Riset bioteknologi bidang rekayasa genetika tanaman pangan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produksi pangan dunia dalam rangka memerangi angka kemiskinan dan kelaparan dunia pada tahun 2050. Oleh karena itu, pengembangan bioteknologi tanaman pangan diharapkan mampu meningkatkan hasil dan pendapatan usaha tani global serta mengurangi emisi karbon dan penggunaan pestisida.
Hal itu dikemukakan oleh Dr. Julian Adams, Koordinator Asia bidang Program Keamanan Hayati, dalam kuliah umum ‘Rekayasa Genetika Tanaman’ di Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (6/12). Staf pengajar Ilmu Biologi dari Universitas Michigan, Amerika Serikat, ini mengatakan rekayasa genetika tanaman di masa depan sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi pangan di tengah ancaman kekeringan akibat perubahan iklim dan pemanasan global. “Akibat kekeringan, kerugian tahunan rata-rata dalam hasil panen di daerah tropis capai 17%,” katanya.
Ia menambahkan di masa depan diperlukan varietas tanaman yang memiliki ketahanan terhadap toleransi panas dan varietes transgenik dengan toleransi terhadap perubahan ozon (O3) dan tingkat CO2 yang tinggi. Dari hasil penelitian, pemanasan global mempengaruhi terhadap hasil panen padi. Peningkatan 1 derajat Celcius suhu di waktu malam mengakibatkan kerugian pada hasil panen sebesar 10%.
Disebutkan bahwa jenis varietas yang mendesak dilakukan rekayasa genetik untuk memiliki toleransi terhadap kekeringan dan banjir adalah jenis tanaman tebu, jagung, gandum, beras, dan kapas. Menurutnya, tanaman ini dibutuhkan oleh semua negara di dunia. “Varietas ini juga harus memiliki dengan toleransi kekeringan, banjir, dan salinitas,” katanya. Namun, yang perlu dikhawatirkan terhadap pemanasan global adalah ancaman mencairnya es di kutub yang menyebabkan kenaikan permukaan laut yang dapat mengancam keberadaan 4.000 pulau di Indonesia. Selain itu, adanya peningkatan salinitas di daerah pesisir.
Sumber: Humas UGM