Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237,6 juta pada tahun 2010 tengah menjadi isu yang hangat. Dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) saat ini 1,35 persen atau 3,2 juta jiwa per tahun, Indonesia dalam kondisi “lampu merah”. Jika tidak terkendali, dikhawatirkan terjadi ledakan penduduk.
Dengan LPP 1,35 persen dengan 3,2 juta jiwa per tahun atau setara dengan total penduduk Singapura, Indonesia tidak mustahil akan menggantikan posisi Amerika Serikat menjadi negara berpenduduk ketiga terbesar di dunia. Terlebih lagi apabila tingkat pertumbuhan penduduk berkisar 3-4 juta jiwa per tahun. “Ini tentu saja berimplikasi pada permasalahan sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan berbagai keterbatasan mengakses pemenuhan kebutuhan dasar,” ujar Prof. Dr. Muhadjir Darwin saat membuka Seminar Nasional Revitalisasi Kebijakan Kependudukan di Indonesia menuju Pembangunan di Era Milenium, Senin (26/4).
Pesatnya pertumbuhan penduduk yang melesat dari perkiraan menjadi sangat mengkhawatirkan bagi para pemerhati kebijakan kependudukan dan pembangunan. Terlebih jika hal itu dikaitkan dengan upaya pencapaian sasaran pembangunan global Millenium Development Goals (MDGs). “Ini menjadi pertanyaan besar yang perlu dijawab. Mampukah kebijakan pembangunan di Indonesia menuai hasil yang menggembirakan di era milenium 2015?” katanya di Gedung Masri Singarimbun, PSKK UGM.
Oleh karena itu, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menciptakan kesempatan kerja, menghilangkan kemiskinan, meningkatkan pendidikan dan kesehatan, meningkatkan infrastruktur, serta memberikan pelayanan publik menjadi program yang harus dilakukan.
Prof. Dr. Sofian Effendi, M.P.I.A. memiliki kekhawatiran yang sama. Mengutip data Human Development Report, dikatakan bahwa sebanyak 14,8 persen masyarakat Indonesia masih hidup di garis kemiskinan. Demikian pula dengan tingginya kesenjangan antardaerah. “Kesenjangan Jakarta dengan Papua ini 22 kali. Jika dirata-rata di Indonesia, maka kesenjangan Papua ini berkisar tujuh kali dibanding daerah lain. Ini menunjukkan cita-cita pemerataan setelah 65 tahun belum tercapai,” katanya.
Berbagai perumusan kebijakan dinilai menjadi salah satu faktor kesenjangan. Beberapa kebijakan terkotak-kotak dan tidak sinkron antara satu dengan yang lain. “Dalam waktu 13 tahun terakhir, pemerintah terlihat sangat kacau. Fungsi-fungsi koordinasi tidak berjalan dalam pemerintahan dan berbagai kebijakan,” tutur Sofian.
Di samping melakukan kajian terhadap berbagai kebijakan penduduk di Indonesia selama ini, seminar dalam rangka usia ke-38 Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM ini berupaya membuat kebijakan terkait dengan program pembangunan berwawasan kependudukan. Turut hadir dan menyampaikan sumbang pemikiran, Drs. Sukamdi, M.Sc., Prof. Dr. Prijono Tjipto Herijanto (UI), Drs. Priyo Budi Santoso (DPR RI), Dr. lalu Burhan, M.Sc. (BKKBN Pusat), dan Ir.H. Irman, M.Si. (Plt. Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil).
Sumber: Humas UGM