Bencana banjir bandang yang melanda Kota Padang pada 24 Juli lalu diketahui menimbulkan kerugian beberapa rumah hanyut, ratusan rumah terendam dan pengungsi mencapai 1.200 jiwa. UGM mengirimkan tim peneliti untuk meneliti faktor penyebab banjir serta membangun kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi peristiwa serupa. Selama dua hari, 28-29 Juli, dari hasil temuan tim menduga bahwa banjir bandang tersebut terjadi akibat bendung alam di aliran sungai Limau Manis yang ada di bukit barisan. “Dugaan kami, sungai limau manis mengalami pembendungan alam akibat erosi,” kata Dr. Salahuddin Husein kepada wartawan, Senin (13/8).
Dari hasil pengamatan di lapangan, kata Salahudin, banjir bandang sungai limau manis membawa sedimen beragam ukuran, mulai dari lempung hingga bongkah berdiameter puluhan sentimeter. Limau Manis memiliki morfologi cekungan yang unik di bagian hulu, dengan karakter melebar yang menyerupai ‘sendok’ dengan diameter sekitar 2 km yang kemudian menyempit menuju ke arah hilir. Karakter morfologi seperti ini dikontrol oleh variasi batuan yang mudah tererosi di suatu tempat membentuk cekungan luas yang diselingi oleh batuan resisten yang membentuk lembah sempit. Penyempitan lembah aliran sungai rawan terhadap pembendungan alami, dimana material permukaan seperti tanah, batuan, dan batang pepohonan, mampu membentuk bendung alam di bagian yang sempit, yang pada akhirnya akan menimbulkan pengumpulan massa air di bagian hulu. “Ketinggian air hulu kritis, bendungan alam tersebut dapat saja runtuh oleh kekuatan gravitasi yang bekerja pada massa air yang besar, dan memicu terjadinya banjir bandang di bagian hilir aliran sungai,” ujarnya.
Namun berdasarkan atas data geologi yang didapat terhadap aliran kondisi Banjir bandang tersebut ditemukan data banjir bandang tersebut pernah terjadi sebelumnya dengan rentang waktu lebih dari dua generasi. Berdasarkan salah satu rumah di bantaran aliran sungai Limau Manis yang diterjang banjir bandang, terdapat adanya endapan banjir purba di dasar pondasinya. Bahkan di sekitar areal persawahan yang dilewati banjir menunjukkan adanya endapan tanah purba. “Kehadiran tanah purba mengindikasikan periode banjir dalam rentang waktu yang sangat lama,” katanya.
Dr. Faisal Fathani, anggota tim peneliti lainnya mengatakan kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan pemerintah bersama masyarakat diantaranya pertama, penataan alur sungai. Kedua, penataan daerah hulu; dan ketiga, penerapan sistem peringatan dini. Penataan normalisasi sungai dilakukan dengan mempertahankan sempadan sungai, fungsi badan sungai, mengamankan tebing sungai dari bahaya longsor dan Pembuatan tanggul atau bangunan lain sebagai perlindungan terhadap elevasi muka air tinggi. “Penataan alur sungai dan pengaturan tata ruang mendesak dilakukan terutama terhadap areal persawahan dan pemukiman yang berada di sekitar aliran Sungai Limau Manis,” katanya.
Sementara penataan daerah hulu dilakukan melalui pengawasan ketat kegiatan penebangan (logging) di sekitar daerah tangkapan. Di samping itu, wacana pembangunan waduk pengendali banjir di daerah hulu sungai-sungai di Kota Padang juga sudah berkembang sejak beberapa tahun terakhir perlu segera direalisasikan. “Waduk ini, di samping berfungsi sebagai pengendali banjir, juga dapat difungsikan sebagai sumber air bersih, pembangkit listrik dan objek wisata,” katanya.
Selanjutnya, untuk itu penerapan sistem peringatan dini banjir bandang dapat dilakukan dengan menempatkan alat pemantau di bagian hulu dan instrumen peringatan dini kepada warga masyarakat di bagian hilir sungai. Alat pemantau yang dapat digunakan adalah ARR (Automatic Rainfall Recorder) dan AWLR (Automatic Water Level Recorder) berupa ultrasonic sensor dan sistem pendulum yang ditempatkan di daerah hulu. “Sistem ini telah banyak dikembangkan dan digunakan di beberapa daerah bencana di Indonesia, salah satunya pada aliran sungai vulkanik di Gunung Merapi untuk memantau datangnya aliran lahar dingin,” pungkasnya.
Sumber: Humas UGM