Tim Peneliti UGM melakukan pemetaan geologi untuk mengantisipasi bencana longsor sekaligus meninjau kondisi alat deteksi longsor yang di pasang di daerah rawan longsor di daerah Tawang Mangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Alat deteksi longsor hasil karya dua dosen fakultas Teknik UGM, Prof.Dr. Dwikorita Karnawati dan Faisal Fathani, M.T., PhD, yang dipasang di beberapa titik lokasi sejak 2008 ternyata masih berfungsi dengan baik.
Menurut Faisal Fathani, cara kerja alat tersebut mendeteksi jarak keretakan tanah untuk menentukan potensi terjadinya longsor. Apabila dalam kondisi bahaya maka alat tersebut akan mengirim sinyal sehingga sirine akan berbunyi sebagai bentuk peringatan dini. Ketika sirine berbunyi, masyarakat biasanya harus waspada dan melakukan evakuasi. Suara sirine terdengar hingga radius 500 meter. “Karenanya untuk pengoperasian alat dan perawatannya kita selalu libatkan masyarakat,” kata Faisal ditemui di sela-sela kunjungannya ke dusun ledoksari, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, Minggu (22/4).
Hingga saat ini sudah ada 30 alat deteksi longsor yang dipasang di beberapa lokasi di beberapa daerah rawan longsor di pulau jawa dan luar Jawa, beberapa diantaranya di Kebumen, Karanganyar, Banjarnegara, Situbondo, Kulonprogo dan daerah pertambangan di Kalimantan.
Dwikorita menuturkan, penyempurnaan alat deteksi longsor tersebut masih terus dilakukan. Bahkan penyempurnaan alat ini sudah memasuki generasi ketiga dan sudah mendapatkan hak paten dan penghargaan internasional. Diceritakan Dwikorita, alat deteksi longsor generasi pertama telah ditiru dan dipasarkan oleh pabrikan China. “Hal itu terjadi ketika beberapa peneliti asal China kita ajak meninjau lokasi keberadaan alat tersebut di Kebumen,” kata Guru Besar Jurusan Geologi ini.
Lebih jauh dia menjelaskan, pembuatan alat sudah menggunakan 95 persen komponen lokal. Harga tiga jenis alat deteksi longsor ini bervariasi, menyesuaikan dengan tingkat kecanggihan alat tersebut. “Harganya berkisar Rp 5 juta hingga Rp 20-an juta,” katanya.
Wagimin (37), ketua RT 04 Dusun Ledok Sari, mengakui ada empat alat yang dipasang di dusun ledoksari. Alat tersebut dipasang setelah terjadi longsor yang merenggut 35 korban pada akhir 2007 lalu. Pemasangan alat dilakukan bersama mahasiswa KKN PPM. Namun untuk pengadaan dan pemasangan alat, masyarakat tidak dikenakan biaya. “Selama dua bulan masyarakat diajak ikut pelatihan. Alat ini kita fungsikan saat musim hujan saja,” katanya.
Saat ini terdapat 170 kepala keluarga yang menempati dusun ledoksari. Ancaman lonsor pun terus mengintai. Permintaan pemerintah untuk dilakukan relokasi tidak dihiraukan warga yang kebanyakan petani sayuran dan pedagang.
Pakar Geologi UGM, Ir. Sugeng Wijono, M.S, mengatakan wilayah dusun ledoksari tidak lepas dari ancaman lonsor. Karena secara geografis daerah ini dikelilingi perbukitan dengan kemiringan lereng yang relatif curam dan tersusun oleh breksi andesit lapuk dan terpotong oleh bidang kekar. Disertai minimnya vegetasi sebagai penahan air dan gerakan tanah pada saat musim hujan tiba. “Solusinya tingkat kemiringan lereng harus diturunkan dengan membuat terassering dan memperbanyak vegetasi dengan menanam banyak pohon pinus,” ujarnya.
Sumber: Humas UGM