Distribusi dan disparitas ruang kota Surabaya merupakan hasil dari pergulatan panjang berbagai elemen pembentuk kota Surabaya sekitar tahun 1900-1960-an. Perebutan ruang yang terjadi pada masa itu disebabakan karena relasi antara rakyat miskin dengan negara dan pengusaha swasta yang saling berhadapan dalam mengaskes ruang kota. Rakyat miskin yang sebenarnya juga menjadi bagian dari entitas negera dalam setiap periode sejarah harus berhadapan secara langsung dengan negara dan pengusaha swasta untuk kepentingan yang sama yakni penguasaan ruang kota.
“Hal itu terjadi karena antara negara dan pengusaha swasta tidak jarang membentuk jalinan kekuatan yang kolutif dalam rangka mengusasai ruang kota demi kepentingan lembaga mereka,” kata Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum., saat melaksanakan ujian terbuka program doktor Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Selasa (20/9) di kampus setempat.
Staf pengajar pada Depertemen Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga ini menyampaikan bahwa kolusi antara negara dengan pengusaha swasta pada masa kolonial, menunjukkan wajah yang represif dalam rangka mengeksploitasi sumber daya secara maksimal. Rakyat miskin menjadi korban langsung dari sistim tersebut. Rakyat miskin direproduksi secara terus menerus dan diposisikan di tempat yang tidak strategis seperti buruh pabrik, pelayan toko, pelayan rumah tangga, dan buruh pertanian.
Menurutnya, posisi tersebut telah menempatkan rakyat miskin sebagai individu yang sangat lemah baik secara politik, sosial maupun ekonomi. Kontestasi-kontestasi yang terjadi di ruang kota tidak pernah dimenangkan rakyat miskin. Berbagai instrumen yang merepresentasikan negara tidak pernah hadir dan memihak rakyat miskin.
“Lemahnya rakyat miskin dalam kontestasi di ruang kota telah menempatkan rakyat miskin pada tempat-tempat yang kurang layak, baik secara estetis maupun ekonomis. Rumah-rumah yang dibangun merupakan reproduksi dari kemiskinan yang diderita sehingga memperlihatkan sesuatu yang kontras dengan kawasan yang disebut ruang kota,” tutur pria kelahiran Banjaregara, 27 Mei 1971 ini.
Pengalaman di Kota Surabaya juga memperlihatkan bahwa kemerdekaan ternyata hanya bersifat parsial, tidak dirasakan oleh rakyat miskin. Rakyat miskin di Surabaya semakin bertambah sejalan dengan masifnya gelombang urbanisasi. Ruang kota yang layak dan legal sebagai ruang untuk hidup bagi rakyat semakin sulit didapat sehingga perebutan ruang kota mengalami ekskalasi.
Dalam disertasi berjudul “Rakyat Miskin dan Perebutan Ruang Kota di Surabaya 1900-1960-an”, Purnawan mengatakan rakyat miskin justru dicoba disingkirkan dalam rangka membuat nyaman masyarakat berada. Pemerintah berupaya mengontrol ruang publik yang sering diakses warga kota dengan mengendalikan rakyat miskin yang mengambil alih kawasan tersebut dengan cara-cara tertentu.
Dalam beberapa kasus pemerintah tidak menindak rakyat miskin yang berhasil mengambil alih tanah yang merupakan ruang kota yang tidak strategis. Kebijakan tersebut adalah bagian dari kebijakan kanalisasi rakyat misin di Kota Surabaya agar tidak berkeliaran ke seluruh kota.
Purnawan menambahkan, perebutan ruang antara pemerintah kota Surabaya dan rakyat miskin di awal kemerdekaan tidak bisa dilepaskan dari perbedaan cara pandang keduanya mengenai ruang kota. Pemerintah Kota Surabaya merasa menjadi kelanjutan dari Gementee Surabaya, pemerintahan kota yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda, yang membuat kebijakan untuk mengontrol ruang kota yang digunakan rakyat miskin. Sementara itu rakyat miskin berpandangan bahwa ketika proklamasi kemerdekaan maka rakyat Kota Surabaya berhak mewarisi apa yang ditinggalkan penjajah. Mereka merasa berhak melakukan apa saja atas kota yang telah syah menjadi milik rakyat termasuk membagi-membagikan ruang kota untuk kepentingan mereka yang paling dasar.
Perbedaan pandangan tersebut kian diperparah dengan ketidaksiapan negara untuk menciptakan regulasi atas ruang kota. Hukum agraria yang dilahirkan negara tidak pernah secara khusus untuk mengatur tanah perkotaan. “Perebutan ruang kota memiliki potensi untuk terus membesar jika tidak ada upaya pencegahan yang lebih serius. Maka dari itu diperlukan pembuatan regulasi untuk mengatur ruang kota dalam rangka mengakomodir semua pihak yang berkepentingan atas ruang kota, tidak terkecuaIi rakyat miskin,” pungkas Purnawan yang berhasil lulus dengan predikat cum laude ini.
Sumber: Humas UGM