Sebagian besar longsor yang terjadi di Indonesia biasanya berupa aliran debris dan banjir bandang. Peristiwa longsor dari tahun ke tahun semakin berisiko karena dapat dipastikan setiap tahun terjadi bersamaan dengan datangnya musim hujan . Dalam beberapa waktu terakhir jumlah kejadian longsor semakin besar intensitasnya dan cakupan dampaknya semakin luas terutama di kawasan gunung api yang sudah tidak aktif.
“Hal ini terjadi karena di kawasan tersebut banyak yang digunakan sebagai pemukiman dan aktivitas ekonomi,” kata Ir. Amien Widodo, M.Si., staf pengajar di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Sabtu (26/3 pada) saat ujian promosi program doktor di KPTU Fakultas Teknik UGM.
Amin menyebutkan berbagai penelitian mengenai penyebab kejadian longsor di Indonesia sudah banyak dilakukan. Namun, penelitian penyebab kejadian longsor dalam jumlah yang banyak yang terjadi secara bersaamaan masih sangat jarang dilakukan. Padahal Indonesia memiliki tanah resisu volkanik kuarter tua dalam jumlah yang cukup banyak, tersebar di berbagai tempat serta menjadi lahan pemukiman padat. Untuk itulah dirinya melakukan penelitian mengenai stabilitas lereng tanah residu voklanik kuarter tua di Gunung Argopuro Panti, Jember.
Gunung Argopuro merupakan salah satu gunung api di Jawa Tiur yang sudah tidak aktif lagi. Endapan lahar hasil erupsi yang ada terus mengalami penebalan dan mengalami perubahan fisik kimia yang semakin melunak.
Dalam disertasi berjudul ‘Peranan Geokimia Terhadap Stabilitas Lereng Tanah Residu Vulkanik di Daerah Panti Jember Jawa Timur” Amien mengungkapkan bahwa longsor-longsor yang terjadi berada pada satuan Breksi Argopuro dan terelatk pada elevasi sekitar 400-800 meter dari permukaan laut dan sebagian besar di kawasan perkebunan karet. Bidang longsor bernebtuk melengkung, lebar mahkota longsor lebih dari 100 meter dengan kedalaman lebih dari 25 meter dari muka jalan. Secara umum dibentuk oleh tanah hasil pelapukan Breksi Argopuro dengan tebal lebih dari 25 meter.
Hasil penelitian Amien menunjukkan bahwa bidang longsor terjadi anomali silica-sesquosida yang mengecil kea rah lebih dalam. Anomali index pelapukan CIA lebih dari 85 % sampai kedalaman lebih dari 15 meter. Selain itu juga terjadi anomali ukuran butir lempung lebnih dari 50% dan anomali kandungan mineral lempung halosit serta bahan organik yang dijumpai di setiap kedalaman. “Fenomena ini terjadi karena adanya perindahan unsur, material dan proses pelapukan oleh air yang melewati retakan,” terang pria kelahiran Yogyakarta, 10 Oktober 1959.
Dari pengujian penetrasi sytandar (SPT) memperlihatkan proses pelapukan Breksi Argopuro yang berumur kuarter tua telah mencapai kedalaman lebih dari 20 meter dari muka tanah yan g terdiri dari tanah residu dengan tebal 16 meter, tanah lapuk dengan tebal 4 meter dan batuan dasar. “Aliran air yang masuk menyebabkan terjadinya pemiskinan berbagai unsure mayor di kedalaman 12 meter,” paparnya.
Disebutkan suami dari Isni Dwijuliati, S.E., ini, proses geokimia yang terjadi di sepanjang bidang retakan telah melemahkan kekuatan geser tanah. Proses geokimia tersebut menyebabkan material lereng menjadi uzur. “Tanah residu volkanik kuarter tua di Gunung Argopuro bisa dikatakan dalam keadaan yang kritis,” kata doktor UGM ke 1.357 yang meraih predikat sangat memuaskan.
Sumber: Humas UGM