• Tentang UGM
  • Penelitian
  • Perpustakaan
Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Lingkungan Hidup
Universitas Gadjah Mada
  • Profil
    • Sambutan Kepala PSLH
    • Visi dan Misi
    • Sejarah PSLH UGM
    • Kegiatan
    • Hubungi Kami
  • Pengelola dan Staff
    • Kepala PSLH
    • Kepala Bidang
    • Bidang Pelatihan dan Kerjasama
    • Bidang Penelitian Pengabdian Masyarakat
    • Bidang Publikasi
    • Bidang Administrasi Umum dan Kepegawaian
    • Bidang Keuangan dan Inventaris Aset
    • Bidang Media dan IT
  • Pelatihan
    • Agenda Pelatihan
    • World Bank
    • FAQ
  • Resource
    • Opac
    • Info Layanan
    • Referensi
    • Text Book
    • Hasil Penelitian
    • Pengadaan Buku
    • Jurnal
      • Jurnal Umum
      • Jurnal PSLH
    • Penerbitan
    • Buku Tamu
  • Event
    • Hibah Penelitian Mahasiswa Tahun 2023
    • Prosedur Peminjaman Ruang
    • Desa Wisata Pinge
    • Pameran Virtual
    • Pendaftaran Webinar
    • Download
      • Virtual Background Webinar
      • Virtual Background
      • e-Book Tata Kelola Sawit Indonesia
  • Blog
  • Beranda
  • Berita
  • Pasca Erupsi, Solidaritas Warga Merapi Meningkat

Pasca Erupsi, Solidaritas Warga Merapi Meningkat

  • Berita, Kegiatan
  • 12 November 2012, 08.01
  • Oleh:
  • 0

Gunung Merapi sebagai gunung api teraktif di dunia. Aktifitas gunung merapi yang tidak bisa diperkirakan dampaknya, masyarakat yang tinggal di kawasan bencana harus mampu dan selalu siaga menghadapi ancaman bahaya gunung Merapi. Menurut pandangan Sosiolog, penanganan korban bencana dengan menggunakan pendekatan satuan wilayah administrasi ternyata kurang efektif serta sering menimbulkan masalah. “Untuk dua wilayah yang saling berdekatan namun beda satuan wiayah administasi akan memiki beda penanganan saat ancaman merapi datang,” kata sosiolog UGM Drs. Suharman, M.Si dalam dikusi 2 tahun pasca erupsi Merapi di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Kamis sore (8/11).

Dia mencontohkan, ada daerah yang yang mendapat perintah untuk mengungsi namun ada daerah lain yang berdekatan namun belum mendapat perintah. Pola penanganan bencana melalui struktur pemerintahan seringkali tidak efektif, lamban melakukan koordinasi dan munculnya kesimpangsiuran informasi. “Sehingga memperbesar kepanikan masyarakat saat akan mengungsi,” ujarnya.

Kendati demikian, kearifan lokal serta kemauan masyarakat di kawasan rawan bencana untuk belajar dari pengalaman pasca bencana erupsi sudah muncul ditandai dengan tumbuhnya institusi sosial lokal yang sesuai dengan kebutuhan masyatakat. “Hal ini menunjukkan adanya semangat dan kemauan masyarakat untuk siaga terhadap risiko bencana yang datang ,” katanya.

Dia menyebutkan, beberapa wilayah di sekitar lereng Merapi mempersiapkan diri manakala bencana alam datang. Mereka pun sudah tahu terhadap apa yang dilakukan termasuk ternak yang dibawa dan dipelihara saat mereka harus mengungsi. “Mereka juga membuat tabungan rutin untuk biaya hidup di pengungsian,” katanya.

Ancaman bahaya alam Gunung Merapui berupa awan panas, lahar dingin, lontaran material kerikil dan pasir, hujan abu, gempa tremor serta suara gemuruh. Namun bahaya awan panas dan lahar dingin, kata Suharman justru mengancam beberapa daerah yang dilalui aliran sungai.

Sukamto P Parsono, salah seorang Tokoh Masyarakat Balerante, Klaten, menuturkan pasca erupsi tahun 2010 lalu justru menjadikan semangat gotong royong masyarakjat meningkat hingga 100 persen. “Setelah erupsi, mereka juga lebih tekun beribadah,” tandasnya.

Sumber: Humas UGM

Tags: etika lingkungan kearifan lokal
Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM

Kompleks Gedung PSLH-EFSD UGM, Jl. Kuningan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta 55281

   pslh@ugm.ac.id
   +62 (274) 565722, 6492410
   +62 (274) 517863

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY