Perubahan iklim merupakan isu global yang jadi perhatian negara di dunia. Dibutuhkan komitmen bersama dan langkah riil di lapangan untuk memperlambat perubahan cuaca. Salah satu yang ditawarkan adalah konsep mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berbasis komunitas. Hal itu jadi fokus dalam Kick Off Conference Erasmus Mundus Programme on “LEAN CC-Linking European, African and Asian Academic Networks on Climate Change” di gedung MSK Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada. Kegiatan yang diinisiasi Fakultas Geografi UGM ini menggandeng sembilan universitas dari lima negara seperti Erasmus University Rotterdam, Ca’ Foscari University of Venice, Soegijapranata Catholic University of Semarang dan The University of Witwatersrand South Africa.
Dekan Fakultas Geografi, Prof. Suratman mengatakan dampak perubahan cuaca saat ini adalah terjadinya kenaikan air laut yang menyebabkan abrasi. Ini menyebabkan adanya bencana dan kerusakan baik infrastruktur, budaya maupun sarana dan prasarana. “Bahkan ada ancaman pulau-pulau yang tenggelam dan ini harus diantisipasi,” ujarnya di sela-sela konferensi, Rabu (16/11).
Di dunia, perubahan cuaca menyebabkan Thailand mengalami banjir bandang serta bencana kelaparan di Sudan. Dia melanjutkan negara-negara di Asia sendiri kini memiliki fungsi untuk menjaga suhu dunia lewat hutan tropis yang dimilikinya, termasuk Indonesia. Saat ini dikampanyekan menjaga kelestarian hutan karena berkurangnya lahan hutan mempercepat perubahan cuaca. “Hutan tropis itu buffer-nya climate change maka harus dijaga,” katanya.
Perubahan iklim juga mengancam ketersediaan pangan. Saat ini ada 7 miliar penduduk dunia dan diperkirakan ketika bumi didiami 10 miliar orang akan terjadi rebutan lahan. Dia mengatakan perlu dipikirkan untuk menciptakan lumbung dunia, yaitu di Indonesia. Dia melanjutkan menghadapi masalah ini diperlukan rencana jangka panjang terkait konservasi vegetatif dengan membuat hutan kota, danau kota serta tidak segera membuang air ke laut. Pengurangan penggunaan kendaraan yang memicu pencemaran udara, harus dikurangi.
Di konferensi ini akan dibangun jaringan di tingkat ASEAN dalam menghadapi perubahan iklim. Meski saat ini dunia, terutama Eropa tengah mengalami keguncangan akibat krisis ekonomi, Suratman optimistis upaya perlambatan climate change akan tetap berjalan selama komitmen tersebut dipertahankan. “Memang membutuhkan sebuah komitmen dan konsistensi negara yang memiliki economic power tinggi menjaga kemitraan dengan negara berkembang untuk mendukung agenda dunia,” tuturnya.
Sementara itu, Danang Sri Hadmoko dari Biro Kerjasama Luar Negeri Fakultas Geografi UGM menambahkan pertemuan ini diharapkan bisa memperkuat partnership dalam mengelola isu climate change. UGM sendiri menawarkan konsep mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berbasis komunitas. Dia mencontohkan masyarakat Indonesia di pesisir memiliki kemampuan psikologis dalam menghadapi bencana. Semisal rumah kebanjiran maka beradaptasi dengan meninggikan tanggulnya. Di sisi lain, di luar negeri sistem asuransi berjalan dan mengganti semua kerugian karena bencana. “Ini yang akan kita pelajari dan perkuat kerjasama antar negara,” katanya.
Selain menawarkan konsep mitigasi berbasis komunitas, UGM sendiri sudah memiliki kegiatan terkait bencana. Yaitu membangun ketahanan dan kewaspadaan masyarakat dalam menanggapi isu perubahan iklim lewat kegiatan KKN bertematik.
Dalam kick-off conference terdapat lima keynote speech yaitu Deputi Dewan Nasional Perubahan Iklim Dr. Armi Susandi, Direktur Pusat Studi Perubahan Iklim Universitas Indonesia Dr. Jatna Supriatna. Selain itu, Stelio Grafakos dari HIS Belanda, CEO Study Portals Edwin van Rest, Rick Heikoop dari RUAS dan Bernhard Barth dari UN-Habitat.
Sumber: Humas UGM