Data statistik Kabupaten Sleman menunjukkan terjadi konversi lahan pertanian cukup tinggi yang diimbangi dengan pertambahan jumlah penduduk dan luas areal terbangun. Pada tahun 1987 luas lahan pertanian sebesar 26.493 hektar dan pada tahun 2007 turun menjadi 23.062 hektar. Kondisi tersebut berbeda dibandingkan dengan jumlah penduduk yang terus mengalami peningkatan sebanyak 730.889 jiwa di tahun 1987 naik menjadi 1.026.767 jiwa di tahun 2007.
Demikian juga untuk luas areal terbangun, pada tahun 1987 tercatat 10.740 hektar menjadi 19.034 hektar di tahun 2007. Hal sama terjadi di kabupaten lain di provinsi daerah istimewa Yogyakarta. Penurunan lahan sawah di Kota Yogyakarta paling tinggi (-6.75%), sedangkan Kabupaten Sleman tercatat paling tinggi (-0.68%) dibandingkan tiga kabupaten lain Bantul, Kulon Progo dan Gunung Kidul.
Hal tersebut diatas, menurut Rika Harini, S.Si, MP, staf pengajar Jurusan Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi UGM, penggunaan lahan di luar pertanian di Kota Yogyakarta cukup tinggi, sementara lahan pertanian yang ada hanya sedikit dengan pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sleman paling tinggi dan di Kabupaten Gunung Kidul paling rendah.
Dalam kurun waktu 20 tahun, kata dia, luas lahan sawah perkapita di semua wilayah di DIY mengalami penurunan. Penurunan tertinggi terjadi di Kabupaten Sleman, dari 3,62 persen di tahun 1987 menjadi 2,24 persen di tahun 2007. “Kondisi ini memperlihatkan dibandingkan wilayah lain di Provinsi DIY, konversi lahan pertanian lebih tinggi dengan peningkatan jumlah penduduk yang tinggi pula,”papar Rika di Gedung PAU UGM, Kamis (27/12) saat menjalani ujian terbuka program doktor.
Ditinjau dari aspek perkembangan kota di Propinsi DIY, Rika berpandangan kondisi tersebut memperlihatkan gejala perkembangan kota cenderung ke arah utara dan timur, yaitu ke arah Kabupaten Sleman. Kondisi ini tentu secara langsung akan berpengaruh terhadap berkurangnya lahan produktif (lahan sawah) sehingga mengancam ketahanan pangan maupun masalahan lingkungan di Kabupaten Sleman.
Kata Rika, secara umum perkembangan kota di wilayah Kabupaten Sleman yang menyebabkan konversi lahan pertanian tidak saja di sekitar pinggiran kota, namun terjadi perkembangan yang melompat-lompat. Wilayah Zone bingkai desa-kota (Zobideskot) yang merupakan wilayah dengan tingkat konversi lahan pertanian rendah telah ditentukan sebagai daerah pertanian untuk lumbung padi, seperti di Kecamatan Seyegan dan Minggir. Sedangkan Kecamatan Turi, Tempel dan Cangkringan ditetapkan sebagai daerah pertanian sekaligus kawasan lindung. “Terjadinya konversi lahan pertanian karena menjadi bagian dari pembangunan. Pembangunan ekonomi tentu membutuhkan lahan guna pembangunan sarana dan prasarana transportasi, kawasan industri dan perdagangan serta sarana publik lainnya,” katanya.
Karena itu terkait implikasi kebijakan, Rika Harini berpendapat perlu adanya reward untuk masyarakat yang menjalankan kebijakan atau aturan pemerintah dan punishment untuk masyarakat yang melanggar peraturan tentang konversi lahan pertanian. Diharapkan sikap tegas dari aparat pemerintah terhadap pengembang atau investor yang menyalahi aturan. “Hal ini perlu dilakukan agar peraturan mengenai penggunaan dan tata guna lahan di wilayah Kabupaten Sleman dapat berjalan sesuai yang dikehendaki,” terangnya.
Akibat konversi lahan yang terjadi tidak hanya di wilayah pinggiran kota, namun meliputi pula wilayah-wilayah dimana sektor pertanian mendominasi, Pemerintah perlu melakukan pemantauan setiap perkembangan penggunaan lahan pada setiap wilayah yang berada di Kabupaten Sleman. “Perlu digerakkan peningkatan inventarisasi penggunaan lahan dengan melakukan kerjasama pamong dusun dan pihak-pihak terkait, Agraria sehingga akan diperoleh data lengkap dan akurat terhadap pengembangan wilayah,”pungkas Rika yang dinyatakan lulus Program Doktor Bidang Ilmu Geografi UGM, setelah berhasil mempertahankan desertasi “Kajian Spasial Valuasi Ekonomi Lahan Pertanian Terkonversi Dan dampaknya Terhadap Produksi Pangan di Kabupaten Sleman”.
Sumber: Humas UGM