Pupuk kimia kerap kali digunakan petani untuk meningkatkan hasil pertanian ataupun perkebunan. Meskipun dapat meningkatkan produksi pertanian, penggunaan pupuk kimia menyebabkan kerusakan lingkungan dengan menyumbangkan gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap kejadian pemanasan global.
Kenyataan tersebut menggerakkan Dr. Agus Kuncaka, DEA, staf pengajar Jurusan Kimia FMIPA UGM mengembangkan terobosan baru yaitu membuat pupuk berbahan biochar atau arang hasil proses piroliss biomassa yang mengandung senyawa paramagnetik dan dapat menyerap protein. Kandungan biochar pada pupuk yang diberinama Slow Release Organic Paramagnetic (SROP) ini tidak hanya mampu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Lebih dari itu, biochar mampu menyerap karbon di udara. “Kandungan biochar dalam pupuk ini mampu menyerap karbon jadi cocok jika dipakai di daerah perkebunan kelap sawit,” tandasnya belum lama ini di Kampus setempat.
Seperti diketahui industri kelapa sawit Indonesia dituding banyak menyumbang emisi karbon dari lahan gambut dan pemupukan urea di kawasan perkebunan kelapa sawit oleh sejumlah negara di kawasan Eropa dan Amerika. Mereka melakukan aksi boikot impor terhadap produk industri kelapa sawit Indonesia. “ Industri kelapa sawit kita dianggap sebagai pengotor dunia. Emisi karbon yang dilepas dari lahan gambut dan pemupukan urea di perkebunan Kalimantan diperhitungkan dapat mengotori atmosfer setara dengan pemakaian BBM di Amerika selama 2 tahun,” kata Agus.
Agus mengatakan penggunaan pupuk srop dalam pertanian maupun perkebunan dapat sebagai pengendali lingkungan. Pasalnya pupuk ini mampu membuat neraca karbon negatif. Dengan kata lain pupuk srop berfungsi sebagai pembersih udara sehingga peredaran emisi karbondioksida dari industri perkebunan dan pertanian dapat berkurang.
Pupuk srop, lanjutnya, secara molekular mampu mendukung terbentuknya sistem kesetimbangan kimia dari nitrogen udara ke arah pembentukan ammonium dan ion nitrat secara mikrobiologi yang sekaligus dapat menghambat pelepasan ammonia (NH3) dan nitogen oksida (N20). Pupuk ini juga dapat mendukung terbentuk sistim reaksi radikal air yang dapat mempercepat pembentukan lignin sehingga pertumbuhan tanaman dapat dipacu. Disamping itu, pupuk srop juga berfungsi sebagai sistem pelepas lambat ion ammonium dan nitrat ke tanaman. “Secara molekular pupuk ini juga mampu menangkap asam humat dan menahan air dengan maksimal,” imbuh pria yang saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum dan Pengembangan Sumberdaya FMIPA UGM.
Proses pembuatan pupuk srop tergolong sederhana. Awalnya, dilakukan karbonisasi massa atau pengarangan dari limbah pertanian maupun perkebunan. Setelah diarangkan kemudian diaktifkan dengan larutan elektrolit yang selanjutnya diberi penambahan protein dari limbah peternakan maupun pertanian yang siap untuk digunakan sebagai pupuk. “Dalam pupuk ini tersusun dari nitrogen, fosfor, potassium oksida, karbon organic, air, dan material paramagnetic,” jelasnya.
Sekitar satu tahun lalu, pupuk srop telah diproduksi dengan kapasitas 0,5 ton perhari. Dalam pembuatan melibatkan warga di lereng Merapi, tepatnya di daerah Balong, Donoharjo, Ngaglik, Sleman. Pupuk ini juga telah dimanfaatkan oleh petani yang tergabung dalam koperasi serba usaha “Karya Warga Merapi” untuk menanam pasi seluas 5 hektar. “Hasilnya bisa menaikkan panen gabah sekitar 20-60 persen, tergantung jenis tanah dan hama,” ungkapnya.
Selain dimanfaatkan warga balong, pupuk ini juga digunakan petani di Pakisaji, Candibinangun, Pakem, Sleman untuk memupuk padi jenis Situbagendit. Di daerah Dieng, Jawa Tengah pupuk srop juga digunakan untuk tanaman kentang. Dan hasilnya pun cukup menggembirakan. “ Per batang bisa mencapai 1,1 kilogram dengan kualitas A dan B. Sementara kalau biasanya tanpa pupuk ini hanya dihasilkan per batangnya sekitar 0,7 kilogram,” pungkasnya.
Sumber: Humas UGM