Upacara telah menjadi bagian dari aktivitas kehidupan masyarakat Rancakalong, senyatanya merupakan sebuah praktik kebudayaan, yang keberadaannya dikonstruksi melalui jaringan kekuasaan. Adanya bentuk reproduksi dan rekonstruksi Sukur Bumi, menandakan upacara berada dalam struktur yang terus berubah dan bergerak di antara kompleksitas kekuasaan yang mengkonstruksinya.
“Di sinilah, kajian tentang upacara jadi pelik dan licin,”papar Yanti Heriyawati, pada ujian terbuka program doktor Program Studi Kajian Budaya dan Media, di Sekolah Pascasarjana UGM, Rabu (10/4).
Dosen Jurusan Teater STSI Bandung ini mempertahankan disertasinya yang berjudul Kuasa Upacara Reproduksi dan Rekonstruksi ‘Sukur Bumi” di Rancakalong Sumedang Jawa Barat. Sukur Bumi adalah upacara-upacara yang diposisikan masyarakat Rancakalong sebagai bentuk ekspresi dari rasa syukur atas semua berkah yang dinikmati dari hasil bumi yang memberi kehidupan bagi manusia.
Pada penelitiannya itu kajian tentang relasi kuasa difokuskan pada praktik reproduksi dan rekonstruksi Sukur Bumi di Rancakalong. Reproduksi dilakukan sebagai cara masyarakat dalam memaknai Sukur Bumi sebagai warisan leluhurnya. Hubungan kekuasaan dapat dilihat pada bagaimana masyarakat melakukan interpretasi dan pemaknaan atas bentuk dan struktur upacara yang telah dikonstruksi oleh leluhurnya.
“Berbagai simbol yang digunakan dalam upacara merupakan representasi dari cara berfikir atau gagasan leluhur. Masyarakat (generasinya) kemudian mereproduksi symbol tersebut dengan pemaknaan yang kontekstual dengan kebutuhannya kini,”urainya.
Ia menjelaskan penelusuran pihak mana yang dominan dan siapa yang dimarjinalkan dalam konteks upacara (Sukur Bumi) sangat sulit, karena pemosisian tersebut sangat halus dan simbolik, sehingga tidak Nampak secara langsung. Batasnya begitu tipis dan transparan. Namun di sanalah menunjukkan tingkat kompleksitasnya jaringan kekuasaan dan pemaknaannya.
Dari penelitian itu juga dapat diketahui bahwa keberadaan upacara sangat terkait dengan posisi leluhur yang punya kuasa mengkonstruksi generasinya (masyarakat) untuk tunduk dan menjalankan apa yang telah dibuatnya. Begitu pula keberadaan pemerintah dan agama yang memiliki peran dominan dalam mengkonstruksi upacara berdasarkan kepentingannya. Masyarakat pun dapat dipandang sebagai pelaku upacara yang memiliki kepentingan tersendiri mengapa upacara tetap dijalankan.
“Upacara merupakan zona pertarungan kuasa dari berbagai pihak dalam proses mengkonstruksi dan memperebutkan makna,”pungkas Yanti yang lulus doktor dengan predikat sangat memuaskan ini.
Sumber: Humas UGM