Kebijakan pembangunan tata ruang berbasis ekosistem semakin mendesak dilakukan oleh para pemangku kepentingan di daerah untuk menyelamatkan keberadaan ekosistem flora dan fauna yag semakin hilang seiring laju pembangunan perkotaan dan pemukiman yang berskala besar dan kompleks. Hal itu mengemuka dalam seminar pembangunan tata ruang berbasis ekosistem di fakultas kehutanan. Hadir sebagai pembicara pakar perencanaan kota dan daerah UGM Bobi Setiawan, Ph.D dan Koordinator wildlife species WWF Chairul Shaleh.
Bobi mengatakan, pembangunan tata ruang yang berbasis pengelolaan lingkungan sangat dibutuhkan, mengingat semakin meningkatnya keterbatasan lahan, khususnya di jawa, dengan adanya konflik area produktif pertanian dan pembangunan pemukiman bersifat permanen. “Lahan ruang mempunyai keterbatasan tetentu. Perubahan lahan mempunyai dampak tidak saja fisik, melainkan juga sosial,” kata Bobi.
Dia menilai, banyak kasus pemanfaatan ruang yang terjadi di luar perencanaan. Disamping itu, kendala penataan ruang menghadapi tantangan pemanfaatan ruang lebih dinamis dan komplek, termasuk yang dilakukan oleh swasta dan masyarakat sendiri. Oleh karena itu, masyarakat harus terus waspada mengamati dan mengontrol proses-proses pemanfaatan ruang.
Kebutuhan pembangunan tata ruang yang tidak berbasis ekosistem semakin mendesak dilakukan dikarenakan dampak kebijakan yang mengabaikan ekosistem tersebut telah menyebabkan berkurangnya areal hutan. Dia membeberkan data, tiap tahun hampir 2 juta hektar hutan hilang dan rusak. Padahal nilai ekonomi kayu yang didapat hanya 7-10 % dari total nilai hutan. Hutan lindung kita tinggal 37 juta Ha. “Hutan yang mengalami degradasi sekitar 59,1 juta hektar dan 42,1 juta ha hutan kita dalam keadaan kritis,” katanya.
Sementara Chairul Shaleh mengatakan saat ini sudah ada kesepakatan Gubernur se-sumatera dalam pengembangan penyelamatan ekosistem sumatera. Kesepakatan yang ditandatangani tahun 2008 lalu tersebut berisi tiga kesepakatan penting, pertama penataan ruang pulau suamatera berbasis ekosistem. Kedua, restorasi kawasan kritis untuk perlindungan sistem kehidupan dan ketiga, melindungi kawasan yang memiliki nilai penting perlindungan sistem kehidupan, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.
Dia menambahkan, rencana aksi yang dilakukan dalam pembangunan tata ruang berbasis ekosistem di sumatera meliputi restorasi ekosistem yang telah mengalami degradasi, pelestarian dan pegolahan ekosistem hutan tropis dan keanekragaman hayati sumatera yang masih tersisa dan mengembangkan model insentif dalam penerapan penggunaan lahan.
Sumber: Humas UGM