. Wisnu Nurcahyo dari bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM punya pendapat lain, ancaman kepunahan hewan langka tidak hanya disebabkan oleh maraknya perdagangan satwa liar tapi juga disebabkan banyaknya hewan yang mati akibat terkena penyakit yang timbul akibat dampak global warming. “Pengalaman kita dalam menangani orang hutan di Kalimantan, banyak yang terkena penyakit malaria akibat tertular dari manusia. Bisa jadi kemungkinan harimau banyak yang mati terkena toxoplasma,” katanya.
Sumber: Humas UGM