Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengadakan kunjungan Audiensi pada hari Kamis tanggal 8 September 2022 ke Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Gadjah Mada (UGM). Dihadiri oleh Ibu Dra. Heni Susiati, M.Si. yang mewakili Direktorat Kebijakan Pembangunan Lingkungan Hidup, Kemaritiman, Sumber Daya Alam, dan Ketenaganukliran BRIN menyampaikan, bahwa Audiensi yang dilakukan ke PSLH UGM dalam rangka mendapatkan masukan untuk Penyusunan Naskah Kebijakan pemanfaatan Nuklir, terkait program Net Zero emmission, teknologi aplikasi pangan, EBT, dan pemanfaatan nuklir untuk bidang lainnya.
Pertemuan yang diselenggarakan di Gedung Sugeng Martopo PSLH USM tersebut disambut baik oleh Dr. M. Pramono Hadi, M.Sc. selaku Kepala PSLH UGM. Turut hadir dari BRIN dalam acara Audiensi tersebut, antara lain: Dr. Suparman; Ir. Sriyana, M.T.; Ir. Moch Djoko Birmano, M.Sc.; Dedy Priambodo, S.T., M.T.; Fepriadi, S.ST.; Yohanes Dwi Anggoro, S.T.; Agus Aryanto, S.A.P.; Muhammad Setyawan Bahari, S.ST.; Ade Chandra Lesmana, S.T.; Nendes Handayani dan Amos Lempa Pasoron.
Dalam kesempatan tersebut, Pramono Hadi menyampaikan materi “Komitmen Mengurangi Gas Rumah Kaca”. Dimana sebagai negara kepulauan, secara geografis Indonesia memiliki posisi strategis di garis Khatulistiwa (Equator). Sehingga dikaruniai energi matahari dan curah hujan yang sangat tinggi dan besarnya potensi energi biomassa, misalnya energi biomassa dari Sawit. Keadaan geografis juga yang telah menjadikan Indonesia sebagai paru paru dunia, dengan kepemilikan lahan gambut dan hutan sebagai penyerap karbon dunia.
Saat ini Indonesia telah memiliki perencanaan pembangunan rendah karbon, dengan komitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan bantuan dunia internasional. Pada sektor energi, maka proyeksi kebutuhan energi nasional cenderung meningkat setiap tahunnya. Namun saat ini sebanyak 85% kebutuhan energi bersumber dari bahan bakar fosil, khususnya minyak, gas bumi dan batubara. Dalam rangka mengurangi emisi GRK, maka ada kebutuhan transisi energi, dari sebelumnya Fosil menjadi EBT, yang sedang berlangsung melalui program bauran energi.
Sebagai negara kepulauan, maka pengembangan energi berbasis biomassa dan/atau air akan membutuhkan pembangunan jaringan infrastruktur yang sangat besar (bersistem grid), sehingga akan membutuhkan waktu yang panjang. Berbeda dengan nuklir yang dapat bersifat modular, akan lebih mudah pengembangannya pada negara yang secara geografis terpisah seperti kepulauan indonesia. Menanggapi pertanyaan yang diberikan oleh Dr. Suparman dari BRIN, Pramono Hadi menyampaikan, meskipun Indonesia memiliki potensi energi yang melimpah, namun untuk mengejar target-terget energi, maka teknologi nuklir yang telah tersedia menjadi relevan dalam rangka memenuhi kebutuhan transisi energi saat ini.
Pada pertemuan tersebut disampaikan juga materi “Pengembangan Energi Nuklir Dalam Konteks Geopolitik Ekonomi Global”, oleh Ibu Dr. Maharani Hapsari. Disampaikan bahwa, pertimbangan dalam pengembangan energi nuklir, antara lain Perkembangan program energi nuklir global; Dinamika geopolitik di Asia; Pelembagaan norma internasional untuk energi; Nuclear for welfare: konteks global; dan Merumuskan arah Indonesia.
Secara global, energi nuklir telah menjadi sumber daya global. Dimana perkembangan program energi nuklir terlihat sudah menjadi milik bersama. Sebelumnya agenda nuklir sangat terkonsentrasi pada politik negara-negara adidaya, seperti Amerika Perancis Rusia sebagai pionir. Saat ini, terlihat perkembangan yang cukup dinamis di banyak negara, dimana negara di benua Asia, termasuk Asia Tenggara, khususnya China yang cenderung sangat aktif dalam pengembangan nuklir daripada negara-negara di benua lainnya. Desentralisasi energi nuklir dari ekonomi adidaya ke ekonomi transisi (atau yang kita sebut juga dengan negara-negara berkembang), mendorong adanya upaya untuk mengelola tekanan akibat naiknya harga sumber daya energi.
Bagi masyarakat Asia, bahwa program energi nuklir sudah menjadi kebutuhan, atau mungkin keharusan, apabila kita melihat pilihan-pilihan yang kita punya untuk bisa mencapai tujuan-tujuan Paris agreement dengan memastikan bahwa generasi mendatang akan punya akses yang bermartabat terhadap energi dan agenda pembangunan berkelanjutan (sustainability). Studi IAEA telah menunjukan, bahwa energi nuklir secara aktual menyediakan sepertiga pasokan listrik rendah karbon secara Global sejak 70-an.
Melihat agenda pembangunan nasional dan pasokan energi menjadi satu hal yang harus diperhatikan secara seksama karena pertumbuhan ekonomi tentunya terhambat tanpa pasokan energi antara itu kita perlu juga diversifikasi sumber energi sebagai fondasi keamanan. Kemudian membuat munculnya energi nuklir sebagai suatu konsekuensi logis, terlebih lagi bagi negara-negara berkembang dan transisi selalu melihat adanya aspirasi politik (leapfrogging).
Selama ini ada banyak klaim terkait dengan sikap publik terhadap program energi nuklir yang membuat kita harus melihat di kedua sisi, baik sisi positif maupun negatif atau berbagai kelemahan dan kelebihan-kelebihan dari program energi nuklir.
Tren di Asia melihat energi nuklir sebagai sumber energi alternatif yang menjanjikan meskipun masih ada kekhawatiran akan keselamatan terkait operasional dan limbah nuklir tapi ada juga aspirasi industri domestik atau golongan ekonomi lemah terhadap akses energi murah. Karenanya persoalan nuklir bukan hanya teknis saja tapi lebih pada kelembagaan atau institutional reform dan perumusan regulasi-regulasi yang lebih akomodatif terhadap potensi resiko dan antisipasinya. Hal lainnya yang juga sangat penting adalah mengenai public enggagment dari program energi nuklir. Karena kata “Nuklir” bagi masyarakat awam itu tidak cukup familiar atau “asing”, sehingga wajarlah timbul banyak pertanyaan dari masyarakat apabila melihat sesuatu yang asing. Kemudian kalau kita tahu bahwa itu asing misalnya, bagaimana kita meresponnya dengan cara yang demokratis. Juga diperlukan peningkatan public involvement, literasi dan education.
Salah satu kajian dari World Nuclear Association (2021) menyebutkan, Indonesia memiliki pengalaman yang paling memadai dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Selain itu, Indonesia memiliki infrastruktur kebijakan yang lebih relliable, yang telah menempatkan nuklir dalam komponen bauran energi baru terbarukan. Kebijakan Energi Nasional (KEN) di Peraturan Pemerintah No. 79/2014 dan Peraturan Presiden No. 22 tahun 2017 misalnya, telah menempatkan nuklir dalam komponen bauran energi baru terbarukan Indonesia. Termasuk adanya target EBT sebesar 23% di tahun 2025 dan 31% di tahun 2050, dimana mencakup adanya Rencana pembangunan PLTN dan pengoperasian pada tahun 2045.
Indonesia juga sudah menjalin kerjasama dengan berbagai negara dan organisasi internasional serta Indonesia juga selalu patuh terhadap rekomendasi dan aturan internasional terkait nuklir. Seperti kerjasama dengan Jepang di 2007, dengan Rusia (Rosatom) tahun 2015 serta kerjasama BATAN dengan Cina dalam skema Belt and Road Initiative di 2016 untuk memulai konstruksi di tahun 2027. Terakhir, per tahun 2016, Indonesia melakukan kerjasama bilateral di sektor pengembangan energi nuklir dengan 10 negara maju dan berkembang. Indonesia telah pula menandatangani perjanjian terkait safeguards di dalam kerangka NPT sejak 1980 dengan protokol tambahan di 1999. Kemudian pada tahun 1997, Indonesia menandatangani Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and radioactive Waste Management.
Program pengembangan energi nuklir Indonesia perlu diselaraskan dengan upaya mengatasi problem struktural (self-sufficiency) dan aktualisasi potensi ekonomi nasional. Dimana kita terhubung dengan kemiskinan (kelangkaan listrik di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar/ 3T). Karenanya perlu upaya untuk memastikan distribusi akses dan kontrol yang layak terhadap listrik sebagai penopang pertumbuhan ekonomi dan juga aktualisasi potensi ekonomi nasional. Apabila kita sudah mencapai level self-sufficiency pada titik tertentu, maka kita dapat berbicara tentang aktualisasi potensi ekonomi.
Terkait isu kelembagaan ada beberapa hal, pertama kita lihat viabilitas teknologi, isu keselamatan, governance, akuntabilitas dan bagaimana membangun komunikasi yang produktif antara komunitas saintifik, otoritas kebijakan dan publik yang lebih luas dalam perumusan kebijakan dan implementasi pengembangan program energi nuklir. Apabila membahas Sense of ownership sebagai agenda publik, maka menurut studi Sugiawan dan Managi (2019) maka ada tiga hal yang harus dipertimbangkan, yaitu Socio political acceptance: informasi publik yang komprehensif mengenai program energi nuklir oleh otoritas energi nasional; Community acceptance: peran pemerintah daerah dalam proses pembuatan keputusan dan pelibatan publik; Market acceptance: implementasi program oleh Nuclear Energy Program Implementing Organization (NEPIO). Sehingga Indonesia dapat berfokus pada mengevaluasi perkembangan perkembangan atau debat debat mengenai energi nuklir di Indonesia dari 3 kriteria tersebut, maka banyak pelajaran untuk kedepannya.
Sebagai penutup Ibu Maharani menyampaikan, bahwa konstelasi global memunculkan sejumlah isu strategis bagi Indonesia menghadapi dinamika geopolitik yang selalu berjalin dengan kepentingan strategis negara-negara adidaya. Dimana relasi kuasa antara negara-negara pemasok dan negara-negara klien yang membentuk geopolitik energi nuklir global perlu mendapat perhatian dalam analisis kelembagaan, serta mobilisasi resources tentunya. Pengembangan PLTN di Indonesia semestinya merefleksikan keberdayaan Indonesia merespon tantangan geopolitik ekonomi global untuk kepentingan nasional. Proses mendefinisikan kepentingan nasional memerlukan konsolidasi dan kepemimpinan politik yang bisa memenangkan arena-arena geopolitik dan pelembagaan norma civilian nuclear energy di level global.
Menanggapi pertanyaan Dr. Suparman, Ibu Maharani menyampaikan bahwa pemilihan vendor seharusnya disesuaikan dengan Agenda pembangunan atau pemilihan teknologi yang telah tersedia. Apabila melihat pemilihan vendor sebagai mobilisasi resoursces, maka kita harus memilih vendor dengan mempertimbangkan vendor atau negara yang tidak hanya memberikan dukungan transfer teknologi dan finansial, tetapi juga harus dapat memberikan political leverage kepada negara kita. Selama ini pembangunan infrastruktur cenderung bersifat donor driven. Akibatnya Indonesia tidak memiliki kemandirian atas pengetahuan dan teknologi yang tersedia. Terkait vendor, maka Indonesia harus membangun keberjarakan dengan para pemilik teknologi, dimana Indonesia yang tidak banyak memiliki sumber daya untuk pembangunan nuklir tidak bergantung dengan negara pemilik teknologi.
Pada pokoknya, pemilihan Vendor atau Negara akan cenderung pragmatis, tergantung persaingan antar negara, branding, kepentingan antar negara dan problematik. Karenanya kita harus memilih secara selektif, misalnya dengan menggunakan kriteria teknologinya.
Maharani juga mengingatkan, bahwa saat ini Indonesia telah dianggap sebagai negara yang democratic downturn, dimana pembangunan yang dilaksanakan cenderung tidak mempertimbangkan aspek demokratisasi dalam pengambilan keputusan. Selain itu, perlu juga pemerintah perlu untuk mempertimbangkan sikap yang aware untuk menguatkan diplomasi luar negeri sebagai upaya mengantisipasi politik nuklir yang kompleks, misalnya dengan pembentukan tim diplomasi internasional yang secara khusus bertujuan untuk merealisasikan pembangunan nuklir.
Pemateri terakhir dalam acara Audiensi tersebut adalah Dr. Ir. Haryono Budi Santosa, M.Sc. Dalam Materinya berjudul, “Riset Kesiapan Nasional Dalam Menghadapi Bencana Radiologis PLTN“ Haryono Budi menyampaikan, bahwa selama ini spektrum riset cenderung pemanfaatan nuklir sebagai energi ramah lingkungan diasumsikan dalam kondisi beroperasi normal. Kerangka kebijakan kedaruratan atau keadaan darurat bencana nuklir masih belum memadai, khususnya pasca insiden Fukushima Daichi. Beberapa catatan yang beliau sampaikan, yaitu:
- PLTN masih berpotensi menimbulkan bencana radiologis terhadap lingkungan yang berdampak lintas batas negara/ perairan internasional;
- Bencana radiologis lingkungan akibat kecelakaan PLTN, misalnya tragedi Fukushima Daichi telah memberikan banyak pelajaran bagi negara yang akan memanfaatkan PLTN.
- Arah pengembangan iptek keselamatan nuklir & perlindungan lingkungan tidak koheren pada kesesuaian PLTN dan lingkungannya. Tragedi fukushima telah menimbulkan hilangnya fungsi dan jasa-jasa lingkungan hidup. Sebagai gambarannya manusia bisa di evakuasi saat kedaruratan nuklir, namun bagaiamana dengan biota atau mahluk hidup lainnya. Padahal, rekomendasi IAEA menyatakan, manusia selamat, biota selamat. Sehingga kedaruratan nuklir tidak koheren antara safety nuklir (proteksi terhadap manusia) dan perlindungan lingkungan.
- Regulasi PLTN nasional berpotensi untuk kurang memadai ketika berhadapan dengan kedaruratan radiologis. Belajar dari kasus fukushima, dimana pemerintah jepang yang memiliki regulasi yang lebih baik, namun tetap tidak dapat menghadapi kondisi kedaruratan nuklir fukushima yang terjadi, sehingga menerbitkan regulasi darurat untuk menghadapi kedaruratan fukushima.
- Kapasitas sumber daya nasional untuk menghadapi kedaruratan radiologis luas/ besar belum diketahui. Misalnya Indonesia belum memiliki baseline tentang kapasitas dekontaminasi.
- Pilihan teknologi PLTN belum ditetapkan. Membutuhkan Riset lebih lanjut, baik berupa riset kecukupan dan riset prediktif.
Karenanya menurut Haryono, kerangka kedaruratan seharusnya mencakup pertimbangan terhadap tuntutan internasional, bantuan internasional dan kehadiran sukarelawan domestik dan asing. Ketiga pertimbangan tersebut, setidaknya mencakup 3 aspek, yaitu aspek hukum dan peraturan, aspek manajemen kecelakaan dan kedaruratan, dan aspek sumber daya nasional. Karenanya diperlukan riset prediktif, kapasitas dan kecukupan terhadap aspek-aspek yang dibutuhkan.
Menanggapi pertanyaan Dr. Suparman, Haryono menyampaikan, bahwa Indonesia harus membangun sistem PLTN yang memiliki sistem kedaruratan (safety goals) yang ideal. Belajar dari tragedi nuklir Fukushima, maka regulasi dan kebijakan dalam mengatasi kedaruratan nuklir harus tersedia terlebih dahulu, sebelum Indonesia membangun energi nuklir. Sistem atau kerangka kebijakan dan regulasi kedaruratan yang terarah dan sistematis merupakan baseline dalam menunjang pengembangan dan operasional energi nuklir nasional. Menurut Haryono, bencana nuklir berbeda dengan bencana lainnya, dimana saat kedaruratan akan mengakibatkan penutupan akses di lokasi kebencanaan. Sebaiknya kebijakan kedaruratan menjadi satu kesatuan dengan kebijakan penanggulangan bencana nasional, mencakup upaya mengatasi darurat bencana, termasuk bencana akibat kedaruratan nuklir dan radioaktif.
Terkait batasan teknologi yang tersedia secara komersial (readyness), maka Haryono menegaskan, bahwa pokok masalahnya adalah asumsi release yang menjadi persyaratan pembangunan PLTN. Apabila asumsi releasenya yang dijadikan kriteria untuk pembangunan PLTN tinggi, maka kebijakan atas ketersediaan teknologi dapat diputuskan secara bijaksana.
Menanggapi pertanyaan dari Ibu Heni Susiati, meskipun kajian awal telah mempertimbangkan berbagai aspek atau upaya pengelolaan dampak lingkungan, namun menurut Haryono, asumsi tersebut dibangun bukan dalam keadaan darurat. Haryono memberikan gambaran, ketika tragedi fukushima terjadi, asumsi kedaruratan yang dimuat dalam kajian kelayakan atau Amdalnya Fukushima, dalam kenyataanya telah melampaui asumsi yang dibangun. Contoh sederhana, dimana kajian awal asumsi release radioaktif fukushima adalah 0,1% dari inventory atau setara 100 terabecquerel, tetapi nyatanya saat tragedi fukushima releasenya menjadi 7-20 petabecquerel radioaktif cesium-137. Menunjukan adanya perbedaan release radioaktif yang sangat besar dan signifikan antara asumsi dan kenyataan.