Indonesia memiliki potensi sektor kelautan yang cukup besar mencapai USD 1,2 triliun per tahun. Sayangnya, hingga saat ini potensi ekonomi dari sektor kelautan tersebut belum dimanfaatkan secara produktif dan optimal.
“Jumlah itu bisa menyediakan lapangan kerja untuk 40 juta orang, tetapi potensi yang luar biasa besar. Ibarat ‘raksasa yang tertidur’, itu belum dimanfaatkan secara maksimal,” kata Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GANTI), Prof. Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, M.S., dalam Kuliah Umum “Industrialisasi Perikanan Berbasis Sumberdaya Maritim”, Jum’at (5/9) di Fakultas Pertanian UGM.
Potensi ekonomi sektor kelautan tersebut meliputi 11 sektor yaitu perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, dan pertambangan dan energi. Berikutnya sektor pariwisata bahari, hutan mangrove, perhubungan laut, sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, serta sumber daya alam non konvensional.
Rokhmin menuturkan sejak masa penjajahan sampai sebelum berdiri Kementrian Kelautan dan Perikanan, sektor kelautan masih dipandang sebelah mata. Hal tersebut terlihat dari rendahnya dukungan infrastruktur, permodalan, sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kelembagaan terhadap sektor kelautan.
“Saat ini kontribusi seluruh sektor kelautan terhadap PDB hanya sekitar 20 persen,” jelas Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB ini.
Sementara negara-negara dengan potensi kekayaan laut yang lebih kecil daripada Indonesia dapat menyumbangkan kontribusi di bidang kelautan lebih besar. Seperti Islandia, Norwegia, Spanyol, Jepang, RRC, Korea Selatan, Selandia Baru, serta Thailand memberikan kontribusi rata-rata lebih dari 30 persen.
Rokhmin menilai ekonomi kelautan Indonesia kedepan akan semakin strategis seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari poros Atlantik ke Asia-Pasifik. Hampir 70 persen total perdagangan dunia berlangsung di antara negara-negara di Asia-Pasifik. Lebih dari 75 persen barang dan komoditas yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut dan 45 persennya setara USD 1.500 triliun pertahun barang dan komoditas diperdagangkan melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
“Mestinya Indonesia yang mendapat keuntungan paling besar dari posisi kelautan global tersebut,” terangnya.
Namun, dikatakan Rokhmin dengan kondisi konektivitas kelautan, ekonomi-perdagangan dan pertahanan keamanan maritim yang lemah saat ini justru banyak merugikan Indonesia. Setiap tahunnya Indonesia kehilangan sekitar Rp. 300 triliun dari kegiatan ekonomi ilegal. Tak hanya itu, biaya logistik di Indonesia menjadi termahal di dunia sebesar 26 persen PDB akibat mahalnya transportasi laut Indonesia. Sementara negara-negara maju lainnya biaya logistik tidak lebih dari 15 persen dari PDB.
“Lebih dari 75 persen barang yang kita ekspor harus melalui pelabuhan Singapura karena hampir semua pelabuhan Indonesia belum jadi hubport yang memenuhi persyaratan internasional,” imbuhnya.
Rokhmin menegaskan perlu segera dilakukan perbaikan dalam pembangunan sektor kelautan untuk menjadikan Indonesia yang berdaya saing. Cita-cita mewujudkan Indonesia menjadi poros maritim dunia pun dapat terwujud dengan membangun kelautan berbasis inovasi yang inklusif dan ramah lingkungan, sinergi pendekatan kesejahteraan dan pendekatan hankam, serta mengembangkan kerjasama regional dan internasional yang saling menguntungkan.
Sumber: Humas UGM