Keberadaan sabodam yang dibangun di sepanjang sungai di sekitar hulu Gunung Merapi tidak hanya mampu menjalankan fungsinya sebagai penahan aliran lahar dingin, tetapi juga berhasil meminimalisasi bahaya dampak kerugian banjir lahar yang lebih besar. Kendati bencana erupsi Merapi akhir tahun lalu menyebabkan hampir semua sabodam mengalami kerusakan dan menampung material lahar melebihi kapasitas, pemerintah dalam waktu dekat belum berencana melakukan pembangunan sabodam baru.
“Anggaran sudah diajukan, masterplan-nya sudah disiapkan, tapi pembangunannya secara bertahap,” kata Menteri Pekerjaam Umum, Dr.(HC) Ir. Djoko Kirmanto, Dipl.H.E., kepada wartawan di sela-sela pembukaan Seminar Nasional Penanganan Aliran Sedimen, yang dilaksanakan Magister Pengelolaan Bencana Alam, Fakultas Teknik UGM, Senin sore (12/9). Dalam kesempatan itu, Menteri hadir didampingi Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., Direktur International SABO Institute of Japan SABO Association, Yoshifumi Hara, dan perwakilan JICA Indonesia, Motofumi Kohara.
Djoko menambahkan sabodam yang ada saat ini merupakan hasil yang dibangun setiap sepuluh tahun sekali. Pembuatan sabodam tetap dilakukan secara bertahap meskipun siklus erupsi besar Merapi terjadi dalam rentang 100 tahun sekali. “Dibangun sepuluh tahunan. Namun, jumlah erupsi yang keluar kemarin melebihi dari daya tampung. Setidaknya dengan adanya kapasitas sabo, perannya dalam mengurangi dampak bagi korban cukup besar sekali,” katanya. Menurut Menteri, pemanfaatan teknologi sabo tidak hanya dibangun di sekitar Gunung Merapi, tetapi juga di beberapa gunung yang sering mengalami erupsi, misalnya Gunung Kelud, Semeru, dan Galunggung. “Sampai hari ini masih berfungsi,” tuturnya.
Sehubungan dengan manusia, semua ilmu sosio enginering perlu dilakukan, pendekatan manusia perlu dilakukan. Mempelajari local wisdom di daerah tersebut digunakan untuk teknologi sabo di Merapi, Kelud, dan Semeru. Tidak hanya membangun fisik dalam penanganan bencana, menurut Menteri, kementeriannya bekerja sama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Lingkungan Hidup melaksanakan program mitigasi bencana dalam pengendalian dampak bahaya rusak air. “Tidak hanya membangun saran fisik, tapi juga membangun penyadaran masyarakat dalam kemampuan hadapi bencana,” tuturnya.
Direktur Internasional SABO Institute, Yoshifumi Hara, mengatakan teknologi sabo yang diterapkan di beberapa gunung berapi di Indonesia merupakan hasil realisasi kerja sama Indonesia dan Jepang yang sudah berlangsung selama 40 tahun. “Salah satunya adalah terapan teknologi sedimen dengan hasil yang sangat menggembirakan ini,” katanya. Menurutnya, Indonesia dan Jepang merupakan dua negara yang tidak luput dari bencana, seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami. Namun, yang terpenting ialah kerja sama dan berbagi pengalaman kedua negara untuk melindungi nyawa dan harta benda. “Saya kira teknologi sabo ini perlu ditingkatkan penggunaannya untuk kepentingan mitigasi bencana,” ujarnya. Sementara itu, Rektor UGM menyambut baik hasil kerja sama yang dilakukan oleh Kementerian PU dan JICA. Tidak hanya di bidang teknologi sabo, keduanya juga membantu membidani lahirnya Magister Pengelolaan Bencana Alam UGM, yang didirikan sejak 10 tahun lalu.
Sumber: Humas UGM