Fakultas Peternakan UGM saat ini tengah meneliti penggunaan bio mulsa di lahan berpasir di Pantai Congot, Desa Jangkaran, Temon, Kulonprogo sebagai alternatif pengganti mulsa plastik dalam bercocok tanam. Bio mulsa yang dimaksud berupa sisa jerami/ pakan yang sudah tidak dikonsumsi lagi oleh ternak, atau dalam bahasa jawa disebut dengan “rapen”.
Dosen di bagian Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan UGM, Bambang Suwignyo, S.Pt., M.P., Ph.D mengatakan penelitian yang dilakukan merupakan salah satu kegiatan dalam payung besar penelitian pengembangan hijauan pastura di lahan pasir. Dimana sejak 2005 lalu, ia telah merintis pemanfaatan lahan pasir untuk pengembangan hijauan dan pastura untuk makanan ternak. “Petani di lahan berpasir biasanya menggunakan mulsa plastik untuk proses bercocok tanam di lahan pasir yang bersifat kering dengan penguapan tinggi. Namun, harga mulsa plastik dinilai memberatkan petani karena relatif mahal dan kurang ramah lingkungan, maka banyak petani mengeluh,” ungkap Bambang Suwignyo, di Fakultas Peternakan UGM, Rabu (25/1).
Keluhan-keluhan semakin terasa manakala petani harus menanggung kenaikan harga pupuk. Belum lagi petani harus menanggung beban pembelian mulsa plastik yang mencapai ratusan ribu rupiah. “Ini tentu menjadi persoalan penting yang harus dicarikan jalan keluarnya. Jika muncul alternatif pengganti mulsa plastik, petani tentu menyambut dengan baik. Kalau ada alternatif yang lebih murah mereka pasti mau,” papar Bambang menerangkan.
Sebagai alternatif bersama dosen-dosen di Laboratorium Hijauan Makanan Ternak dan Pastura yang dipercaya mengelola mata kuliah Sistem Pertanian Terpadu, Bambang Suwignyo pada akhirnya menawarkan jerami sebagai pengganti mulsa plastik. Melalui penelitian yang dilakukan, ia berharap bisa dijadikan contoh bagi para mahasiswa sebagai implementasi konsep pertanian terpadu.
Dijelaskan bio mulsa ini dalam perjalanannya memiliki fungsi ganda. Selama belum terdekomposisi bio mulsa ini berfungsi sebagai mulsa dalam arti sesungguhnya dan setelah terdekomposisi ia berfungsi sebagai pupuk bagi tanah. Dengan penelitian yang dilakukan selama 2,5 bulan di lahan berpasir seluas 300 m2 dengan dibantu dua mahasiswa bio mulsa mampu menggantikan fungsi mulsa plastik. “Prediksi minimal tidak ada beda nyata, penggunaan mulsa plastik maupun bio mulsa sama saja meski saat ini penelitian baru mencapai tahap analisis data,” jelasnya.
Bambang berharap dengan hasil penelitian ini memberikan catatan ilmiah atas praktek yang sebenarnya telah dilakukan oleh nenek moyang petani dahulu. “Ya saya berharap penelitian berbasis aplikasi riil bisa bermanfaat tidak hanya bagi pengkayaan hasanah ilmu pengetahuaan namun juga bermanfaat bagi petani,” harapnya.
Sumber: Humas UGM