American Corner Perpustakaan Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM mengadakan diskusi bertajuk “Agriculture and Intenational Trade Policy”, hari Selasa (15/5). Menghadirkan pembicara Dr. James Whitaker, Chief Economist, US Agency for International Development (USAID), seminar berlangsung menarik diikuti mahasiswa-mahasiswa S1 dan S2 UGM.
James Whitaker mengatakan melihat kondisi terkini nampaknya diperlukan ide-ide untuk membangun sistim pertanian di Indonesia. Pemerintah sebagai motor penggerak pembangunan diharapkan mampu mengorganisasi para petani dalam kelompok-kelompok untuk dilakukan berbagai pelatihan terkait penggunaan teknologi pertanian. “Indonesia tentu membutuhkan kerjasama dengan negara lain untuk bisa melakukan tranfer teknologi di bidang ini,” katanya di American Corner, Perpustakaan UGM.
Menurut Whitaker, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, selain diukur dari kemajuan pendidikan, ia juga dapat dilihat dari upaya pemenuhan kebutuhan pokok di negara tersebut. Terutama ketersediaan pangan yang sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan.
Memang menjadi keharusan bila suatu negara mampu menghasilkan produk, namun akan lebih baik apabila negara tersebut fokus untuk memproduksi beberapa bidang saja. Selebihnya, untuk mememenuhi kebutuhan produk yang tak tercukupi, Indonesia bisa melakukan impor dan ekspor barang. “Artinya Indonesia bisa melakukan ekspor dan pertukaran, dengan hasil produksi tentu dapat menciptakan kekuatan yang seimbang bagi masing-masing negara,” tutur dosen di Utah State University.
Untuk memenuhi secara mandiri (self-sufficiency) berbagai kebutuhan pokok, masing-masing negara memiliki ketahanan pangan yang berbeda. pdahal kondisi ketahanan pangan suatu negara akan terlihat dalam kemudahan mengakses ekonomi maupun fisik negara tersebut dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Seperti proteksi terhadap beras di Indonesia. Hal itu perlu untuk ditingkatkan sebab ia masih menjadi komoditas sangat penting bagi masyarakat. “Dengan memfokuskan pada beras, atau produksi pangan lainnya yang sesuai dengan agrikultur Indonesia, Indonesia dapat menghasilkan produk (beras) dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan pangan dalam bentuk lain, yang pada akhirnya berdampak pada perdagangan dunia,” jelasnya.
Dalam pandangan Whiteker, kebutuhan pangan akan tercukupi bila terdapat rentang harga yang sesuai dengan daya beli masyarakat. Terkait kasus ini, maka perbedaan harga yang menimbulkan persaingan dalam hal penjualan turut membantu menciptakan harga yang sesuai dengan daya beli masyarakat. “Harga yang sesuai ini dapat pula dicapai dengan melakukan ekspor produk tertentu, seperti contoh beras, agar tetap terjadi persaingan harga,” jelasnya lagi.
Whitaker mengakui ketahanan pangan di Indonesia menjadi tantangan ke depan, sebab Indonesia selama ini memproduksi beragam komoditas. Berbeda dengan Amerika yang semakin mersakan sedikit petani bekerja untuk sawah mereka. Bahkan untuk ukuran tanah 100 acre bisa hanya dimiliki oleh seorang pemodal.
Disamping itu untuk mengurus sawah, masyarakat Amerika cenderung menggunakan teknologi modern (traktor) dan merekrut karyawan. “Tak jarang pula, mereka mengaplikasikan sistem GPS untuk menentukan titik yang tepat untuk melakukan penanaman bibit,” terang Whitaker.
Sebagai penutup diskusi Whitaker mengungkapkan, masyarakat Amerika sangat sedikit menggantungkan hidup dari usaha tani. Bidang pertanian di Amerika, dinilainya lebih merupakan ritual yang turun-temurun dalam masyarakat yang masih tradisional. Kendati begitu, mereka sudah menerapkan teknologi canggih dalam mengelola sistem pertanian. “Saya berharap itu tidak terjadi di Indonesia. Harapannya Indonesia tetap fokus pada sistem pertaniannya,” imbuhnya.
Disamping Dr. Riza Noer Affani, hadir dalam diskusi Kepala Pusat Studi Perdagangan Dunia, Prof. Dr. Masyuri dan Nur Cahyati Wahyuni, Koordinator American Corner Univerisitas Gadjah Mada.
Sumber: Humas UGM