Pertemuan para pihak/ the Conference of the Parties ke-27 (COP 27) dalam Konferensi Perubahan Iklim ((the United Nations Framework Convention on Climate Change/ UNFCC) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berakhir pada 20 November lalu. Pada tahun 2015 UNFCC melahirkan Persetujuan Paris (Paris Agreement) sebagai hasil pelaksanaan COP 21. Persetujuan Paris adalah perjanjian internasional tentang perubahan iklim yang bertujuan untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C di atas tingkat di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan suhu ke 1,5°C di atas tingkat pra-industrialisasi. Tinjauan atas implementasi dari Persetujuan Paris adalah agenda utama diselenggarakannya COP27. Beberapa hal penting yang telah dicapai dalam COP 27 antara lain, yaitu:
Dalam pesan untuk penutupan COP 27, Sekjen PBB António Guterres menyampaikan COP 27 berhasil menegaskan kembali target utama, untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°Celcius. Sebelumnya, Persetujuan Paris 2015 berisi dua tujuan kenaikan suhu, yaitu menekan kenaikan di bawah 2°C dan mengusahakan untuk membatasi kenaikan menjadi 1,5°C. Namun ilmu pengetahuan telah menunjukkan, bahwa kenaikan suhu 2°C dianggap tidak aman, sehingga pada COP 26 disepakati, bahwa target 1,5°C dirasa lebih sesuai dengan tujuan iklim global.
Sayangnya, COP 27 tidak mengejar ambisi pengurangan karbon untuk pemenuhan target 1,5°C, yang nantinya dapat menjadi landasan negara-negara untuk pembaharuan NDC mereka. COP 27 telah dianggap meruntuhkan mekanisme Ratchet akibat lemahnya komitmen negara-negara melalui pembaharuan NDC. Padahal kesepakatan ratchet mensyaratkan, bahwa setiap perubahan janji suatu negara untuk mengatasi perubahan iklim dalam NDC akan selalu meningkat, secara progresif di setiap tinjauan, sehingga dapat mencapai target kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius.
Saat ini, apabila diimplementasikan, maka diperkirakan keseluruhan komitmen negara-negara (NDCs) hanya mengurangi kenaikan suhu menjadi 2,4 sampai 2,6°C (Laporan UNEP Emissions Gap Report 2022). Wajarlah jika timbul kekecewaan atas pelaksanaan COP 27, yang secara politis layak dinobatkan menjadi momentum bersejarah yang menghapuskan upaya menekan suhu pemanasan global di bawah 1,5°C. Meskipun hal tersebut memang tidak akan menurunkan langkah-langkah yang dilakukan untuk pengurangan emisi karbon global hingga 50% pada tahun 2030.
COP 27 telah menghapus asa penghapusan bahan bakar fosil secara keseluruhan yang telah dirintis dalam kesepakatan “Coal Phase Down”, yang dihasilkan dalam COP 26 melalui the Glasgow Climate Pact. Padahal penggunaan bahan bakar fosil cenderung terus meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 2025. Menurut Sekjen PBB, kita perlu berinvestasi besar-besaran dalam energi terbarukan dan mengakhiri kecanduan kita pada bahan bakar fosil sehingga memiliki harapan untuk mempertahankan target 1,5°C.
Hasil utama yang dianggap positif dari COP 27 adalah disepakatinya mekanisme pendanaan baru untuk kerugian dan kerusakan (Pendanaan loss & damage) kepada negara-negara miskin atau berkembang yang rentan dan mengalami kerugian akibat perubahan iklim. Negara-negara yang lebih miskin dan rentan bukanlah pencemar signifikan yang menyebabkan perubahan iklim. Negara selama ini negara miskin dan negara berkembang turut menanggung kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim. Pendanaan loss & damage merupakan bentuk tanggung jawab moral yang dimiliki para pencemar besar atas ancaman darurat iklim, seperti bahaya badai, banjir, kekeringan, dan gelombang panas yang semakin meningkat.
Sementara itu, COP 27 masih belum memberikan hasil yang memuaskan atas janji pendanaan iklim sebesar $100 miliar setiap tahun untuk negara-negara berkembang. Sekjen PBB bahkan kembali menekankan untuk memenuhi pendanaan yang telah tertunda sejak diprakarsai pada tahun 2009. Lemahnya komitmen yang ditunjukan oleh negara maju, pada gilirannya akan turut mempengaruhi ambisi atau komitmen iklim dari negara miskin dan negara berkembang.
Pendanaan iklim sangat dibutuhkan oleh negara-negara miskin dan berkembang dalam menghadapi perubahan iklim. Setiap tahunnya diperkirakan sekitar $2 triliun (£1,75 triliun) yang dibutuhkan pada tahun 2030 dalam rangka beralih dari bahan bakar fosil, berinvestasi dalam energi terbarukan dan teknologi rendah karbon lainnya, dan upaya lainnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca serta mengatasi dampak dan kerusakan akibat cuaca ekstrem.
Pada saat berlangsungnya COP 27, kepala UN Development Program (UNDP), Achim Steiner menyampaikan, terdapat 54 negara yang cenderung gagal membayar hutangnya dan rentan atas ketidakstabilan ekonomi, akibat melambungnya suku bunga, serta membengkaknya nilai pinjaman, harga energi, dan harga pangan. Selain itu ditegaskan oleh steiner, bahwa masalah utang sudah menjadi masalah besar bagi begitu banyak negara berkembang, sehingga menangani krisis utang menjadi prasyarat untuk benar-benar mempercepat aksi iklim. Steiner memperingatkan, beberapa negara berkembang mungkin akan menyerah pada pembicaraan iklim PBB jika pemerintah negara maju gagal memenuhi janji sebesar $100 miliar (£86 miliar).
Sekjen PBB dalam pesannya untuk penutupan COP 27 telah menggariskan peringatan, bahwa saat ini planet kita masih berada di ruang gawat darurat dan masih diperlukan langkah-langkah untuk mengurangi emisi secara drastis.
Secara khusus untuk Indonesia, UNFCC dalam siaran pers saat penutupan COP 27 juga menyoroti beberapa kesepakatan yang telah dilakukan Indonesia saat berlangsungnya COP 27. Beberapa bentuk langkah-langkah baru solidaritas iklim untuk mencapai target iklim 1.5°C, yaitu:
- Kemitraan iklim “Rainforest Protection Pact” oleh tiga negara pemilik hutan hujan terbesar di dunia, yaitu Brasil, Indonesia, dan Republik Demokratik Kongo. Ketiga negara sepakat bekerja sama untuk membentuk “mekanisme pendanaan” yang dapat membantu melestarikan hutan hujan tropis. Ekosistem hutan hujan tropis merupakan sumber penting penyerapan karbon dan sangat berharga dalam kemampuannya melawan perubahan iklim sekaligus menunjang upaya konservasi flora dan fauna.
- Kemitraan Transisi Energi Indonesia (Just Energy Transition Partnership/ JETP). Komitmen tersebut didapatkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, yang berlangsung bersamaan dengan COP27. Indonesia bersama negara G20 telah menyepakati skema pendanaan transisi energi dengan target nilai investasi 20 miliar dollar AS yang setara dengan Rp 300 triliun. Skema pendanaan JETP terdiri atas USD 10 miliar yang berasal dari pendanaan publik berupa pinjaman lunak dan hibah dan USD 10 miliar lainnya berasal dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). GFANZ terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, and Standard Chartered. JETP akan dimanfaatkan untuk mendorong pemensiunan dini PLTU batu bara di Indonesia serta investasi di teknologi dan industri energi terbarukan.