Lumba-lumba merupakan salah satu mamalia laut yang terancam kelestariannya. Satwa cerdas ini terancam mengalami kepunahan karena banyaknya pembunuhan. Selain terancam punah, lumba-lumba juga rentan terhadap tindak eksploitasi. “Tidak sedikit wahana hiburan, seperti sirkus, yang memanfaatkan lumba-lumba demi kepentingan mereka. Lumba-lumba disuruh mengemis untuk memenuhi kebutuhan manusia, dijadikan sebagai bisnis,” kata Femke den Haas, peneliti Jakarta Animal Aid Network (JAAN) saat mengisi kuliah umum di Fakultas Biologi UGM, Senin (21/3).
Dengan menempatkan lumba-lumba di kolam, bukan pada habitat aslinya, menjadikan satwa ini kehilangan fungsinya. Selain kemampuan sonarnya menjadi rusak, satwa ini juga akan mengalami stres. “Jika di laut bebas lumba-lumba bisa menjelajah hingga puluhan km per hari, sementara di kolam mereka hanya bisa berputar-putar di air yang dangkal. Hal ini akan membuat mereka stres,” terangnya.
Disebutkan Femke, terapi autis dengan lumba-lumba juga merupakan salah satu bentuk eksploitasi pada mamalia ini. Terapi ini belum terbukti mampu menyembuhkan penyakit auitis pada anak. “Dewasa ini banyak yang menggunakan lumba-lumba untuk terapi autis. “Padahal, belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa terapi dengan lumba-lumba ini mampu menyembuhkan penyakit autis. Yang ada, lumba-lumba hanya membantu anak autis untuk berinteraksi,” ujarnya.
Femke menuturkan konservasi sering kali menjadi salah satu alasan yang menyertai tindak esploitasi, juga alasan wahana hiburan sebagai sarana pembelajaran. “Padahal, kita tetap bisa mempelajari hewan ini dari alam bebas. Kita tidak akan pernah belajar mencintai lumba-lumba dari cara-cara seperti ini,” jelasnya.
Ditambahkan Femke, keberadaan lumba-lumba menjadi salah satu daya tarik wisata di Indonesia. Tak sedikit wisatawan yang ingin berkunjung ke wilayah perairan Indonesia hanya untuk melihat lumba-lumba di alam bebas. “Ini dibuktikan di Lovina, Bali, banyak wisatawan yang berkunjung untuk menyaksikan lumba-lumba di laut lepas. Untuk itu, sangat penting menjaga kelestariannya dan membiarkan mereka hidup di habitat aslinya,” imbuhnya.
Sumber: Humas UGM