Peran serta masyarakat kembali menjadi ramai diperbincangkan akibat terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja. Dimana dalam persidangan terungkap fakta pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi (peran serta) kepada masyarakat “secara maksimal atau lebih bermakna”.[i] Akibatnya, meskipun diyatakan tetap berlaku secara bersyarat, karena Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK) akan dinyatakan inskonstitusional apabila selama 2 tahun tidak diperbaiki. Menarik diulas, bagaimanakah konsep peran serta masyarakat secara umum dan secara khusus terkait peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Keterkaitan Hak Atas Lingkungan Hidup dan Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup sangat terkait erat dengan hak atas lingkungan hidup. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat telah dilindungi dalam Konstitusi Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[ii] Setelah amandemen, ketentuannya dirumuskan dalam Pasal 28H ayat (1) yang menegaskan:
”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Pada prinsipnya, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[iii] Sifat HAM yang melekat kemudian menekankan arti penting dari adanya HAM yaitu, bagaimanakah upaya-upaya negara untuk memberikan jaminan kepada masyarakat dalam rangka pemenuhan atas HAM?.[iv]
Koesnadi Hardjasoemantri menyatakan, bahwa hak atas lingkungan merupakan hak subyektif yang dimiliki oleh setiap orang. Adapun realisasi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sesungguhanya merupakan upaya mewujudkan pemenuhan hak-hak asasi lainnya, khususnya hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan standar kehidupan yang layak, hak kesehatan, dan hak-hak lainnya yang dalam pemenuhannya sangat terkait dengan kondisi lingkungan hidup yang baik dan sehat. Siti Sundari Rangkuti juga menyatakan, bahwa pemaknaan secara yuridis terhadap hak atas lingkungan yang baik dan sehat harus diwujudkan melalui pembentukan berbagai saluran hukum, sebagai upaya perlindungan hukum bagi masyarakat di bidang lingkungan hidup.[v] Bentuk-bentuk perlindungan tersebut, antara lain yaitu hak mengambil bagian dalam prosedur hukum administrasi, seperti hak berperan serta (inspraak, public hearing) atau hak banding (beroep) terhadap penetapan administrasi (tata usaha negara).
Secara internasional pengakuan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan juga telah diakui sebagai salah satu prinsip utama tata kelola lingkungan dalam Deklarasi Rio 1992. Dimana Prinsip 10 Deklarasi Rio menyatakan, bahwa masalah lingkungan paling baik ditangani dengan partisipasi semua warga negara yang peduli di tingkat yang relevan. Deklarasi rio juga menetapkan, bahwa negara diminta untuk memastikan masing-masing individu memiliki akses yang tepat ke informasi mengenai lingkungan yang dimiliki oleh otoritas publik, termasuk informasi tentang bahan berbahaya dan kegiatan di komunitas mereka, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, negara harus memfasilitasi dan mendorong kesadaran dan partisipasi masyarakat dengan menyediakan informasi dengan sebaik baiknya.[vi]
Dalam konteks historis, Hak Atas Lingkungan digolongkan sebagai Hak Asasi Manusia Generasi Ketiga. Dimana hak atas lingkungan hidup bukanlah hak yang berdiri sendiri melainkan terdapat hak-hak turunan (derivatif) yang akan menentukan sejauh mana kualitas hak atas lingkungan dapat terpenuhi. Terdapat dua aspek yang membentuk hak atas lingkungan, yakni aspek prosedural dan aspek substantif. Aspek subtantif disini diartikan sebagai hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak dan hak untuk sehat, hak untuk mendapatkan keadilan intra dan anter generasi. Sedangkan hak-hak prosedural dimaksud, adalah elemen penunjang dalam rangka pemenuhan atas hak substansif, yakni hak atas informasi, hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak untuk mendapatkan akses keadilan.[vii]
Saat ini, hak-hak prosedural dalam rangka pemenuhan hak atas lingkungan telah diatur dalam Konvensi Aarhus (Convention Access to Information, Participation and Decision Making and Access to Justice in Environmental Matters). Pasal 1 Konvensi Aarhus menyatakan : “In order to contribute to the protection of the right of every person of present and future generations to live in an environment adequate to his or her health and well-being, each Party shall guarantee the rights of access to information, public participation in decision-making, and access to justice in environmental matters in accordance with the provisions of this Convention.” Ketentuan Pasal 1 Konvensi Aarhus secara explisit meminta kepada negara untuk menjamin pemenuhan hak atas akses informasi, peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan akses terhadap keadilan dalam permasalahan terkait lingkungan hidup sebagai bentuk pemenuhan hak atas lingkungan hidup oleh negara.
Dengan demikian, upaya pemenuhan akses peran serta kepada masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup merupakan suatu prasyarat dalam pemenuhan terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945.
Urgensi Implementasi Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat atau yang juga dikenal dengan istilah partisipasi publik adalah elemen penting dari pengambilan keputusan lingkungan yang baik dan sah secara demokratis. Peran serta masyarakat merupakan salah satu bentuk saluran yang diberikan kepada masyarakat, sehingga mendorong masyarakat untuk secara aktif menuntut pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik. Saat ini, pengakuan terhadap proses peran serta masyarakat dapat dilihat pada setiap level kebijakan, baik secara internasional, regional, nasional dan lokal.
Sherry R. Arnstein dalam makalahnya berjudul “A Ladder of Citizen Participation” yang terbit tahun 1969 menyatakan : “The idea of citizen participation is a little like eating spinach: no one is against it in principle because it is good for you.” Dengan kata lain, partisipasi masyarakat adalah suatu gagasan yang sangat baik, seperti halnya “makan bayam” dimana seharusnya tidak akan ada yang menentang suatu gagasan yang baik.
Lebih lanjut, Koesnadi Hardjasoemantri juga menyatakan, bahwa: “Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup mempunyai jangkauan luas. Peran serta tersebut tidak hanya meliputi peran serta para individu yang terkena berbagai peraturan atau keputusan administratif, akan tetapi meliputi pula peran serta kelompok dan organisasi dalam masyarakat. Peran serta efektif dapat melampaui kemampuan orang seorang, baik dari sudut kemampuan keuangan maupun dari sudut kemampuan pengetahuannya, sehingga peran serta kelompok dan organisasi sangat diperlukan, terutama yang bergerak di bidang lingkungan hidup.”[viii]
Ilustrasi gambar: manfaat peran serta masyarakat menurut istilah arnstein
Meminjam istilah satire R. Gerung dalam sebuah perdebatan di Media, mungkin saja “ada yang salah dengan sistem pencernaan kita”. Sehingga wajarlah adanya untuk menolak tambahan menu berupa “bayam” sebagai pemenuhan resep dari “empat sehat, lima sempurna”.
Urgensi terkait peran serta masyarakat mungkin menjelaskan, mengapa UUPPLH mengatur ketentuan peran serta masyarakat dalam suatu Bab tersendiri, yaitu Bab XI tentang Peran Masyarakat.
Koesnadi mengemukakan empat landasan perlunya peran serta masyarakat, yaitu[ix]:
- Memberi informasi kepada pemerintah. Peran serta masyarakat terutama akan dapat menambah perbendaharaan pengetahuan mengenai sesuatu aspek tertentu yang diperoleh dari pengetahuan khusus masyarakat itu sendiri maupun dari para ahli yang dimintai pendapat oleh masyarakat. Dimana berbagai kepentingan, permasalahan, pengetahuan dan pemahaman masyarakat dapat menjadi sebuah masukan yang berharga dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan.
- Meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan pemerintah. Seorang warga masyarakat yang telah memperoleh kesempatan untuk berperanserta dalam proses pengambilan keputusan dan tidak dihadapkan pada suatu “fait accompli”, akan cenderung untuk memperlihatkan kesediaan yang lebih besar guna menerima dan menyesuaikan diri dengan keputusan tersebut.
- Membantu perlindungan hukum. Peran serta pada dasarnya dapat mencegah timbulnya pengajuan gugatan oleh masyarakat. Apabila pengambilan sebuah keputusan telah diambil dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang diajukan oleh masyarakat selama berlangsungnya proses pengambilan keputusan, maka akan menghilangkan berbagai keberatan atau sumber permasalahan yang kedepannya, mungkin berpotensi menjadi perkara di pengadilan. Selain itu, pada saat peran serta dalam proses pengambilan keputusan, maka berbagai alternatif dapat dan memang akan dibicarakan, setidak-tidaknya sampai suatu tingkatan tertentu. Sebaliknya, apabila sebuah perkara sampai pada pengadilan, maka lazimnya perkara tersebut hanya terbatas atau memusatkan pada suatu persoalan tertentu saja, sehingga tidak terbuka kesempatan untuk memberikan saran atau alternatif pertimbangan lainnya.
- Mendemokratisasikan pengambilan keputusan. Dalam hubungan dengan peran serta masyarakat ini, ada pendapat yang menyatakan, bahwa dalam pemerintahan dengan sistem perwakilan, maka hak untuk melaksanakan kekuasaan ada pada wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat. Dengan demikian, tidak ada keharusan adanya bentuk-bentuk dari peran serta masyarakat karena wakil-wakil rakyat itu bertindak untuk kepentingan rakyat. Dikemukakan pula argumentasi, bahwa dalam sistem perwakilan, peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan administratif akan menimbulkan masalah keabsahan demokratis, karena warga masyarakat, kelompok atau organisasi yang turut serta dalam proses pengambilan keputusan tidaklah dipilih atau diangkat secara demokratis. Terhadap kritik-kritik tersebut di atas, Gundling mengemukakan tanggapannya, yaitu : (1) bahwa demokrasi dengan sistem perwakilan adalah satu bentuk demokrasi, bukan satu-satunya; (2) bahwa sistem perwakilan tidak menutup bentuk-bentuk demokrasi langsung; dan (3) bahwa bukanlah warga masyarakat, sekelompok warga masyarakat atau organisasi yang sesungguhnya mengambil keputusan; mereka hanya berperan serta dalam tahap-tahap persiapan pengambilan keputusan. Monopoli Negara dan lembaga-Iembaganya untuk mengambil keputusan tidaklah dipersoalkan oleh adanya peran serta masyarakat ini. Peran serta masyarakat dapatlah dipandang untuk membantu Negara dan lembaga-lembaganya guna melaksanakan tugas dengan cara yang lebih layak diterima dan berhasil guna.
Tangga Partisipasi Arnsteins Ladder[x]
Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan di Amerika Serikat diilustrasikan oleh Arnsteins melalui suatu tangga partisipasi masyarakat yang dikenal dengan istilah “Arnsteins Ladder”. Tujuan Arnstein mengembangkan tangga arnstein adalah untuk menggambarkan bagaimana kelompok masyarakat yang tidak memiliki pengaruh (the have-not citizens) cenderung dieksploitasi dalam proses pengambilan keputusan oleh pemegang kekuasaan. Selain itu, Arnstein juga menggambarkan seberapa besar kekuatan yang dimiliki pemangku kepentingan dalam menentukan produk akhir atau pengambilan keputusan.
Tangga Arnsteins dapat menunjukkan tingkat proses partisipasi mayarakat mulai dari yang terendah hingga tingkat tertinggi. Penyusunan tingkatan tangga didasarkan atas delapan tingkatan tangga yang menggambarkan tingkat keterlibatan masyarakat serta kekuatan yang diberikan kepada masyarakat melalui proses partisipasi masyarakat. Berikut ini disajikan gambar Tangga Partisipasi Arnstein.
Kedelapan anak tangga seperti terlihat pada gambar, dikelompokan atas 3 sifat kekuasaan yang dimiliki masyarakat dalam proses partisipasi untuk pengambilan keputusan, yaitu bersifat Non Participation (tidak ada kekuasaan). 2. Tokenism (cenderung formalitas), dan 3. Citizen Power (pengambilan keputusan oleh masyarakat).
Arnstein mengilustrasikan anak tangga yang terendah tingkatannya adalah 1. Manipulasi atau rekayasa (Manipulation) dan 2. Terapi (Therapy). Kedua anak tangga tersebut menggambarkan tingkat “non-participation” karena minimnya kekuasaan yang diberikan kepada masyarakat. Dimana pemegang kekuasaan menganggap, bahwa keputusan yang dibuatnya adalah keputusan atau obat yang “terbaik” bagi masyarakat, sehingga mereka berupaya untuk mempengaruhi partisipasi dengan mendidik (educate) atau menawarkan obat (cure) kepada masyarakat.
Partisipasi yang manipulatif seperti partisipasi yang direkayasa pemegang kekuasaan dengan tujuan menimbulkan anggapan, bahwa partisipasi sudah diselenggarakan. Arnstein memberikan contoh, dimana masyarakat diangkat dalam suatu lembaga atau komite untuk sarana menyerap aspirasi publik, kenyataannya lembaga tersebut tidaklah memiliki fungsi atau kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Sehingga tidak lebih dari sekedar proses pemberian informasi, pendidikan, bujukan, nasihat atau sebatas sosialisasi dari pemegang kekuasaan kepada masyarakat yang ada dalam lembaga tersebut. Meskipun ada kesan partisipasi telah diselenggarakan dengan mengangkat warga dalam lembaga terkait, namun kenyataanya tidak terjadi adanya diskusi antara pemegang kekuasaan dan masyarakat yang lazim menjadi tujuan dari proses partisipasi masyarakat.
Berikutnya Therapy, digambarkan Arnstein dengan kasus, dimana seorang ayah membawa bayinya ke gawat darurat rumah sakit setempat. Kemudian seorang dokter muda menyarankan untuk membawa pulang bayinya dan memberinya air gula. Sorenya, bayi itu meninggal karena dehidrasi dan radang paru-paru. Sang ayah pergi untuk mengadu, lalu ketika seharusnya penyelidikan prosedur rumah sakit untuk mencegah peristiwa serupa berulang di masa depan, masyarakat setempat malah mengundang sang ayah ke beberapa jenis sesi pendidikan penitipan anak. Kemudian rumah sakit memberikan janji (penenang) kepadanya, bahwa seseorang akan membuat panggilan telepon ke rumah sakit untuk memastikan peristiwa yang menimpanya tidak akan terulang kembali. Ini tentu saja merupakan contoh terapi yang sangat dramatis tetapi ada lebih banyak cara untuk “mendiamkan” masyarakat. Hanya dengan berasumsi, bahwa karena mereka tidak memiliki kekuatan maka mereka sakit jiwa. Itulah sebabnya bentuk partisipasi ini disebut terapi, menempatkan warga negara untuk bekerja mengubah diri mereka sendiri, daripada memberi mereka suara dalam prosedur partisipasi.
Secara lebih sederhana, mungkin para buruh dan mahasiswa di Indonesia yang berpartisipasi untuk menolak terbitnya Revisi KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) pernah merasakan bentuk Therapy. Ketika aspirasi mahasiswa cenderung dikerdilkan, dengan mengalihkan pembahasan pada persoalan, belum dibacanya ribuan halaman dari KUHP dan UUCK oleh para mahasiswa. Sedangkan pembahasan tentang hak atau suara buruh dan mahasiswa sebagai bentuk peran sertanya, cenderung diabaikan dan tidak dipersoalkan.
Anak tangga berikutnya bersifat tokenisme atau cenderung formalitas belaka, yaitu anak tangga Menginformasikan (Informing) dan Konsultasi (Consultation). Kedua anak tangga ini memberikan akses agar suara masyarakat didengar oleh pemegang kekuasaan pengambil keputusan. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak, tanggung jawab, dan pilihan mereka dapat menjadi langkah awal yang penting menuju partisipasi masyarakat yang ideal. Namun, apabila arus informasi yang terjadi hanya satu arah dari pemegang kekuasaan kepada masyarakat, tanpa disertai saluran umpan balik, maka sesungguhnya negosiasi dalam partisipasi tersebut tidaklah terjadi. Sarana yang sering digunakan melalui media berita, pengumuman, pamflet, poster, dan tanggapan terhadap pertanyaan.
Selanjutnya Anak tangga konsultasi digambarkan, dimana masyarakat diminta untuk memberikan suaranya sebagai bentuk partisipasi oleh pemegang kekuasaan, sehingga terlihat kesan masyarakat telah berpartisipasi dan didengarkan. Tetapi apabila masyarakat tidak dapat memastikan, bahwa suara atau gagasan yang telah diberikan diperhatikan oleh pemegang kekuasaan, maka suara yang telah diberikan tidaklah berguna. Dengan kata lain, tidak ada jaminan mengubah keadaan sebelumnya (status quo).
Sedangkan anak tangga yang kelima (5) adalah Placation atau suatu bentuk partisipasi yang bertujuan untuk menenangkan masyarakat, sehingga mencegah adanya penolakan, perlawanan dan sikap permusuhan. Anak tangga sesungguhnya bersifat tokenisme, meskipun pada tingkatan yang lebih baik dari anak tangga sebelumnya. Dimana masyarakat dapat memberikan saran atau pendapat, tetapi kekuasaan pengambilan keputusan tetaplah sama, bukan pada masyarakatnya.
Arnstein mencontohkan strategi “penenang” dimana beberapa masyarakat miskin yang “layak” dipilih dalam suatu dewan atau Badan publik seperti dewan pendidikan, komisi kepolisian, atau otoritas perumahan. Apabila perwakilan terpilih kenyataannya tidak bertanggung jawab pada konstituennya dan jika pemegang kekuasaan memiliki mayoritas kursi, maka suara masyarakat sesungguhnya sangatlah lemah dan mudah disingkirkan. Contoh lainnya adalah dalam suatu komite penasihat dan perencanaan kota. Dimana komite mengizinkan warga untuk menasihati atau merencanakan pembangunan, tetapi kenyataanya tetap mempertahankan kekuasaan dan wewenang dalam menilai keabsahan atau kelayakan nasihat dari masyarakat. Sejauh mana masyarakat benar-benar ditenangkan, tentu sangat tergantung pada dua faktor: kualitas bantuan teknis yang mereka miliki dalam mengartikulasikan prioritas masyarakat; dan sejauh mana komunitas telah diorganisasikan untuk menekan prioritas tersebut.
Tiga tangga yang terakhir merupakan tingkatan kekuasaan terbesar partisipasi dalam pengambilan keputusan. Masyarakat yang berpartisipasi pada tangga ke-enam (6), yakni Kemitraan (Partnership) memungkinkan masyarakat untuk bernegosiasi dan terlibat dalam pertukaran informasi atau pengetahuan dengan pemegang kekuasaan. Pada tangga ini, Arnstein menggambarkan keadaan dimana pemegang kekuasaan menyusun struktur pengambilan keputusan yang memungkinkan masyarakat memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan. Selain itu, masyarakat juga diberikan pendanaan, waktu untuk memahami informasi yang diberikan, serta bantuan lainnya dalam rangka menunjang partisipasinya oleh pemegang kekuasaan.
Pada anak tangga ketujuh (7), yaitu Kekuasaan yang Didelegasikan (Delegated Power) digambarkan melalui struktur kelembagaan pengambilan keputusan, dimana sebagian besar kekuasaan diberikan kepada masyarakat. Dengan begitu masyarakat memiliki pengaruh yang sangat dominan dalam setiap pengambilan keputusan. Contoh lainnya adalah dengan menyerahkan seluruh anggaran untuk partisipasi masyarakat, kepada suatu lembaga khusus dibentuk oleh masyarakat dalam rangka memastikan pelaksanaan partisipasi masyarakat berlangsung lebih independen tanpa adanya pengaruh yang signifikan dari pemegang kekuasaan. Model lain adalah kelompok warga dan pemegang kekuasaan yang terpisah dan paralel, dengan ketentuan veto warga negara jika perbedaan pendapat tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi. Ini adalah model koeksistensi yang sangat menarik untuk kelompok warga yang bermusuhan yang terlalu sakit hati untuk terlibat dalam perencanaan bersama, akibat proses peran serta di masa lalu.
Anak tangga terakhir adalah kekuasaan di tangan masyarakat (Citizen Control). Pada anak tangga ini, masyarakat diberikan tingkat kekuasaan (atau kontrol) yang dapat menjamin, bahwa masyarakat dapat mengatur program atau lembaga yang dibentuk, serta bertanggung jawab penuh atas aspek kebijakan dan manajerial, dan dapat menegosiasikan kondisi di mana “pihak lain” dapat mengubah suara masyarakat. Meskipun umumnya tidak akan ada masyarakat yang dapat memperoleh kekuasaan mayoritas pengambilan keputusan secara penuh (absolut), karena pemegang kekuasaan adalah pelaksana program, namun penting mengatur strategi agar partisipasi masyarakat berjalan secara ideal.
Meskipun Tangga Arnstein memang merupakan suatu penyederhanaan dari berbagai macam bentuk partisipasi publik, dimana diseluruh dunia mungkin terdapat lebih dari 150 anak tangga. Namun, dengan adanya pengkualifikasian 8 anak tangga Arnstein tetap sangat berguna sebagai panduan untuk melihat bentuk partisipasi masyarakat seperti apa yang dijalankan serta siapakah sesungguhnya pemegang kekuasaan dalam proses penyelenggaraan partisipasi.
Kedelapan anak tangga dapat membantu memahami perbedaan partisipasi dalam tingkatan ideal sampai tingkat manipulatif atau seremonial belaka. Sebuah poster yang dilukis oleh mahasiswa Prancis (1968) mengilustrasikan perbedaan tingkat partisipasi Arnstein dengan menyoroti poin mendasar, bahwa partisipasi tanpa redistribusi kekuasaan adalah proses yang kosong dan membuat frustrasi bagi mereka yang tidak berdaya. Sehingga partisipasi hanyalah langkah memuluskan pemegang kekuasaan untuk mengklaim, bahwa semua pihak dipertimbangkan, namun kenyataannya, hanya beberapa pihak saja yang diuntungkan.
Terjemahan bebas Poster mahasiswa Prancis : “Saya berpartisipasi, anda berpartisipasi, dia berpartisipasi, kami berpartisipasi… … merekalah yang untung.”
Prinsip Peran Serta Masyarakat Menurut Konvensi Aarhus
Konvensi Aarhus (Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-Making and Access to Justice in Environmental Matters) diselenggarakan pada 25 Juni 1998 oleh Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa The United Nations Economic Commission for Europe (UNECE) di Aarhus, Denmark. Konvensi ini bertujuan untuk memberikan kontribusi dalam perlindungan hak setiap orang, baik generasi sekarang dan masa depan untuk hidup dalam lingkungan, kesehatan dan kesejahteraan yang memadai. Sehingga ketentuan yang ditetapkan dalam konvensi ini, dapat menjadi “pondasi” sekaligus acuan utama bagi pemerintah atau perusahaan dalam rangka implementasi peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Konvensi aarhus telah menetapkan sejumlah hak masyarakat, baik perorangan maupun kelompok terkait hak atas lingkungan hidup yang sehat. Dimana para pihak dalam konvensi ini diminta untuk menjamin hak-hak akses ke informasi, partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan akses terhadap keadilan dalam masalah-masalah lingkungan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini.
Konvensi Aarhus menetapkan ketentuan [xi]:
- hak setiap orang untuk menerima informasi lingkungan yang dipegang oleh otoritas publik (akses ke informasi lingkungan). Ini dapat mencakup informasi tentang keadaan lingkungan, tetapi juga tentang kebijakan atau tindakan yang diambil, atau tentang keadaan kesehatan dan keselamatan manusia di mana hal ini dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Pelamar berhak untuk mendapatkan informasi ini dalam waktu satu bulan sejak permintaan dan tanpa harus mengatakan mengapa mereka membutuhkannya. Selain itu, otoritas publik diwajibkan, berdasarkan Konvensi, untuk secara aktif menyebarluaskan informasi lingkungan yang mereka miliki;
- hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan lingkungan. Pengaturan harus dibuat oleh otoritas publik untuk memungkinkan organisasi non-pemerintah publik yang terkena dampak dan lingkungan untuk mengomentari, misalnya, proposal untuk proyek yang mempengaruhi lingkungan, atau rencana dan program yang berkaitan dengan lingkungan, saran dan masukan yang diberikan harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, dan informasi yang akan diberikan tentang keputusan akhir dan alasannya (partisipasi publik dalam pengambilan keputusan lingkungan);
- hak untuk meninjau kembali prosedur untuk menggugat keputusan publik yang telah dibuat tanpa menghormati kedua hak tersebut di atas atau hukum lingkungan pada umumnya (akses terhadap keadilan).
Meskipun Konvensi Aarhus hanyalah diperuntukan bagi masyarakat eropa, namun penandatangan oleh 39 negara eropa (European Community), secara politik telah memperkuat pengakuan atas substansinya, yaitu berupa prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam konvensi. Misalnya saja Indonesia, meskipun tidak meratifikasi konvensi tersebut, namun telah mengadopsi substansi atau prinsip-prinsip Konvensi Aarhus dalam Pasal 65 dan Pasal 68 Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Selaras dengan Konvensi Arrhus, menurut Koesnadi Hardjasoemantri peran serta masyarakat memerlukan adanya penyaluran informasi kepada masyarakat dengan cara yang berhasilguna dan berdayaguna. Antara lain yaitu :
- Pemastian penerimaan informasi. Peraturan perundang-undangan di berbagai negara memuat ketentuan yang mengharuskan badan-badan yang bersangkutan untuk mengumumkan rencana kegiatan dalam penerbitan resmi dan atau melalui media massa, baik pada tingkat lokal, propinsi maupun pada tingkat nasional, tergantung pada ruang lingkup rencana kegiatan tersebut. Badan-badan tersebut diwajibkan pula untuk memamerkan dalam kurun waktu tertentu dokumen-dokumen seperti misalnya uraian proyek, permohonan izin dan sampai batas tertentu juga laporan, hasil studi serta berbagai pendapat dan saran. Pameran dokumen-dokumen tersebut dilakukan di tempat umum yang mudah dikunjungi masyarakat. Di Amerika Serikat dikembangkan kebiasaan, yaitu di samping adanya pengumuman kepada masyarakat melalui media sebagai-mana diuraikan di atas, juga dikirimkan pemberitahuan kepada warga masyarakat, kelompok dan organisasi konservasi alam yang menaruh perhatian. Daftar mereka ini senantiasa dipelihara untuk keperluan pengiriman pemberitahuan, bahan-bahan, dan sebagainya.
- Informasi lintas-batas (transfrontier information). Masalah yang sangat penting adalah yang bentuk dan kegiatan pencemaran tertentu di daerah perbatasan yang dapat menimbulkan pencemaran lintas batas negara dan memberikan dampak kepada warga masyarakat yang hidup di negara yang berbatasan. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan misalnya ketentuan yang menyatakan bahwa badan federal Amerika Serikat harus mempertimbangkan dampak sesuatu kegiatan federal tentang lingkungan hidup terhadap lingkungan hidup di negara-negara lain, terhadap laut bebas, atau terhadap wilayah yang tidak bernaung di bawah yurisdiksi nasional, seperti daerah Antartika. Untuk keperluan ini, ketentuan menyatakan, bahwa Departemen Luar Negeri, Council on Environmental Quality dan badan-badan federal lainnya diwajibkan guna menyelenggarakan program yang ditujukan kepada penyediaan keterangan secara terus-menerus mengenai keadaan lingkungan. Selain daripada itu, badan-badan federal tertentu diwajibkan untuk menetapkan prosedur tentang bagaimana dan bilamana negara lain yang terkena dampak itu akan diberitahukan tentang dampak dari sesuatu kegiatan itu.
- Informasi tepat waktu (timely information) Peran serta masyarakat yang berhasilguna memerlukan informasi sedini dan seteliti mungkin. Informasi perlu diberikan pada saat belum diambil sesuatu keputusan yang mengikat serta masih ada kesempatan untuk mengusulkan alternatif-alternatif. Memberikan informasi sedini mungkin ini adalah salah satu tujuan dari peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat, misalnya tentang keharusan secepat mungkin mengumumkan rancangan Enviromental Impact Statement (EIS), mengingat bahwa EIS itu merupakan sarana untuk memperkirakan dampak rencana kegiatan dan bukan untuk membenarkan sesuatu keputusan yang telah diambil.
- Informasi lengkap (comprehensive information). Mengenai isi yang perlu dituangkan dalam informasi terdapat banyak perbedaan dari negara ke ‘negara. Ketentuan yang mengatur hal ini, yang dikaitkan dengan peranserta masyarakat, terdapat secara lebih lengkap dalam peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat. Draft EIS misalnya sudah harus mempertimbangkan alternatif-alternatif lainnya mengenai sesuatu rencana kegiatan.
- Informasi yang dapat dipahami (comprehensible information). Sesuatu informasi harus dapat dipahami oleh warga masyarakat, karena kalau tidak maka informasi tersebut tidak berguna sama sekali. Pengambilan keputusan di bidang lingkungan hidup sering meliputi masalah-masalah yang amat kompleks dan bersifat teknis ilmiah yang rumit. Namun tetap harus diusahakan agar informasi mengenai masalah tersebut dapat dipahami oleh masyarakat. Oleh karena itu dalam peraturan perundang-undangan beberapa negara dimuat ketentuan mengenai perlunya informasi disajikan dengan bahasa yang dapat dipahami.
Di Amerika Serikat terdapat ketentuan tentang rekomendasi mengenai perlunya EIS dirancang dalam bentuk yang mudah dipahami, dengan perhatian lebih banyak diberikan kepada isi dari informasi daripada kepada bentuk tertentu atau kepada ketentuan-ketentuan formal lainnya. Ketentuan yang sama terdapat di Republik Federasi Jerman mengenai prosedur perizinan. Para, pemohon izin diwajibkan menyampaikan uraian singkat mengenai proyek mereka dengan cara yang mudah dipahami oleh masyarakat tentang dampak potensial yang ditimbulkan oleh proyek tersebut terhadap lingkungan.
Peran Serta Masyarakat Menurut UUPPLH (Peran Serta Amdal Pasca UUCK dan Putusan MK)
Pasal 70 Ayat (1) UUPPLH telah menegaskan, bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Tujuannya untuk: a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; c. Menumbuh-kembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; d. Menumbuh-kembangkan ketanggap-segeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, sesungguhnya UUPPLH telah menggariskan adanya pengakuan dan manfaat dari peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Namun, setelah terbitnya Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK) timbul polemik terkait pandangan adanya reduksi peran serta masyarakat dalam proses Amdal. Penilaian itu disampaikan salah satu Pakar hukum Lingkungan Andri G. Wibisana, yang menilai peran serta masyarakat dalam UUPPLH semakin lemah pasca UUCK.[xii]
Dalam Webinar “Urun Rembug” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada (PSLH UGM) Seri ke-13 pada tanggal 15 Desember 2021, Ary Sudijanto selaku Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan (PDLUK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menepis anggapan tersebut. Menurutnya, proses konsultasi publik atau terkait keterlibatan masyarakat dalam Amdal tidak mengalami reduksi.
Menurut Ary yang menjadi salah satu pembicara dalam Webinar bertema “Amdal Pasca Judicial Review MK Atas UU Cipta Kerja” tersebut, perubahan pengaturan Pasal 26 UUPPLH tentang keterlibatan masyarakat dalam proses Amdal hanya bertujuan untuk mereduksi kewajiban pemrakarsa (pelaku usaha), dalam proses penyusunan Amdal. Sedangkan untuk keterlibatan masyarakat dalam Proses Amdal, baik pemerhati lingkungan atau masyarakat non terdampak, tetap diberikan akses dalam proses penilaian Amdal yang telah disusun oleh Pemrakarsa. Dengan kata lain, tujuannya adalah mengurangi kewajiban pelaku usaha, dengan tetap memastikan adanya akses peran serta seluruh masyarakat dalam Proses Penilaian Amdal.
Lihat streaming dalam (https://www.youtube.com/watch?v=0tRClDVcxr4&t=1440s)
Pada Webinar tersebut Ary Sudijanto berharap, agar jangka waktu yang diamanatkan dalam putusan MK tentang tentang UUCK dapat menjadi momentum pembuktian kinerja yang telah dicapai, berupa perubahan pengaturan yang terbit dalam rangka melaksanakan amanat UUCK. Meskipun, KLHK pada dasarnya tidaklah menutup kemungkinan adanya proses perbaikan kembali, apabila kedepannya masih terdapat peraturan yang dirasa belum baik atau belumlah optimal.
Pada akhir acara Urun Rembug timbul sebuah harapan, agar Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja seluruh pihak dapat ikut memantau kinerja berbagai perubahan substansi pengaturan tentang perlindungan lingkungan yang telah dihasilkan. Termasuk implementasi peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup tentunya. Sehingga dibutuhkan dukungan seluruh pihak dalam proses pembenahan untuk pengaturan yang terbaik terkait implementasi Amdal. Apabila masih ditemukan adanya kekurangan dan implementasi yang patut dibenahi, maka pembenahan tidak hanya berlangsung dalam waktu 2 tahun sebagai amanat Putusan MK, namun tentu saja untuk seterusnya…
[i] Lihat dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja
[ii] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[iii] Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
[iv] Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Edisi Keempat, Surabaya, 2015, hlm. 290
[v] Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Edisi Keempat, Surabaya, 2015, hlm. 283
[vi] Lihat Deklarasi Rio Tahun 1992 dalam (https://www.un.org/en/development/desa/population/migration/generalassembly/docs/globalcompact/A_CONF.151_26_Vol.I_Declaration.pdf)
[vii] Agung Wardana, “Hak Atas Lingkungan: Sebuah Pengantar Diskusi”, Tulisan disajikan pada Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali pada Jumat, 20 April 2012 di Denpasar. sumber (https://media.neliti.com/media/publications/29371-ID-hak-atas-lingkungan-sebuah-pengantar-diskusi.pdf)
[viii] Koesnadi Hardjasoemantri, Aspek hukum Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1986.
[ix] Koesnadi Hardjasoemantri, Aspek hukum Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1986.
[x] Baca lebih lanjut dalam: Sherry R. Arnstein (2019) A Ladder of Citizen Participation, Journal of the American Planning Association, 85:1, 24-34, DOI: 10.1080/01944363.2018.1559388
[xi] Lihat text lengkap konvensi aarhus dalam: (https://ec.europa.eu/environment/aarhus/)
[xii] Baca dalam: (https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f981318c8f7d/guru-besar-fhui–uu-cipta-kerja-sektor-lingkungan-tidak-lebih-baik-dibanding-uu-pplh?page=all)
Penulis: Faisol Rahman
Editor: Zakky Ahmad