Indonesia memiliki tantangan serius untuk memenuhi kebutuhan energi yang makin meningkat namun harus tetap ramah lingkungan dan berkelanjutan. Indonesia adalah negara maritim/kepulauan, negara yang unik di dunia dan tidak ada negara serupa Indonesia, maka Indonesia memiliki profil penyediaan listrik yang berbeda dengan negara kontinental. Indonesia tidak mungkin mengimpor listrik dari negara lain, oleh karena itu, Indonesia harus mandiri dalam mengolah energi, khususnya energi listrik.
Tantangan pertama adalah penyediaan energi listrik yang makin meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi dan kesejahteraan. Tantangan kedua adalah bagaimana mewujudkan permintaan energi tersebut dengan menyediakan energi yang andal, ramah lingkungan, dan berkelanjutan sejalan komitmen Indonesia pada tujuan pencapaian pembangunan berkelanjutan (SDGs) dari Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 2030 dan komitmen terhadap Paris Agreement atau Conference of Parties (COP 21). Tantangan ketiga adalah bagaimana Indonesia memiliki solusi energi yang unik sesuai dengan kondisi geografi, ketersediaan sumber daya alam (SDA) dan kemampuan sumber daya manusia (SDM) agar Indonesia sejajar dengan negara lain, terdepan dalam energi.
Kesepakatan Paris memiliki kaitan erat dengan capaian SDGs ke-13, yaitu climate action. Indonesia perlu mengambil tindakan segera untuk mencegah perubahan iklim dan dampaknya, dengan mengimplementasikan cara produksi maupun cara konsumsi energi yang ramah terhadap lingkungan. Perubahan iklim dapat disebabkan oleh adanya pemanasan global, dan salah satu penyumbang naiknya pemanasan global adalah emisi gas rumah kaca (GRK).
Penyediaan energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Bauran energi harus direncanakan agar semua potensi energi di Indonesia termanfaatkan maksimal, tentu saja rencana ini bertujuan untuk pengurangan pemakaian energi fosil dan menggenjot pemakaian energi baru terbarukan (EBT) agar skenario Indonesia Sejahtera menuju ekonomi rendah karbon dengan target nol karbon dapat tercapai setelah tahun 2050.
Definisi energi ramah lingkungan berkelanjutan dan implementasinya perlu dikaji kembali untuk menentukan energi transisi menggantikan energi fosil di Indonesia. Hal yang perlu ditegaskan mengenai energi ramah lingkungan adalah sebagai berikut.
- Energi ramah lingkungan harus rendah emisi gas ruang kaca (GRK) baik emisi dari proses penambangan, pengangkutan, saat beroperasi dan emisi total siklus operasi.
- Energi ramah lingkungan sebaiknya memiliki “footprint” atau pemakaian lahan yang relatif kecil untuk meminimalkan dampak perubahan fungsi lahan karena terbatasnya lahan di Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan densitas populasi tinggi.
- Energi ramah lingkungan harus dapat menjaga keseimbangan ekosistem, meliputi jaminan keamanan lingkungan flora dan fauna pada saat beroperasi baik gangguan perubahan suhu lingkungan, polusi udara, gangguan suara, dan gangguan ketersediaan cadangan air.
- Energi ramah lingkungan harus memiliki prosedur penanganan limbah terstandar dalam mengelola, mengolah, dan mengawasinya.
Selain dari keempat persyaratan energi ramah lingkungan di atas, energi ramah lingkungan juga harus berkelanjutan, baik ditinjau dari sumber daya alam berupa bahan baku dan bahan bakar, maupun dari sudut pandang keekonomian. Energi ramah lingkungan memberikan pasokan listrik berkualitas dengan harga lebih murah dibandingkan dengan pembangkit lainnya sehingga terjangkau oleh konsumen umum ataupun industri. Biaya produksi tanpa subsidi pemerintah serta jaminan ketersediaan cadangan bahan baku dan bahan bakar dalam jangka waktu panjang. Dengan demikian energi ramah lingkungan juga harus mempunyai sifat andal dan berkelanjutan.
Tingkat penyediaan listrik, konsumsi listrik, dan tingkat pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Percepatan tingkat konsumsi listrik di Indonesia akan tercapai apabila kapasitas produksi listrik di Indonesia mencukupi. Oleh karena itu, diperlukan pembangunan sumber pembangkit listrik yang efektif, efisien, dengan biaya investasi menarik karena menghasilkan listrik dengan harga jual murah dan terjangkau.
Tingkat konsumsi listrik merupakan kunci untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 6% dengan peningkatan pertumbuhan konsumsi listrik 230 kWh per kapita selama lima tahun terakhir atau sekitar 46 kWh per kapita per tahun. Terdapat korelasi positif antara Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan tingkat konsumsi listrik per kapita. Apabila dikaji dari tarif harga listrik, Indonesia mempunyai tarif yang hampir sama dengan negara lain di ASEAN. Namun, apabila perbandingan tarif listrik ditinjau dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita maka tarif listrik di Indonesia relatif lebih tinggi di ASEAN. Penduduk Indonesia membayar tarif listrik hampir sama dengan di Malaysia, Thailand, atau Singapura tetapi negara tersebut memiliki PDB per kapita lebih tinggi daripada Indonesia. Jadi, kelihatannya listrik Indonesia adalah murah tetapi sangat membebani penduduk. Adapun untuk membuat listrik menjadi murah, pemerintah memberikan subsidi yang bersumber dari APBN. Pada tahun 2020 subsidi listrik Indonesia mencapai Rp46,9 triliun.
Energi fosil makin menipis dan harus segera dipilih energi pendamping energi fosil tersebut yang dikenal dengan energi transisi sehingga ketika energi fosil habis, penyediaan listrik di Indonesia tidak terganggu. Berkaca pada energi transisi yang dipilih oleh negara Jerman dan Prancis, kedua negara bertetangga di benua Eropa dengan PDB dan profil hampir sama tetapi memiliki kebijakan energi yang berbeda. Jerman memilih menutup nuklir serta mengandalkan energi terbarukan, yaitu angin dan surya, sementara Prancis mengandalkan nuklir sebagai bauran utama energi. Setelah hampir 30 tahun, implementasi energi nuklir sebagai energi ramah lingkungan yang berkelanjutan terbukti sukses di Prancis dengan rendahnya intensitas karbon (400 g CO2eq per kWh). Jerman gagal mencapai target penurunan emisi GRK untuk memenuhi target COP 21 karena saat cuaca ekstrem, surya dan angin tidak dapat berproduksi, dan akhirnya upaya kompensasi harus dilakukan Jerman dengan menambah produksi listrik dari energi fosil. Berdasarkan data empiris yang dipublikasikan oleh Grant Chalmers, menunjukkan bahwa negara di Eropa yang memiliki intensitas karbon rendah (<60 g CO2eq per kWh) adalah negara yang didominasi oleh pembangkit hidro, atau nuklir, atau kombinasi hidro dan nuklir.
Berdasarkan kasus energi transisi di Jerman dan Prancis, jelas yang harus diikuti adalah kebijakan negara Prancis, bukan Jerman. Tetapi faktanya, sebagian besar negara di dunia lebih memilih mencontoh negara Jerman daripada Prancis. Indonesia juga masih bertahan dengan energi fosil dan implementasi energi nuklir belum terlihat nyata.
Apabila energi yang digunakan di Indonesia adalah energi terbarukan (ET), maka jika ditinjau dari fungsinya mungkin memenuhi sebagai energi primer. Adapun bila ditinjau dari karakternya yang intermiten maka kurang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai transisi energi pengganti energi fosil, karena ketergantungannya terhadap cuaca dan musim. Di samping itu, ET membutuhkan pembukaan lahan yang luas, ditambah kemungkinan sulitnya akses ke tempat sumber energi.
Idealnya, dengan kebutuhan menuju transformasi negara industri, Indonesia membutuhkan pembangkit energi baru (EB) yang menghasilkan energi listrik secara masif dan kontinu selama 24 jam, sehingga dapat menggantikan energi fosil. Selain kapasitas produksi dan kualitas, emisi karbon yang sangat kecil serta harga terjangkau harus menjadi sebagai syarat energi transisi. Paduan energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan merupakan andalan untuk mengurangi laju pemanasan global. Tanpa melihat kekurangan satu sama lain, EBT harus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia. Energi di Indonesia harus bersifat ramah lingkungan dalam bentuk bauran energi agar dapat mencapai target COP 21 tahun 2050.
Terobosan penyediaan energi yang ramah lingkungan dengan harga yang murah dan terjangkau diperlukan oleh Indonesia. Seandainya semua potensi energi di Indonesia dapat diekstrak menjadi listrik, masih sangat sulit memenuhi target 35 GW yang dicanangkan Presiden Jokowi. Pembangkit panas bumi dan pembangkit air/hidro adalah pembangkit EBT yang dapat menggantikan energi fosil sebagai energi utama berskala besar, bersifat dispatchable atau dapat berfungsi sebagai baseload akan tetapi tidak dapat mendekati beban, karena kedua pembangkit ini umumnya berada di lokasi tertentu yang sering sulit dijangkau. Pembangkit panas bumi/geotermal adalah bersih, tidak menghasilkan polusi tetapi biaya pengadaannya relatif mahal. Energi surya sangat melimpah di Indonesia, energi angin berpotensi di daerah tertentu, tetapi keduanya bersifat intermiten dan bergantung kepada musim dan cuaca. Dengan demikian, perlu dipertimbangkan pembangkit EBT lainnya yang bisa memenuhi transisi energi untuk menggantikan energi fosil tetapi mendukung upaya agar target COP 21 tercapai. Salah satu bentuk EBT yang Baru adalah energi nuklir, yang merupakan huruf “B” dalam EBT. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) diperlukan untuk mengejar ketertinggalan listrik Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia. Transisi energi dengan energi nuklir merupakan solusi yang dapat diambil pemerintah RI untuk mengatasi ketertinggalan konsumsi listrik per kapita dan sekaligus menjaga keseimbangan lingkungan agar tetap terjaga kelestariannya.
Evaluasi dan revisi terhadap target RUEN diperlukan karena realisasi energi dari sumber EBT masih jauh dari target. Perlunya dilakukan evaluasi terhadap bauran energi agar capaian tersebut tidak makin jauh tertinggal. Energi nuklir yang memenuhi syarat sebagai energi transisi, tidak tercantum pada dokumen RUEN dan sistem perundangan di Indonesia. Peraturan Pemeritah atau Peraturan Presiden yang dapat menjamin legalitas dan membuka investasi terhadap modal swasta membangun PLTN pertama di Indonesia, merupakan salah satu solusi masalah penyediaan energi.
Kekhawatiran dan ketakutan pada nuklir dan PLTN, baik yang bersumber dari persepsi masyarakat maupun perhatian pemerintah telah dikaji secara berimbang, logis dan ilmiah. Isu ini sebagian besar berasal dari informasi yang kurang tepat (out of context) sehingga menimbulkan mis-informasi seperti isu kecelakaan, lingkungan hidup, limbah, NIMBY (Not in My Backyard), dan bahaya radiasi. Masyarakat dan media belum membedakan konsep “bahaya” dan “risiko”. Faktanya bahwa tidak semua yang berisiko tinggi menjadi berbahaya apabila dikelola dengan aturan dan prosedur, serta pengawasan terus-menerus secara ketat.
Isu kecelakaan nuklir diuraikan dengan fakta bahwa hampir 70 tahun PLTN beroperasi di muka bumi, ada 3 (tiga) kecelakaan nuklir yang membekas di ingatan manusia, yaitu Three Mile Island (TMI), Chernobyl, dan Fukushima, dengan jumlah total korban meninggal karena radiasi, tidak lebih dari 100 orang. Analisis perbandingan kematian pada proses produksi listrik dari pembangkit energi nuklir dengan energi lainnya, ternyata kematian pada PLTN sangat rendah. Isu tentang radiasi yang berbahaya dibahas dengan fakta bahwa setiap hari manusia terkena radiasi alam, bahkan dimanfaatkan untuk medis dan industri. Radiasi memang dapat menjadi berbahaya, akan tetapi juga bermanfaat jika digunakan sesuai dengan prosedur dan aturan. Terdapat peraturan tentang proteksi radiasi dan batas ambang dosis yang diperbolehkan untuk masyarakat umum dan pekerja radiasi, sedangkan dosis pasien ditentukan oleh dokter radiologi.
Isu limbah nuklir dijelaskan dengan menegaskan bahwa bahan bakar bekas PLTN tidak bisa dikategorikan sebagai waste/limbah, karena masih mengandung unsur-unsur berharga dan bermanfaat. Secara kuantitas, limbah yang dihasilkan oleh PLTN relatif sangat kecil volumenya dibandingkan sumber energi lainnya. Teknologi terbaru pengolahan limbah bahan bakar bekas sedang dikembangkan SYLOS. Teknologi ini menggunakan laser, dikemukakan pertama kali oleh Gerard Mourou, pemenang hadiah Nobel Fisika tahun 2018. Klaim yang dikemukakan SYLOS adalah mampu mengubah isotop radioaktif dengan umur paro ribuan tahun menjadi orde menit, merupakan solusi sangat bermakna bagi limbah nuklir. Pengawasan limbah nasional dilakukan secara ketat oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), di tingkat internasional oleh International Atomic Energy Agency (IAEA).
Isu mengenai nuklir adalah sunset teknologi atau teknologi yang usang dan mulai ditinggalkan, adalah tidak benar. Meskipun sempat menurun pembangunannya setelah tragedi Fukushima, faktanya pembangunan PLTN tetap bertambah setelah tahun 2013. Pembangunan PLTN di dunia tumbuh di 2,3% per tahun. Tragedi TMI, Chernobyl, dan Fukushima tidak membuat surut pembangunan PLTN bahkan bauran energi nuklir di negara terkait–Ukraina hampir 53%, demikian juga Jepang terus mengandalkan PLTN.
Isu sindrom Not in My Back Yard (NIMBY), yaitu sikap menolak terhadap setiap pembangunan fasilitas baru termasuk pembangunan pembangkit listrik dari tenaga nuklir. Di beberapa negara yang mempunyai PLTN juga selalu mengalami NIMBY. Penolakan ini tidak hanya pada PLTN, tetapi juga pada pembangkit energi fosil, bahkan sindrom NIMBY ditemui juga untuk jenis sumber pembangkit EBT seperti terjadi di Jepang, Jerman, dan Amerika. Di sinilah diperlukan kajian mendalam secara teknis, sosiologi, dan budaya agar PLTN dapat diterima dengan pengetahuan yang benar. Pembelajaran dan sosialisasi kepada masyarakat dan stakeholder sangat menentukan turunnya sindrom NIMBY. Berdasarkan survei yang telah dilakukan BATAN, terkait rencana pembangunan PLTN di Indonesia sejak tahun 2016 terlihat 5 bahwa lebih dari 77% masyarakat Indonesia siap menerima PLTN. Tim dari LPPM UNS telah mengkaji tingkat penerimaan masyarakat terhadap PLTN di dunia adalah 51,5% sampai 63%.
Di samping isu-isu di atas, karakter PLTN menyangkut keandalan dan keberlanjutan pasokan listrik dihubungkan dengan karakter PLTN yang tidak menghasilkan GRK. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir tidak hanya menjadi solusi transisi energi, juga solusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Indonesia memerlukan PLTN sebagai penyedia energi, jika mengandalkan batu bara dan minyak maka mungkin kebutuhan listrik dapat terpenuhi tetapi Indonesia tidak dapat merealisasikan Perjanjian Paris COP 21 dan SDGs dari PBB.
Kajian ini menyimpulkan bahwa PLTN adalah pembangkit listrik yang ramah lingkungan, andal, dan berkelanjutan. Nuklir sebagai energi baru, perlu dipertimbangkan secara serius oleh pemerintah sebagai pemenuhan janji Indonesia mendapatkan lingkungan bebas emisi karbon. Kajian ini juga menyimpulkan bahwa hampir tidak mungkin tercapainya target COP 21 tanpa nuklir di Indonesia.
Nuklir dikatakan energi ramah lingkungan karena nuklir bebas emisi GRK, footprint relatif kecil, tidak mengganggu keseimbangan ekosistem, serta limbahnya terkelola dan terkontrol dengan aturan yang jelas. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir juga bersifat andal karena dapat mencapai kapasitas maksimum, beroperasi 24 jam tanpa sela. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir bersifat berkelanjutan karena potensi bahan bakar masih tersedia, dan bahan bakar bekas berpotensi dapat didaur ulang menjadi bahan bakar baru. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir selain menjadi solusi transisi energi, juga menjadi solusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir generasi IV tipe Small Medium Reactor (SMR) dapat berpotensi menjadi energi transisi di Indonesia. Salah satu reaktor generasi IV dengan bahan bakar cair campuran garam uranium thorium, Molten Salt Reactor (MSR) cocok dibangun di Indonesia. Sumber daya alam uranium dan thorium terdapat di Indonesia, sehingga dalam jangka panjang pengadaan bahan bakar MSR dapat mandiri. Berdasarkan kajian, teknologi MSR lebih aman karena mempunyai keselamatan inheren berdasarkan hukum fisika dan kimia, sehingga tragedi seperti Fukushima maupun Chernobyl tidak akan pernah terjadi. Teknologi MSR didesain dengan tekanan rendah, sekitar 3 bar, dan temperatur operasi sekitar 700°C, sangat kontras dengan pembangkit generasi sebelumnya yang beroperasi pada tekanan sekitar 150 bar dan suhu operasi sekitar 315°C. Molten Salt Reactor telah ditunjuk oleh IAEA sebagai reaktor yang direkomendasi untuk dibangun di dunia. Amerika dan Cina merupakan negara dengan penelitian MSR yang sangat maju.
Pada umumnya, pembangunan PLTN di dunia menggunakan dana pemerintah, karena membutuhkan biaya yang besar dan waktu pembangunan yang lama. Akan tetapi, pada beberapa negara maju seperti Jepang, peran Independent Power Producer (IPP) sangat dominan. Desain dasar dari Thorium Molten Salt Reaktor (TMSR) yang dirilis oleh ThorCon Power dinamakan TMSR-500 diprediksi memerlukan biaya investasi sebesar Rp17 triliun dengan target harga listrik di bawah 0,069 US$ per kWh atau di bawah BPP Nasional. Optimasi peran IPP memungkinkan terbangunnya PLTN pertama di Indonesia tanpa mengganggu APBN. Pembahasan tentang PLTN selama 4 dekade semestinya segera direalisasi karena PLTN memang sangat diperlukan untuk mendukung energi nasional.