Penyusunan rencana pengaturan kelestarian hutan (RPKH) yang dijadikan sebagai pedoman operasional dalam pengelolaan hutan di Jawa oleh Perhutani rupanya tidak menunjukkan perubahan substansial yang mendasar sebagai suatu sistem perencanaan sumber daya hutan intergralistik. Hal ini dapat dilihat tidak dilibatkannya masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Dosen Universitas Merdeka Madiun, Ir. H. Rahmanta Setiahadi, M.P., menyebutkan peran masyarakat dan pemerintah daerah dalam penyusunan RPKH telah dinegasikan dengan adanya kebijakan Permenhut No. P.60/Menhut-II/2001. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) hanya sekedar sebagai “katup pengaman” atau “pemadam kebakaran” dalam mengatasi konflik dan deforestasi, bukan menjadi bagian dari sistem perencanaan sumber daya hutan di Jawa secara menyeluruh.
“Perencanaan saat ini masih kaku, hanya untuk mengelola sumber daya kayu saja tanpa melibatkan masyarakat. Aspek sosial hanya dijadikan sebagai lampiran dan belum menjadi bagian dari perencanaan manajemen hutan. Seharusnya aspek sosial ini dimasukkan sebagai bagian sistem pembangunan hutan yang dijalankan Perhutani dan dituangkan dalam dokumen RPKH,” urainya saat melaksanakan ujian terbuka program doktor Fakultas Kehutanan, Senin (30/10) di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM.
Dalam disertasi berjudul “ Modal Sosial Dalam Pembangunan Hutan”, Rahmanta mengatakan adanya dominasi negara, dalam hal ini Perum Perhutani, terhadap sumber daya hutan meyebabkan deforestasi, konflik, ketidak percayaan dan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan terus terjadi secara masif. Perhutani terlihat gagal dalam mengadaptasi perubahan sosial untuk menjalankan hak sebagai mandatory negara. “Kegagalan ini lebih disebabkan lemahnya respon terhadap perubahan sosial yang ditentukan kondisi modal sosial masyarakat,” ujar pria kelahiran Madiun, 24 Januari 1961 ini.
Rahmanta menuturkan berbagai cara untuk mengatasi deforestasi, konflik, ketidakpercayaan dan kemiskinan dalam pembangunan sumber daya hutan di Jawa sebenarnya telah ditempuh oleh Perhutani sejak tahun 1972. Sayangnya, sejumlah program pendekatan yang dijalankan tidak pernah menyentuh sampai ke akar permasalahan yang ada. Keberadaan PP. 72/2010 akan mengancam eksistensi dan implementasi program PHBM. Perhutani terkesan tidak konsisten dengan perubahan paradigma yang dibangun sendiri dalam mengatasi persoalan yang ada. “Perubahan paradigma model Forest Timber Management menjadi Forest Resource Management hanya menjadi slogan tanpa diikuti perubahan dalam sistem pembangunan hutan yang dijalankan Perhutani,” jelasnya.
Menurutnya, keberhasilan PHBM sangat tergantung pada upaya mengelaborasi modal sosial masyarakat ke dalam sistem pembangunan hutan. PHMB seyogianya menjadi bagian dari pola pengembangan usaha Perhutani. Untuk itu keterlibatan masyarakat desa hutan dan lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) dalam pengelolaan sumber daya hutan dan kerjasama usaha harus mendapat perlindungan Perhutani.
“Untuk menjamin implementasi PHBM bisa berjalan dengan baik , maka harus segera ada perubahan pada sistem perencanaan pengelolaan sumber daya hutan oleh Perhutani berdasar Permenhut No P.60/Menhut-II/2011 . Dengan ada perubahan sistem perencanaan pengelolaan hutan diharapkan bisa memperkecil terjadinya deforestasi dan mengurangi risiko konflik dengan masyarakat,” tegas Rahmanta yang lulus dengan predikat cum laude ini.
Sumber: Humas UGM