Sektor energi adalah bagian yang penting dan strategis. Namun sayang, seiring dengan terus meningkatnya kebutuhan energi, pengelolaannya dinilai masih belum optimal dan sering masih berpihak kepada kepentingan asing. Di samping itu, saat ini masih tampak gejala penggunaan energi yang belum efisien.
“Kebutuhan energi kita itu terus meningkat, tapi pemanfaatannya masih menunjukkan gejala yang belum efisien,” ujar Dekan Fakultas Teknik UGM, Ir. Tumiran, M.Eng., Ph.D., dalam Seminar Pengelolaan Energi terhadap Nilai Tambah Nasional, yang digelar di Ghra Sabha Pramana (GSP) UGM, Jumat (11/3). Acara yang diprakarsai oleh Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) tersebut dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Alumni dan Pengembangan Usaha, Prof. Ir. Atyanto Dharoko, M.Phil., Ph.D. Seminar juga dihadiri perwakilan Kagama dari beberapa daerah, seperti Banyumas dan Kebumen.
Selain belum efisien, menurut Tumiran, ketergantungan terhadap energi fosil di Indonesia, khususnya minyak, juga masih tinggi. Padahal, kemungkinan pengembangan energi baru dan terbarukan (renewable energy), seperti pemanfaatan sumber energi panas bumi, air, bahan bakar nabati atau biofuel, angin, matahari (solar cell), biomass, dan coal bed methane (CBM) cukup terbuka.
Kondisi tersebut berbeda dengan beberapa negara lain, seperti China, yang cukup berhasil dalam pengelolaan dan pemanfaatan energi. Tumiran mencontohkan digunakannya kendaraan berbasis elektrik di China sehingga dapat mengurangi jumlah penggunaan bahan bakar dari energi fosil. “Apalagi tidak ada jaminan stok energi akan selalu ada. Belum lagi kalau kita bicara mengenai infrastruktur energi kita yang masih lemah,” kata Tumiran yang juga menjabat anggota Dewan Energi Nasional (DEN) itu.
Dikatakan Tumiran bahwa berbicara tentang energi sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Di sini masih terlihat adanya kesenjangan kondisi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Bukti nyata yang bisa dilihat adalah saat ini sekitar 50% daerah di luar Jawa belum terkoneksi dengan listrik. Akibatnya, industri sulit tumbuh optimal di sana. “Nilai tambah produksi dan industrialisasi sangat tergantung dari pasokan listrik, maka kita mendukung agar pemerintah lebih bijaksana lagi dalam pengelolaan energi ini,” tutur Tumiran.
Sementara itu, Konsul Kehormatan Austria di Yogyakarta, Sugiharto Sulaiman, mengatakan energi di Indonesia memang tidak akan habis. Hanya saja, bangsa ini diperkirakan akan kehabisan akal untuk dapat terus mencari sumber-sumber energi. Sugiharto juga sepakat agar pengelolaan energi di Indonesia dilakukan dengan ‘hati nurani’ dan tidak mengedepankan hal-hal politis.
Di Indonesia, saat ini setidaknya ada 118 daerah eksplorasi dan produksi yang tersebar di 150 kabupaten/kota. Hampir senada dengan Tumiran, Sugiharto juga menyayangkan sumber energi tak terbarukan Indonesia banyak yang dikuasai oleh pihak asing dan hasilnya diekspor. Di saat bersamaan, negara ini justru juga mengimpor barang-barang tersebut. “Sumber energi terbarukan tidak dikembangkan dengan baik, sementara di sisi lain sumber energi tak terbarukan dinilai dengan harga pasar,” kata Sugiharto.
Untuk itu, Sugiharto mengusulkan beberapa alternatif solusi, yakni dihentikannya eksploitasi lebih jauh dan menggunakan energi secukupnya. Selain itu, eksploitasi diharapkan dilakukan oleh perusahaan nasional dan harga energi ditentukan oleh negara. “Perusahaan nasional harus berperan dalam eksploitasi dan eksplorasi guna kepentingan bangsa,” pungkasnya.
Sumber: Humas UGM