Secara historis, gerakan konservasi global berdasarkan pada konsep pembangunan kawasan konservasi atau kawasan lindung yang terbebas dari gangguan atau kehidupan manusia. Namun semakin banyak bukti telah menunjukkan, bahwa saat ini masyarakat adat dan/atau komunitas lokal di sekitar kawasan konservasi, baik hutan maupun perairan, telah diakui mampu menjaga kelestarian lingkungan dan ekosistem disekitarnya. Masyarakat adat bahkan diakui menjadi yang terbaik dalam menjaga kehidupan satwa liar, dimana sebanyak 80% keanekaragaman hayati yang tersisa dari hutan di seluruh dunia berada di dalam wilayah masyarakat adat.
Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), seluruh dunia saat ini sedang menghadapi tiga krisis planet (triple planetary crises) yang menentukan masa depan kehidupan yang baik dan sehat di Planet Bumi.
Tiga krisis planet mengacu pada tiga masalah utama, yang saling terkait, yang saat ini dihadapi oleh seluruh umat manusia, yaitu perubahan iklim, hilangnya alam (keanekaragaman hayati), serta polusi dan limbah. Ironisnya konsekuensi paling parah akan dirasakan oleh pihak-pihak yang sesungguhnya bukanlah penyebab terjadinya krisis.
Deklarasi Stockholm yang dilangsungkan pada tanggal 5 Juni tahun 1972 telah menjadi hari bersejarah bagi upaya perlindungan lingkungan hidup. Dimana setengah abad yang lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional pertama kali, yang secara khusus membahas tentang kemanusiaan dan perlindungan lingkungan hidup. Konferensi tersebut menandai adanya perhatian seluruh negara-negara di dunia terhadap permasalahan lingkungan hidup.
Momentum tersebut menjadi latar belakang diselenggarakannya Seminar Lingkungan Stockholm+50 dengan tema “Refleksi dan Proyeksi Lingkungan Hidup Indonesia”, hasil kerjasama antara Badan Standarisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK), Perkumpulan Program Studi Ilmu Lingkungan (PEPSILI), dan Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL).
SEMINAR NASIONAL
Refleksi dan Proyeksi Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia
Link Diskusi Zoom :
Meeting ID : 947 0755 9992
Password : S+50
Live Streaming at :
Youtube : BSILHK
KONFERENSI NASIONAL BKPSL
Yogyakarta, 2-3 Juli 2022
BKPSL – Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan dalam rangka memperingati Konferensi Lingkungan yang pertama di Stockholm 50 tahun yang lalu (5-16 Juni 1972), mengadakan Seminar Nasional bertajuk ‘Sejauh Apa Kita Peduli Lingkungan?’ yang akan diselenggarakan tanggal 2 Juli 2022 di PSLH UGM.
Para insan BKPSL, PEPSILI, dan pemerhati lingkungan diharapkan dapat berkontribusi secara aktif untuk mensukseskan seminar tersebut. Makalah yang diterima dan dipresentasikan dalam acara tersebut akan diajukan untuk kemungkinan dimasukkan ke jurnal yang bereputasi atau prosiding.
Indonesia Climate Change Expo & Forum 2022 sebagai rangkaian kegiatan Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, menjadi momen penting untuk terus menumbuhkan, meningkatkan kesadaran dan kepedulian semua pihak untuk terus memperbaiki dalam berperilaku adil terhadap lingkungan dan ramah iklim.
Dalam acara tersebut, PSLH UGM memberikan media edukasi secara virtual, yang dapat diakses secara online oleh Pengunjung Booth. Langkahnya dengan terlebih dahulu melakukan scan pada barcode yang terdapat dalam poster yang menghiasi booth PSLH UGM.
Secara online kemudian pengunjung booth terhubung dengan akses informasi yang terdapat di halaman Media edukasi, yang terdiri atas media tentang Pengelolaan Sampah Perkotaan Hulu-Hilir dan KEDAIREKA (Pengembangan Sistem Pengelolaan Mutu Air Real Time dalam Pengambilan Keputusan Persetujuan Lingkungan) serta Pelatihan Lingkungan Hidu yang diselenggarakan oleh PSLH UGM. Selengkapnya media pameran vitual PSLH UGM masih dapat diakses di halaman: (https://pslh.ugm.ac.id/pameran-virtual/)
Sepeda merupakan alat trasportasi yang sangat populer pada masanya, ketika pertama kali ditemukan lebih dari seabad lalu. Kejayaanya semakin memudar dan perlahan terpinggirkan seiring dominasi kendaraan bermotor yang secara teknis lebih memudahkan dan meningkatkan mobilitas atau transportasi bagi masyarakat.
Namun kehadiran kendaraan bermotor bukannya tanpa dampak negatif. Jumlah kendaraan bermotor yang tidak terkendali telah mengakibatkan kemacetan di jalan-jalan, hampir di seluruh kawasan perkotaan. Pada gilirannya emisi yang dihasilkannya semakin membahayakan kesehatan manusia, merusak tampilan bangunan, menimbulkan kebisingan serta menyebabkan pemanasan global. Diketahui sektor transportasi di jalan, menyumbang 10% dari emisi gas rumah kaca global disertai peningkatan emisi yang lebih cepat daripada sektor lainnya.
Sepeda sebagai alat tranportasi saat ini telah diakui kembali oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai salah satu moda transportasi berkelanjutan. PBB menetapkan, setiap tanggal 3 Juni PBB sebagai peringatan Hari Sepeda Internasional (World Bicycle Day) dalam rangka mendorong kembali pengunaan sepeda sebagai alat transportasi yang berkelanjutan.
Selain itu, PBB juga mengakui sepeda adalah alat transportasi yang sederhana, terjangkau, andal, bersih, dan ramah lingkungan. Bersepeda juga menghasilkan gaya hidup yang sehat dan tidak menimbulkan polusi udara. Aktivitas fisik bersepeda mengurangi penyakit jantung dan dampak negatif lainnya dari gaya hidup menetap. Kualitas udara dan keselamatan jalan meningkat ketika transportasi bermotor individu digantikan oleh bersepeda.
Mengingat dampak positifnya, maka wajarlah apabila pada bulan maret 2022 lalu, sebanyak 193 negara anggota Majelis Umum PBB telah mengadopsi resolusi untuk mempromosikan sepeda dalam sistem transportasi, sebagai langkah pengurangan emisi untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Meskipun begitu, tak dapat dipungkiri apabila selama ini sebagai moda transportasi, sepeda cenderung terpinggirkan atau dikesampingkan dan/atau sekedar digunakan sebagai alat branding kota hijau atau yang layak huni semata.
Hal yang sama terjadi di Indonesia. Kita tidak boleh menutup mata, bahwa saat ini kendaraan bermotor adalah penguasa tunggal transportasi jalan raya di Indonesia. Padahal jalan raya seharusnya dapat mengakomodir seluruh pengguna, baik untuk sepeda; pengendara sepeda penyandang disabilitas; becak; sepatu roda; mobil; motor; truk; difabel; dan pejalan kaki.
Bahkan, perlahan tapi pasti, seluruh ruang di kawasan perkotaan menjadi korban pembangunan atau pelebaran ruas jalan yang tiada akhirnya, dalam rangka mengakomodir bertambahnya jumlah kendaraan tanpa mengenal batasnya. Lebih lanjut maka ruang wilayah seharusnya berkembang menjadi inklusif, dapat diakses, dan aman, desain ruang progresif yang perlu mengakomodasi penghuninya yang beragam, terlepas dari bagaimana mereka berkeliling: dengan bus, dengan mobil, dengan kursi roda, dengan berjalan kaki atau bersepeda.
Meskipun telah diakui dalam sistem transportasi, namun ruang gerak sepeda di Indonesia semakin terhimpit. Pemerintah seharusnya segera merealisasikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 tentang Lalu Lintas. Dimana pembangunan setiap jalan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan, salah satunya berupa fasilitas untuk sepeda.[1]
Lajur sepeda diakui sebagai salah satu fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan.[2] Kenyataannya, pembangunan infrastruktur sepeda masih belum mendapatkan prioritas, apalagi termasuk dalam Proyek Strategis Nasional. Dimana pembangunan lajur sepeda di indonesia masih sekedar pemolesan cat yang tipis di jalan raya, yang sesungguhnya lebih mirip dengan rambu-rambu daripada fasilitas lajur sepeda yang ideal. Sebab jauh dari perlindungan keselamatan yang layak bagi para pengguna sepeda.
Padahal potensi investasi hijau dalam infrastruktur sepeda cukup besar. Menurut Lembaga Lingkungan PBB UNEP (United Nations Environment Programme), berinvestasi pada pejalan kaki dan pengendara sepeda, yang seringkali merupakan mayoritas warga kota, dapat menyelamatkan nyawa, membantu melindungi lingkungan dan mendukung pengurangan kemiskinan. Memenuhi kebutuhan orang yang berjalan kaki dan bersepeda terus menjadi bagian penting, namun masih diabaikan dari solusi transportasi untuk membantu kota memisahkan pertumbuhan populasi dari peningkatan emisi, dan meningkatkan kualitas udara dan keselamatan jalan.[3]
Peringatan World Environmental Day
Setiap tanggal 5 Juni kita peringati sebagai Hari Lingkungan Hidup sedunia. Pada tahun 2022 ini, tepat 50 tahun berlalunya peringatan hari lingkungan hidup sedunia yang lahir dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Manusia yang pertama, yang diadakan di Stockholm pada tahun 1972. Karenanya tema peringatan tahun ini sama dengan slogan untuk Konferensi Stockholm yang diselenggarakan pada tahun 1972 silam, yaitu: Only One Earth (Hanya Satu Bumi).
Slogan tersebut dirasakan tidak terbantahkan sampai sekarang, dimana planet ini adalah satu-satunya rumah kita. Karena itulah pada peringatan hari sedunia tahun ini, PBB menyerukan untuk bersama-sama menjaga bumi yang menjadi rumah kita satu-satunya.
Menurut PBB waktu hampir habis, dan kondisi lingkungan hidup dalam mode darurat. Untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5°C abad ini, kita harus mengurangi separuh emisi gas rumah kaca tahunan pada tahun 2030.
Salah satu caranya tentu saja dengan bersepeda, yang diakui dapat menekan emisi karbon. Bersepeda dapat meningkatkan efisiensi energi yang dihasilkan oleh sistem transportasi karena menggunakan tenaga manusia yang terbarukan.
Menurut PBB sepeda adalah simbol untuk dekarbonisasi transportasi dan masyarakat. Dimana pemerintah di semua tingkatan dapat mengambil tindakan iklim sesegera mungkin, melalui integrasi sepeda ke dalam kebijakan, strategi, pendidikan, dan peningkatan kesadaran aksi iklim mereka.
Patut diingat, bahwa Indonesia telah berambisi mencapai Net Zero Emmisions dan berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkannya sebesar 29% atau atas dukungan internasional ditargetkan mencapai 41% pada tahun 2030.[4] Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah tentang bersepeda sudah seharusnya tidak sebatas “promosi” semata. Lebih jauh mampu mewujudkan kesetaraan akses antara sepeda dan kendaraan lainnya dalam sistem transportasi di Indonesia. Mengubah bersepeda dari sebelumnya cenderung dianggap sebagai “alternatif” untuk menjadi bagian dalam sistem transportasi nasional yang utama.
Kita membutuhkan lebih banyak pengguna sepeda dalam transportasi untuk menekan emisi yang dihasilkan dari kendaraan bermotor. Pengguna sepeda seharusnya dan sudah sepantasnya didahulukan, apabila kita ingin mendorong penggunaan sepeda di negara kita menjadi lebih optimal. Namun, tanpa adanya infrastruktur penunjang yang memadai, maka komitmen pemerintah untuk mendorong penggunaan sepeda sebagai alat transportasi sesungguhnya hanyalah sebatas khayalan belaka.
Sedangkan bagi masyarakat sebagai
pendukung dan penggalang kesadaran lingkungan sangat penting untuk turut berperan serta. Semakin kita mengangkat suara kita, menekankan tindakan apa yang perlu dilakukan dan menunjukkan siapa yang bertanggung jawab, semakin cepat perubahan akan datang.
=&0=&