Tidak dapat dipungkiri bahwa ternak ruminansia menjadi salah satu sumber emisi CH4. Namun, berbagai pernyataan yang menyudutkan dalam bidang peternakan perlu dipikirkan kembali secara bijak dan seimbang. Hal tersebut disebabkan konsumsi produk ternak masyarakat Indonesia masih sangat rendah dan pertumbuhan peternakan yang sangat lamban.
“Meski produk ternak sangat diperlukan, konflik kepentingan ini haruslah diselesaikan. Karenanya informasi tentang emisi CH4 dan global warming serta alternatif pemecahannya diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan strategi cerdas agar kita dapat hidup sehat, yaitu dengan mengkonsumsi makanan sehat yang dihasilkan melalui penyelenggaraan peternakan ramah lingkungan,” terang Prof. Dr. Ir. Lies Mira Yusiati, S.U. di Balai Senat, Senin (9/5), saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Peternakan UGM.
Lies Mira mengatakan proses fermentasi dalam saluran cerna ruminansia (rumen) dan feses ternak memiliki kontribusi besar terhadap emisi CH4 anthropogenic. Menurutnya, ketika kandungan senyawa organik dalam feses ternak yang cukup tinggi berada dalam kondisi anaerob, populasi bakteri methanogenik berkembang dengan baik dan menghasilkan CH4 dalam jumlah besar.
Diterangkannya bahwa faktor utama yang mempengaruhi emisi CH4 dari feses ternak adalah adanya sisa nutrien yang merupakan substrat untuk pertumbuhan methanogen dan adanya mikrobia yang mampu menghasilkan CH4 sebagai produk fermentasi. Faktor tersebut tergantung cara penanganan feses, yang meliputi perlakuan dan lama simpan sebelum digunakan untuk pupuk. “Jika kotoran tersebut mengalami dekomposisi aerobik, maka produksi CH4 dapat ditekan,” tuturnya.
Ditambahkan Lies, sumber emisi CH4 lain di Indonesia berasal dari sampah dan sawah. Besarnya emisi CH4 dari lahan sawah ini tergantung pada frekuensi penanaman atau luas panen dalam setahun. Sejak tahun 2006, total emisi CH4 dari lahan sawah mengalami peningkatan cukup tajam, dari rata-rata 1,5 juta ton per tahun menjadi sekitar 1,8 juta ton per tahun. Pada 2007, emisi CO2 dari pemanfaatan pupuk urea untuk pertanian diperkirakan mencapai 850 ribu ton, sedangkan emisi CO2 dari sampah pada 2008 diperkirakan hingga 1000 gigagram dan emisi CH4 mencapai 16 gigagram.
Uraian tersebut menunjukkan global warming menjadi tanggung jawab semua masyarakat Indonesia. Tidak hanya bidang peternakan, tetapi juga menjadi tanggungjawab dunia karena emisi CH4 di beberapa negara cukup tinggi. “Karena bagaimanapun global warming berefek pada kenaikan suhu, kenaikan air laut, badai dan terancamnya binatang laut. Semua itu tentu merugikan kita semua sebab perubahan iklim berimbas pada bidang pertanian seperti pada sektor produksi, ketersediaan pangan, stabilitas dan ketahanan pangan,” kata Lies Mira yang menyampaikan pidato berjudul ‘Global Warming, Methan, dan Peternakan’.
Oleh karena itu, Lies menyarankan modifikasi pakan untuk menurunkan produksi CH4 sebagai hasil fermentasi rumen perlu diikuti dengan penanganan kotoran ruminansia. Hal ini perlu dilakukan karena terdapat kecenderungan terjadi kompensasi kenaikan CH4 dari kotoran ternak seiring dengan menurunnya emisi CH4 oleh ternak. “Meski begitu hal ini janganlah dirisaukan sebab kotoran yang memiliki potensi sebagai sumber emisi CH4 bila ditangani dengan baik akan menghasilkan CH4 yang dapat dikendalikan dan dimanfaatkan terutama sebagai gas bio untuk energi panas,” imbuhnya.
Sumber: Humas UGM