Desa Kapencar, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo merupakan desa yang berada di lereng Gunung Sindoro (sebelah utara/timur laut) sekaligus di bawah Gunung Sumbing (sebelah timur/tenggara), dengan ketinggian sekitar 1200-1300 meter di atas permukaan laut (dpl). Kapencar memiliki banyak keunikan dan memerlukan penelusuran guna mengetahui landasan konsep tata permukimannya.
Beberapa hal yang menarik dalam tata permukiman di desa ini, antara lain adanya awal mula tumbuh desa secara tersembunyi (jauh dari jalan utama), pertumbuhan desa dari bawah ke atas dan timur laut, adanya aturan orientasi rumah pantang wetan (tidak boleh menghadap ke timur), memiliki banyak punden dan tempat keramat dengan posisi unik, serta beberapa tradisi yang masih berlangsung sampai sekarang.
“Ada cukur rambut gembel, merdi dusun, suran, mayu omah dengan sesaji ke punden, dll,” kata VG. Sri Rejeki, pada ujian terbuka program doktor Fakultas Teknik UGM, Sabtu (24/11) di KPFT UGM.
Sri Rejeki pada ujian ini mempertahankan disertasinya yang berjudul Tata Permukiman Berbasis Punden Desa Kapencar, Lereng Gunung Sindoro, Kabupaten Wonosobo. Bertindak selaku tim promotor, yaitu Prof. Ir. Nindyo Soewarno, M.Phil, Ph.D, Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D serta Ir. T. Yoyok Wahyu Subroto, M.Eng., Ph.D.
Menurut Sri, penelitian yang menyangkut kawasan lereng gunung sebagian berupa penelitian antropologis, sedangkan penelitian yang melihat tata permukimannya, terutama tatanan keruangannya secara messo, belum banyak dilakukan. Ia melihat beberapa keunikan terlihat mengkait terhadap tata permukiman yang terkait dengan bentang alam lereng gunung maupun terkait adanya keyakinan tertentu oleh masyarakat Desa Kapencar.
“Maka dilakukan penelitian ini guna mengetahui tata permukiman secara umum dan hubungannya dengan makna punden dalam tatanan keruangan,” kata staf pengajar di Jurusan Arsitektur, Unika Soegijapranata itu.
Dari penelitian yang dilakukannya terungkap bahwa falsafah tata permukiman yang paling mendasar di Desa Kapencar didasari falsafah pangayoman lahir dan batin, disimbolkan oleh beberapa punden (artefak yang dipepundi) dan ‘punden’ (simbol yang dipepundi). Hal ini terjadi karena sejak awal terbentuknya permukiman Desa Kapencar oleh masyarakat pendatang, yaitu beberapa pelarian (dari Yogyakarta, Dieng dan Bagelen). “Punden/’punden’ sebagai simbol pengayoman ini menjadi basis dalam tata permukiman Desa Kapencar, termasuk dalam tatanan keruangannya,” imbuhnya.
Sementara itu, falsafah Pangayoman yang disimbolkan oleh punden dan ‘punden’ ini merupakan dasar berfikir yang paling transedental bagi masyarakat Desa Kapencar. Falsafah ini terungkap di dalam empat konsep dasar pembentuk tata permukiman Desa Kapencar, yaitu konsep papan aman, papan gesang (hidup), papan keblat (arah orientasi) dan papan brayan (tempat kebersamaan). Punden dalam tata permukiman di Desa Kapencar, kata Sri, memiliki makna batin maupun lahir. Makna ini terbentuk oleh keyakinan adanya makrokosmos dan mikrokosmos dalam kehidupan.
“Dari empat konsep tersebut terlihat bahwa falsafah pangayoman dengan punden/’punden’ sebagai simbol adalah konsepsi tertinggi,” terang Sri.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu ragam permukiman tradisional di Jawa Tengah, khususnya yang berada di lereng gunung. Manfaat bagi pemerintah adalah adanya tambahan pemahaman tentang tatanan keruangan permukiman di lereng gunung, terutama di Desa Kapencar adalah sangat spesifik. Pola menjari ke bawah, berpangkal di tuk kali, dengan rangkaian kali pipa dan posisi hunian di bawah tuk kali sebagai sumber kehidupan, adanya jalur jalan nggunung-njurang serta ratan barat-timur dapat difahami oleh pemerintah dalam proses pembangunan permukiman Desa Kapencar.
“Sementara untuk masyarakat setempat dengan jaminan pangayoman kearifan lokal yang disimbolkan oleh punden/’punden’ akan memiliki semangat lebih dalam melaksanakan nilai kearifan lokal yang ada,’ pungkas Sri yang lulus doktor dengan predikat sangat memuaskan itu.
Sumber: Humas UGM