Terjadinya migrasi (perpindahan) penduduk dari sebuah tempat/negara ke tempat lain dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan. Pola perubahan migrasi ternyata tidak hanya terbatas pada faktor demografi saja, namun cukup kompleks mulai dari ekonomi, politik, konflik hingga perubahan iklim.
Hal ini diungkapkan oleh Dr.Rainer Munz (ahli demografi) yang saat ini menjabat sebagai Head of Research and Development At Erste Bank, Vienna, Austria, pada diskusi di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Kamis (14/4). Munz menjelaskan tentang Global Migration Pattern. Acara ini dibuka langsung oleh Kepala PSKK, Prof. Dr. Muhadjir Muhammad Darwin, MPA.
“Meskipun tidak secara langsung, tapi faktor perubahan iklim juga mempengaruhi terjadinya migrasi suatu bangsa,”papar Munz.
Munz mencontohkan migrasi yang terjadi di abad ke-20 melanda beberapa negara yang tengah bergejolak dan terjadi konflik seperti India, Bangladesh,Israel, Palestina, hingga China dan Taiwan. Sementara di akhir abad ke-20, migrasi yang dikarenakan konflik etnik juga melanda di Bosnia, Sudan, Kongo, dll.
“Itu sudah terlihat dan menjadi karakteristik dunia adanya perubahan pola migrasi di dunia di akhir abad ke-20 tersebut,”tambah Munz yang juga menjabat sebagai Senior Fellow at The Hamburg Institute of International Economics itu.
Selain itu, faktor pendidikan dan tenaga kerja juga turut dibahas dalam diskusi tadi. Munz menilai karakteristik migrasi dunia saat ini menunjukkan sebuah tren seperti populasi yang menua, maupun turunnya tingkat fertility (kelahiran). “Memang tidak merata, seperti di Indonesia dan India yang justru tingkat fertilitynya masih tetap naik,”imbuhnya.
Dalam diskusi itu Munz juga menyinggung adanya perbedaan kebijakan migrasi di AS dengan Eropa. Di AS menurutnya lebih terbuka terkait migrasi. Berbeda dengan Eropa yang cenderung lebih ketat memberlakukan kebijakan migrasi. Ini disebabkan masyarakat ‘pribumi’ Eropa yang menilai migrasi hanya akan membebani keuangan negara. Hampir sama seperti yang terjadi di Arab yang juga cukup ketat menerapkan kebijakan mengenai migrasi ini.
Satu hal menarik diungkapkan Munz misalnya India yang banyak mengirimkan pekerja migran ke luar negeri, bahkan merubah kewarganegaraan. Di luar negeri mereka banyak belajar dan mengembangkan keahlian (ilmu) untuk nantinya dikembangkan di negaranya setelah kembali. Hal ini tidak bisa dilakukan di Indonesia karena di sini tidak diperbolehkan untuk memiliki dua kewarganegaraan.
“Mungkin ini bisa pula sebagai penghambat bagi pengembangan iptek di Indonesia karena tidak diperbolehkan punya dua kewarganegaraan,”ujar Munz.
Sebelumnya, Munz dalam diskusi tersebut sempat pula menyampaikan tentang pola perubahan migrasi periode puluhan juta tahun lalu. Waktu itu migrasi banyak terjadi dari Afrika menuju Asia, Alaska, dsb. Kemudian terjadi perubahan pola migrasi yang didominasi wilayah Eropa ke Asia. Perubahan pola migrasi ini tidak lepas dari faktor perkembangan pendidikan, revolusi industri, dan transportasi.
Sumber: Humas UGM