Yogyakarta, Jumat (6/1), Pusat Studi Lingkungan Hidup mengadakan siniar rutin yang membahas terkait isu-isu lingkungan di lingkup regional, nasional, maupun internasional. Pada kesempatan podcast lestari (Poles) kali ini, isu yang dibahas yaitu mengenai “Menguak Cipta Kerja dalam Perspektif Lingkungan Hidup”.
Narasumber pada edisi kali ini adalah Dr. Wahyu Yun Santoso, SH., LL.M. (Mas Yun) Beliau merupakan salah satu tenaga ahli di PSLH UGM di bidang Hukum Lingkungan. Kali ini, Mas Yun akan memberikan penjelasan Perpu Cipta Kerja dari sudut pandang hukum lingkungan. Siniar berlangsung selama 60 menit dengan jumlah penonton kurang lebih 400 orang. Siniar dibuka oleh Aditya Sewanggara A.W (Adit) sebagai moderator yang memberikan penjelasan kilas balik perjalanan UU Cipta Kerja, putusan MK dan hingga kini dicabut dan digantikan oleh Perpu Cipta Kerja. Pada pemaparan awal, Mas Yun menjelaskan putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang uji formil UU CK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU 11/2020 menjadi inskonstituional secara permanen. Oleh karena itu, Pemerintah melakukan beberapa manuver sebagai perintah dari putusan a quo, salah satunya dengan memasukkan metode omnibus ke dalam UU 13 Tahun 2023. Alih-alih problematika UU Cipta Kerja diselesaikan, Pemerintah menggunakan hak vetonya (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945) untuk menerbitkan Perpu Cipta Kerja dengan dalih adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Menurut Mas Yun bahwa Perpu Cipta Kerja ini lahir karena adanya ancaman atas investasi yang terkendala bukan karena adanya isu climate change yang tercantum dalam konsideran Perpu Cipta Kerja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa menariknya dari Perpu Cipta Kerja di bidang lingkungan hidup adalah tidak ada perbedaan secara substansial. Seakan-akan Pemerintah dan Legislatif ingin menyelamatkan UU Cipta Kerja dari Putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020 dengan cara hanya mengganti cangkang dari UU Cipta Kerja yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat. Sehingga menurut beliau peraturan-peraturan turunan UU Cipta Kerja yang sudah diterbitkan masih akan tetap berlaku. Pada akhir pemaparan beliau menjelaskan bahwa Perpu Cipta Kerja adalah pragmatisme legislasi atas sengkarutnya UU Cipta Kerja. Terbitnya Perpu Cipta Kerja seakan-akan merupakan jalan tol bagi pemerintah untuk merespon perintah dalam putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Diskusi berlangsung sangat interaktif dan menarik, bahkan cukup banyak pertanyaan yang masuk melalui laman media sosial kami. Pada akhir diskusi, Adit menjelaskan bahwa dari diskusi ini dapat kita ketahui bersama bahwa UU Cipta Kerja beserta peraturan pelaksanaannya memang berusaha memperbaiki carut-marut dalam birokrasi perizinan berusaha di Indonesia, itu perlu kita apresiasi. Namun, partisipasi masyarakat harus tetap diperhatikan, terlebih lagi Perpu Cipta Kerja merupakan Perpu omnibus yang substansi isinya sangat berdampak bagi kelangsungan hidup masyarakat.