Pada hari Jumat, 11 Maret 2011, terjadi gempa dengan skala 8,9 pada skala Richter di Jepang. Gempa telah memicu kegagalan sistem pendinginan pada PLTN Fukushima Daichi di negara tersebut. Selanjutnya, terjadilah ledakan hingga penyebaran material radioaktif ke lingkungan sekitar. Dengan terjadinya peristiwa tersebut diakui menjadi pukulan bagi industri nuklir dunia. Jerman dilaporkan menghentikan sementara operasi PLTN-nya untuk dilakukan evaluasi sistem keselamatan setelah menuai protes.
Pakar nuklir dari Jurusan Teknik Fisika UGM, Dr. Ir. Andang Widi Harto, M.T., menuturkan pada prinsipnya sistem keselamatan pada PLTN-PLTN itu sekalipun bervariasi dalam konfigurasi, tetap memiliki kemiripan, yakni masih tergantung pada sistem suplai daya cadangan setelah shutdown (masih tergantung pada mesin diesel darurat). “Dengan demikian, kegagalan mesin diesel akan menimbulkan konsekuensi yang mirip dengan PLTN Fukushima Daichi,” ujar Andang kepada wartawan di Ruang Stana Parahita, Selasa (22/3). Dalam kesempatan tersebut, Andang didampingi oleh tim dari Jurusan Teknik Fisika UGM lainnya, yakni Dr.Ing. Sihana, Dr.Ing. Kusnanto, Ir. Anung Muharini, M.T., Ir. Haryono Budi Santosa, dan Ir. Susetyo Hario Putero, M.Eng.
Andang menambahkan PLTN Fukushima merupakan PLTN generasi 2 yang awal (BWR 4), yang dibangun pada tahun 1970. Jenis BWR generasi 2 yang lebih banyak dioperasikan adalah jenis yang lebih baru (BWR). Jenis-jenis yang lebih baru, sekalipun masih termasuk generasi 2, telah mengalami perbaikan dibandingkan dengan jenis sebelumnya, di antaranya ialah ukuran pengukung (containment) yang lebih besar. “Di AS, misalnya, yang juga banyak mengoperasikan PLTN generasi 2, telah diterapkan prosedur safeguard tambahan yang memungkinkan operator mendinginkan teras dalam kondisi tanpa back up daya,” terangnya.
Pada kasus Fukushima, ledakan yang terjadi merupakan reaksi kimia antara hidrogen dan oksigen, bukan ledakan nuklir. Hal ini ditandai dengan rendahnya tingkat radiasi yang dilepaskan, sangat berbeda dengan ledakan bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Ledakan kimia hidrogen ini tidak sekuat ledakan uap pada reaktor Chernobyl. “Nah, pada reaktor Fukushima hanya melemparkan atap dan dinding gedung, sementara kerangka baja gedung masih utuh,” kata Andang.
Dalam pandangannya, kasus Fukushima terjadi di antara lay out mesin diesel yang ditempatkan secara integral. Seharusnya, enam unit PLTN yang tersedia memiliki mesin diesel masing-masing. Di samping itu, lokasi PLTN yang dibangun sebaiknya berada pada lokasi yang relatif lebih tinggi. “Soal penempatan lay out mesin diesel ini perlu dilakukan agar sistem keselamatan tidak gagal ketika terjadi kerusakan atau mesin diesel gagal,” tuturnya.
Keberadaan PLTN, khususnya di Indonesia, menurut Andang masih cukup dibutuhkan. Apalagi dengan melihat kebutuhan energi yang masih belum memadai dan merata di seluruh wilayah. Saat ini, energi yang tersedia di Indonesia mencapai 30 ribu megawatt. Dengan kondisi ini, sekitar 60% daerah di Indonesia belum dapat terkoneksi dengan jaringan listrik. Padahal, di tahun 2025 diperkirakan kebutuhan energi kita mencapai 100%.
Kekurangan energi yang masih cukup banyak, terutama listrik, tidak cukup dipasok dari beberapa energi alternatif, seperti panas bumi, makrohidropower, ataupun sel surya. PLTN adalah salah satu solusi untuk dapat menciptakan energi yang cukup besar hingga mencapai 1000 megawatt. Dengan demikian, PLTN sebagai pemasok energi masih sangat dibutuhkan keberadaannya di Indonesia.
Sumber: Humas UGM