Seperti di negara-negara lain, Norwegia terus berupaya keras berubah untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang rendah emisi. Sebagai negara maju, iapun turut bertanggung jawab, dan memimpin dalam pengurangan emisi domestik. Oleh karena itu setelah menetapkan berbagai tujuan dan mendapat dukungan mayoritas Parlemen, Norwegia bertekad mewujudkan karbon netral pada tahun 2030.
Demikian disampaikan Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, H.E. Eivind S. Homme di hadapan mahasiswa-mahasiswa UGM, pada kuliah tamu di ruang Multimedia, Selasa (19/4). Ibarat seorang dosen, Eivind menjelaskan secara detail berbagai program insiatif internasional Norwegia terkait Iklim dan Hutan dan kemitraan dengan Indonesia. Dikatakannya, dalam skeme internasional Norwegia berupaya membantu negara-negara berkembang dan memberikan insentif terkait berbagai program kehutanan dan iklim.
Terkait berbagai upaya ini, Eivind Homme mengungkapkan pemerintah Norwegia memberi dukungan terhadap upaya Indonesia dalam mempersiapkan pelaksanaan REDD (Reduction of Emission from Deforestation and Land Degradation). Dukungan tersebut telah tertuang dalam LOI (Letter of Intent) yang ditandatangani kedua negara, dan melalui Review Panel Pemerintah Norwegia senantiasa mengevaluasi kemajuan yang telah dicapai Indonesia dalam upaya pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26 + 15 persen pada tahun 2020. “Untuk perubahan iklim diperlukan banyak tindakan. Untuk menuju kondisi rendah karbon perlu melakukan berbagai pendekatan serta merancang strategi pembangunan,” ungkap Eivind Homme.
Duta besar Norwegia sangat senang dengan komitmen Indonesia mengurangi emisi di tahun 2020. Bahkan terkait komitmen global ini, Norwegia menyumbang USD 1 miliar untuk membantu mewujudkan keinginan tersebut. “Ini merupakan bagian dari kemitraan strategis yang lebih luas, yang melibatkan kerjasama energi, hak asasi manusia, perdagangan dan ekonomi, dan kebijakan iklim global,” tuturnya.
Untuk keberhasilan program ini, Eivind Homme berharap masukan dari kalangan akademisi. Harapan itu terutama dari UGM, yang dinilai memiliki pengalaman luas di bidang kehutanan dan iklim serta memiliki reputasi internasional dan jaringan. “Proses ini ke depan membutuhkan kerjasama yang erat antara pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta dan akademisi. Juga interaksi antara pelaku domestik dan internasional dengan berbagai dimensinya,” katanya.
Sumber: Humas UGM