Langkah Presiden mencabut ribuan izin usaha pertambangan dan perkebunan yang telah bertahun-tahun tidak memanfaatkan izin yang diberikan tentu meninggalkan berbagai tanggung jawab hukum. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), berpendapat pencabutan izin tetap harus memperhatikan tanggungjawab hukum lainnya yang harus dipenuhi oleh korporasi. Salah satunya adalah tanggung jawab atas pemulihan lingkungan terutama pada wilayah hutan yang mengalami pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan. [1]
Dalam konteks pasca operasi kegiatan usaha, maka kehadiran suatu kegiatan usaha pada prinsipnya akan merubah atau mengurangi kemampuan fungsi lingkungan hidup yang seharusnya dipulihkan kembali. Tujuannya agar fungsi lingkungan hidup yang dimiliki oleh rona lingkungan awal (keadaan semula) dapat dikembalikan sebagaimana fungsi awalnya atau menjadi lebih baik. Mekanisme pertanggungjawaban terhadap pemulihan lingkungan secara umum diatur dalam instrumen pendanaan lingkungan hidup, berupa kebijakan Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan Hidup.
Menurut UUPPLH, pendanaan lingkungan adalah suatu sistem dan mekanisme penghimpunan dan pengelolaan dana yang digunakan bagi pembiayaan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pendanaan lingkungan berasal dari berbagai sumber, misalnya pungutan, hibah dan lainnya. Secara sederhana pendanaan lingkungan hidup adalah suatu sistem dan mekanisme pengelolaan dana yang digunakan bagi pembiayaan upaya perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup.
Setiap kegiatan yang memiliki persetujuan lingkungan (sebelumnya Izin Lingkungan serta wajib AMDAL dan UKL-UPL) wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup. Pendanaan Lingkungan Hidup merupakan salah satu Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, yang sesungguhnya telah diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (PPIELH). Dalam implementasinya di Indonesia, instrumen ekonomi lingkungan dikelompokan menjadi: a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; b. Pendanaan Lingkungan Hidup; dan c. Insentif dan/ atau Disinsentif.[2]
Penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan lingkungan beranjak dari pemikiran, bahwa sebagian besar sumber daya alam dan lingkungan hidup, yaitu diantaranya ekosistem dan keanekaragaman hayati atau jasa lingkungan adalah sumber daya milik bersama atau barang publik. Dimana barang publik memiliki karakteristik akses terbuka, seringkali tidak mempunyai pasar formal, dan secara umum dihargai rendah (undervalue). Inilah yang secara ekonomi diyakini menjadi biang keladi terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, yang oleh Garret Hardin diistilahkan dengan “tragedy of commons”.[3]
Kotak: The Tragedy of the Commons (Tragedi Bersama)
Pada tahun 1968 jurnal ilmiah Science menerbitkan tulisan Garret Hardin yang berjudul “The Tragedy of the Commons”. Sejak saat itulah istilah “tragedi bersama” menjadi semakin populer. Hardin mendeskripsikan dengan baik adanya keterkaitan antara kerusakan lingkungan dan hak kepemilikan atas sumber daya alam dan lingkungan hidup. Karyanya menjadi pertimbangan mendasar dalam skema pengelolaan suatu sumber daya alam dan lingkungan milik bersama. Hardin menggambarkan dengan model pengelolaan sebuah padang rumput yang menjadi milik bersama yang menjadi rusak dan tidak dapat lagi memberikan jasa lingkungan berupa pakan ternak. Dibayankanlah ketika tindakan penggebala yang “rasional” akan cenderung menambah jumlah ternak yang dimiliknya agar memperoleh keuntungan yang lebih besar. Secara rasional, maka pemikiran para pengembala cenderung sama. Penggembala lainnya mengikuti langkah penggembala ternak yang cenderung “serakah” mencari keuntungan. Terjadi perlombaan untuk memaksimalkan keuntungan pribadi dengan menambah jumlah ternak, karena masih menikmati pakan ternak di padang rumput secara gratis.
Karena semakin banyaknya ternak, maka sampailah pada titik dimana daya dukung ekosistem padang rumput menjadi terlampaui. Rumput-rumput habis dimakan ternak dan tidak dapat tumbuh kembali. Masyarakat tidak dapat lagi memberi makan ternaknya akibat pemanfaatan yang tidak terkendali atas model jasa lingkungan padang rumput secara gratis. Seluruh orang, baik serakah ataupun tidak serta orang lain yang turut memanfaatkan pada akhirnya kehilangan jasa lingkungan padang rumput. Sebuah tragedi kebebasan dalam kebersamaan atas berbagai model pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan, berupa lahan, sungai, lautan, hutan, air, dan udara yang dimanfaatkan secara gratis oleh seluruh orang, termasuk juga sebagai media tempat pembuangan limbah atau polusi (septi tank) secara bersama-sama.
Melalui upaya internalisasi biaya lingkungan, maka instrumen ekonomi mendorong agar seluruh biaya lingkungan, berupa biaya dan/atau potensi biaya yang akan timbul akibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan (externalitas negatif) secara ekonomi diperhitungkan ke dalam biaya produksi suatu kegiatan usaha. Suatu hal yang diistilahkan oleh para ekonom dengan “internalisasi externalitas”. Tujuannya agar menekan pemanfaatan yang tidak terkendali melalui privatisasi sumber daya alam dan lingkungan, kepada mereka yang mau mengeluarkan biaya lingkungan untuk langkah-langkah pencegahan, penanggulangan dan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Menurut UUPPLH, maka instrumen pendanaan lingkungan hidup meliputi: a) Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan Hidup b) Dana Penanggulangan Pencemaran dan/ atau Kerusakan dan Pemulihan Lingkungan Hidup c) Dana Amanah/ Bantuan untuk Konservasi. Dalam Penjelasan Pasal 43 Ayat (2) butir (a) UPPLH, dana jaminan pemulihan lingkungan hidup adalah dana yang disiapkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan kualitas lingkungan hidup yang rusak karena kegiatannya.
Kehadiran UUCK telah mengubah dan mencabut ketentuan Pasal 55 yang diatur dalam UUPPLH. Pada pokoknya ketentuan dalam UUCK merubah ketentuan tentang kewenangan, yang sebelumnya di pemerintah daerah menjadi wewenang pemerintah pusat. Sedangkan dalam Pasal 530 PP 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Lingkungan Hidup kemudian mencabut ketentuan Pasal 21 sampai dengan Pasal 25 terkait dengan dana jaminan pemulihan Lingkungan Hidup dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.
Menurut Pasal 22 Butir (19) UUCK yang merubah Pasal 55 UUPPLH, maka pemegang Persetujuan Lingkungan (sebelumnya izin lingkungan) wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup. Kewajiban tersebut harus dicantumkan dalam Persetujuan Lingkungan; dan b. dimuat di dalam Perizinan Berusaha.
Pada dasarnya, dana pelaksanaan dana jaminan lingkungan berupa penyerahan sejumlah uang jaminan oleh pemegang persetujuan lingkungan yang diwajibkan untuk disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh Pemerintah. Dimana uang yang diserahkan berfungsi sebagai “jaminan” atas terlaksananya suatu kegiatan pemulihan lingkungan dan/atau penanggulangan pencemaran[4] atau tujuan pengelolaan lingkungan lainnya.
Lebih lanjut, maka pemegang persetujuan lingkungan haru memiliki sebuah bukti kepemilikan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi Lingkungan Hidup dan/atau surat pernyataan peruntukan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi Lingkungan Hidup bagi penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup dan/atau pemulihan fungsi Lingkungan Hidup. Dana penjaminan dapat berbentuk: deposito berjangka, tabungan bersama, bank garansi polis asuransi atau instrumen keuangan lainnya yang diterbitkan oleh lembaga jasa keuangan milik pemerintah yang ditunjuk oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penggunaan dana pemulihan fungsi Lingkungan Hidup, baik pada tahapan kegiatan pra konstruksi, konstruksi, komisioning, operasi dan pemeliharaan, dan/atau pasca operasi sesuai tahapan yang tercantum dalam Persetujuan Lingkungan dapat meliputi kegiatan: a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar; b. remediasi; c. rehabilitasi; d. restorasi; dan/atau e. upaya lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kotak: Urgensi Dana Penjaminan Lingkungan
Sebagai ilustrasi, pada Agustus 2016 Mahkamah Agung (MA) memvonis PT Merbau Pelalawan Lestari membayar denda senilai Rp 16,2 triliun terkait kasus pembalakan liar. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan gugatan KLHK terhadap PT National Sago Prima (NSP) atas kasus kebakaran hutan dan menghukum perusahaan membayar ganti rugi dan pemulihan lingkungan sebesar Rp1,07 triliun. Pada tahun 2010, sumur minyak lepas pantai milik British Petroleum meledak, yang mengakibatkan kerugian mencapai $ 90 miliar atau sekira Rp 1.194 Triliun.
Mengingat besaran dana ganti kerugian lingkungan, apabila eksekusi tertunda yang disertai ketidakjelasan kapan dana pemulihan lingkungan terealisasi, maka nantinya masyarakat dan lingkungan hidup yang menjadi korbannya. Dalam kasus Lapindo misalnya, pemerintah harus menyediakan dana talangan dari APBN atau APBD untuk biaya pemulihan lingkungan hidup. Meskipun izin usaha dicabut atau perusahaan pailit, maka dana penjaminan lingkungan merupakan langkah untuk memastikan adanya pendanaan penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup.
Pada praktiknya di Indonesia, mekanisme dana jaminan diterapkan secara berbeda-beda oleh masing-masing sektor. Beberapa contoh penerapan dana penjaminan pemulihan lingkungan di Indonesia adalah:[5]
- Dana Jaminan Reklamasi yang wajib disedikan oleh kegiatan usaha pertambang untuk membayar sejumlah uang jaminan, yang dapat dikembalikan apabila pelaku usaha telah selesai melakukan seluruh program reklamasi (suatu kegiatan untuk memulihkan kondisi di daerah pertambangan tertentu setelah kegiatan pertambangan di daerah tersebut berakhir).[6]
- Contoh menarik lainnya adalah dana pasca operasi atau Abandon Site Restoration (ASR) dalam industri Migas yang terdengar sangat samar-samar. Apalagi saat dimana proses peralihan lapangan migas dari “kontraktor lama” berlangsung, ketika Production Sharing Contract (PSC) berakhir.
- Dana reboisasi (DR) pada masa awalnya ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 35 Tahun 1980 tentang Dana Jaminan Reboisasi dan Dana Permudaan Hutan Areal Hak Pengusahaan Hutan merupakan dana jaminan pemegang Hak Pengusahaan Hutan, untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tegakan hutan pada areal bekas tebangannya. Namun, saat ini konsep DR telah berubah menjadi dana yang dipungut atas pemanfaatan kayu yang tumbuh alami dari Hutan Negara.[7]
- Dana jaminan kapal tanker untuk pencemaran minyak di laut. Sistem jaminan mengacu pada ketentuan hukum internasional melalui CLC (Civil Liability Convention) 1969, Skema IOPC Funds (the International Oil Pollution Compensation Funds), serta kewajiban asuransi kapal yang termasuk VLCC (Very Large Crude-Oil Carriers) melalui institusi seperti P & I Insurance (Protect and Indemnity).
- Asuransi lingkungan, yang hanya diterapkan secara tegas terhadap kegiatan yang menimbulkan dampak terhadap nilai materiil lingkungan hidup yang sangat besar. Kegiatan yang diwajibkan ini meliputi dua hal, yaitu bidang Pengolahan Limbah B3 dan Kegiatan yang “Berisiko Tinggi” terkait pemanfaatan Tenaga Nuklir. Dalam hal kegiatan yang terakhir, mungkin patut dikaji kembali besaran dana jaminan sesuai dengan perkembangan terbaru, khususnya pasca tragedi fukushima.
- Deposit Refund System Kemasan Galon. Sebagai ilustrasi dana jaminan pengelolaan sampah kemasan yang lazim dilaksanakan oleh masyarakat adalah pengembalian kemasan galon air minum. Pada prinsipnya, bentuk pengembalian ini sama dengan sistem dana penjaminan yang nominalnya seharga kemasan galon. Dimana masyarakat mengembalikan kemasan galon yang kosong atau menghindari pembelian galon baru, pada saat membeli “isi” air minum dalam kemasan galon.
Pada pokoknya, proses pencabutan izin perusahaan tidak hanya sekedar proses menerbitkan SK baru untuk membatalkan SK lama yang sebelumnya berlaku. Pertanggungjawaban jawab atas pemulihan lingkungan hidup harus diselesaikan terlebih dahulu.
Berdasarkan prinsip pencemar membayar (polluters pay principle) maka tanggung jawab pemulihan lingkungan hidup seharusnya melekat pada “pemilik lama”. Dimana biaya pemulihan lingkungan seharusnya dibebankan kepada “pemilik lama”. Menurut UUPPLH, yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.[8] Prinsip pencemar membayar sesungguhnya secara explisit telah membebankan “pencemar” atau “pemilik lama” untuk menanggung biaya pemulihan lingkungan akibat kegiatannya.
Secara ideal, meskipun terjadi pencabutan izin, maka pemerintah seharusnya telah memiliki dana jaminan pemulihan lingkungan hidup yang berasal dari “pemilik lama”. Dengan mekanisme tersebut, maka tidak mungkin terjadi peralihan beban biaya dari “pemilik lama” kepada “pemilik baru”. Apalagi jikalau nanti harus ditanggung oleh rakyat, dengan siraman dana APBD/ APBN/ pendapatan negara lainnya. Implementasi dana jaminan pemulihan yang optimal, seharusnya dapat menepis kekhawatiran para pemerhati lingkungan terhadap tanggung jawab pemulihan lingkungan hidup.
[1] Lihat Siaran Pers ICEL dalam (https://icel.or.id/berita/siaran-pers/siaran-pers-pencabutan-izin-usaha-pertambangan-perkebunan-dan-kehutanan-harus-tetap-memperhatikan-tanggung-jawab-hukum-lainnya/?utm_source=rss&utm_medium=rss&utm_campaign=siaran-pers-pencabutan-izin-usaha-pertambangan-perkebunan-dan-kehutanan-harus-tetap-memperhatikan-tanggung-jawab-hukum-lainnya)
[2] Lihat lebih lanjut dalam Pasal 42 Ayat (2) dan Pasal 43 UUPPLH
[3] Garrett Hardin (2009): The Tragedy of the Commons, Journal of Natural Resources Policy Research, 1:3, 243-253
[4] Lihat Pasal 471 Ayat (1) PP 22 Tahun 2021
[5] Lihat dalam Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana (editor), 2014, Hukum Lingkungan Teori, Legislasi Dan Studi Kasus, Tanpa Penerbit, Jakarta.
[6] Lihat Andri G. Wibisana, Instrumen Ekonomi atau privatisasi pengelolaan lingkungan?, Jurnal Hukum Pembangunan Tahun ke-38 No 4, 2008.
[7] Lihat dalam PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan
[8] Penjelasan Pasal 2 Huruf (j) UUPPLH