Daerah sepanjang irigasi Bendung Colo, Kabupaten Sukoharjo merupakan kawasan yang subur sehingga banyak dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Namun, seiring berjalannya waktu kawasan tersebut telah banyak berubah fungsi menjadi lahan non pertanian. Tidak sedikit lahan pertanian yang dikonversi menjadi pemukiman penduduk maupun pengembangan industri.
“Konversi penggunaan lahan di daerah irigasi tersier Bendung Colo, Sukoharjo dari tahun 2006-2010 tercatat sebesar 227,251 hektar atau rerata 56,813 hektar setiap tahunnya,” ungkap Ir. Rachmat Martanto, M.Si., staf pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta saat melaksanakan ujian terbuka program doktor, Selasa (11/12) di Auditorium Fakultas Geografi UGM. Dalam kesempatan itu Rachmat mengajukan disertasi berjudul “Pemintakatan Lahan Irigasi untuk Menekan Konversi Penggunaan lahan di Daerah Irigasi Bendung Colo Kabupaten Sukoharjo’.
Rachmat mengatakan bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Sukoharjo mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal itu, secara tidak langsung turut memicu terjadinya konversi lahan pertanian karena kebutuhan lahan untuk pemukiman penduduk. Selain itu, konversi lahan di Bendung Colo juga dipengaruhi oleh industrialisasi, perkembangan wilayah, produktivitas lahan, dan aksesibilitas, serta jenis tanah.
Hasil penelitian Rachmat menunjukkan bahwa pola konversi penggunaan lahan baik untuk pemukiman ataupun industri di derah Bendung Colo cenderung mengelompok. Pola tersebut setiap tahunnya semakin besar karena konversi lahan yang berpola mengelompok umumnya bersifat ikutan. “Apabila terjadi konversi lahan di suatu lokasi, maka luas lahan yang dikonversi di daerah tersebut akan semakin besar,” jelas pria kelahiran Klaten, 6 Maret 1958 ini.
Apabila alih fungsi lahan terus terjadi, lanjutnya, swasembada beras di daerah tersebut hanya akan bertahan hingga 94,98 tahun mendatang. Sementara swasembada akan bertahan lebih lama hingga 164,41 tahun apabila yang terjadi hanya pertambahan penduduk tanpa ada alih fungsi lahan. Namun, jika terjadi konversi dan pertambahan penduduk setiap tahunnya maka swasembada beras hanya akan bertahan sampai 60,18 tahun mendatang. “Karenanya penting dilakukan pemintakatan atau zonasi lahan di daerah irigasi Bendung Colo, Sukoharjo. Perlu dikelompokkan daerah mana yang boleh dikonversi, dikonversi tapi bersyarat, dan yang tidak boleh dikonversi,” ujarnya.
Dari pengelompokan pemintakatan lahan di irigasi Bendung Colo, Sukoharjo yang dilakukan Rachmat memperlihatkan bahwa sebesar 1530,79 hektar merupakan daerah yang boleh dikonversi. Lahan tersebut diperuntukan bagi pengembangan pembangunan daerah yang merupakan lahan dengan produktivitas rendah. Sedangkan lahan yang bersifat boleh dikonversi secara bersyarat sebesar 3600,14 hektar merupakan lahan yang bisa dialihfungsikan, namun dengan penetapan aturan ketat dan memasukan rencana tata ruang wilayah yang tepat dan terencana. Sementara untuk luas wilayah lahan yang tidak boleh dikonversi sebesar 4664,97 hektar. Lahan ini merupakan lahan abadi atau lahan berkelanjutan yang diharapkan secara terus menerus bisa mencukupi swasembada beras. “Melalui pemintakatan ini diharapkan mampu menekan laju konversi penggunaan lahan menuju ketahanan pangan di derah irigasi Bendung Colo, Sukoharjo,” terang Rachmat.
Sumber: Humas UGM