Indonesia berpeluang menjadi pemimpin global dalam perubahan iklim bila sukses mengimplementasikan REDD, kata Administrator Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) Helen Clark. “Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menjadi pemimpin global dalam perubahan iklim. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menetapkan jadwal untuk mengurangi emisi, dan hanya tercapai bila REDD diimplementasikan,” katanya di Jakarta dalam wawancara khusus dengan ANTARA.
REDD adalah Program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan yang mulai diusulkan pada Konferensi Perubahan Iklim ke-13 di Bali pada 2007 dan disempurnakan pada KTT Perubahan Iklim Kopenhagen 2009. REDD berisi mekanisme bagi negara berkembang dan kaya hutan untuk memperoleh imbalan dari negara maju karena melestarikan hutannya. Presiden SBY pada KTT G20 di Pittsburgh pada September 2009 mengajukan secara sukarela upaya pengurangan emisi karbon Indonesia sebesar 26 persen pada 2020 termasuk dengan menggunakan mekanisme REDD.
“Indonesia juga sudah memiliki kerja sama dengan Norwegia dalam skema REDD karena memang masalah hutan tropis Indonesia juga merupakan masalah global, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana skema tersebut memberikan manfaat bagi masyarakat setempat,” ujarnya.
Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa dan Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Internasional Norwegia Erik Solheim di Oslo pada 27 Mei 2010 menandatangani Letter of Intent (LoI) REDD Plus dengan hibah dana sebesar satu miliar dolar AS. Kalimantan Tengah kemudian terpilih sebagai provinsi percontohan untuk program REDD+ yaitu skema yang meliputi selain pengurangan emisi dari penggundulan (deforestasi) dan penurunan kualitas (degradasi) hutan, juga meningkatan penyerapan karbon melalui konservasi, pengelolaan hutan lestari serta peningkatan cadangan karbon hutan mulai 29 Desember 2010.
“Pemerintah Kalteng sudah berada di perahu yang sama untuk mewujudkan target pengurangan emisi dan memikul tanggung jawab yang besar sebagai provinsi pertama yang melakukan skema REDD ,” ujar mantan perdana menteri Selandia Baru periode 1998-2009 itu.
Ia mengatakan bahwa saat ia berkunjung ke Kalteng pada Rabu (27/4) dan berkomunikasi langsung dengan masyarakat di sana, pemimpin setempat mengatakan bahwa mereka membutuhkan dukungan untuk akses ke air bersih, pengadaan kredit mikro yang mendukung, usaha kecil dan juga desa pariwisata.
“Hal-hal ini merupakan hal yang sangat praktis dan konsisten dengan tujuan REDD+, jadi penting bagi pemerintah pusat di Jakarta, pemerintah provinsi atau kabupaten untuk mendengar apa yang masyarakat inginkan dari program ini,” katanya.
Menurut Helen yang sudah bertemu dengan Presiden SBY pada Kamis (28/4), tantangan yang saat ini dihadapi pemerintah pusat adalah pemberlakuan moratorium atau penghentian sementara izin penebangan hutan.
“Moratorium memang hal yang sulit karena menyangkut politik, dan sama seperti saat saya menjadi PM Selandia Baru dulu, hal ini merupakan isu yang sangat berat, namun saya yakin Indonesia dapat melakukannya,” kata Helen.
Menurut dia, proses tersebut dapat terjadi dengan kepemilikan visi yang kuat, penetapan langkah-langkah yang serius sesuai visi, memilih orang-orang yang dapat mendukung untuk melakukannya, serta terus berpikir bagaimana dengan inisiatif tersebut dapat memberikan manfaat bagi rakyat.
“Di masa lalu pembangunan dilakukan dengan cara menghabiskan hutan, yang saat ini dilakukan adalah bagaimana pembangunan dengan memelihara hutan, jadi program ini harus membayar untuk tetap menjaga kelestarian hutan, itulah REDD+,” ujarnya.
Helen mengungkapkan bahwa skema pembangunan hijau (green growth) juga diminati oleh badan pembangunan atau negara lain.
“Badan pembangunan Amerika Serikat yang cukup besar seperti Millennium Challenge Cooperation (MCC) atau negara Australia juga tertarik dengan masalah lingkungan, jadi bila Indonesia dapat menjalankan kebijakan REDD+ dengan baik dan memperlihatkan bahwa masyarakat setempat mendapatkan manfaat maka dapat menjadi lahan investasi yang potensial,” katanya.
Menurut data UNDP, Indonesia merupakan negara terbesar ketiga pelepas karbon, dengan lebih dari 80 persen emisi nasional berasal dari perubahan tata guna lahan –terutama deforestasi. Indonesia juga memiliki 86-93 juta hektar tutupan hutan (hampir 50 persen dari luas lahan). Lebih kurang separuh lahan gambut tropis di dunia berada di Indonesia seluas lebih kurang 21 juta hektar dengan Kalteng sebagai provinsi dengan lahan gambut seluas 3,01 Juta hektar dan besaran emisi karbon senilai 292 metrik ton (2005), sebagian besar dari mengalihgunaan lahan gambut dan hutan.
Sumber: Antara