Antropolog UGM, Dr. Pujo Semedi mengatakan dari studi antropologi memperlihatkan bahwa dari jaman ke jaman, manusia terus mengeksploitasi alam secara besar-besaran. Bahkan melampaui daya dukung alam. Pandangan publik tentang masyarakat adat atau lokal yang secara arif mengelola hutan atau lingkungan sekitarnya tidak sepenuhnya benar. “Mereka sebetulnya belum arif terhadap alam,” kata Pujo saat menyampaikan orasi ‘Wawasan Kebangsaan dan Kearifan Lokal’ yang diselenggarakan Sekolah Pascasarjana UGM di University Center(UC) UGM, Selasa (30/10).
Ide menggabungkan nilai kearifan lokal dengan wawasan kebangsaan dalam praktik pembangunan dan pengelolaan lingkungan merupakan gagasan yang bagus. Sayangnya, ia memandang masyarakat lokal masih belum sepenuhnya bersikap arif terhadap lingkungan. Misalnya seperti pada masyarakat suku Dayak Punan di Kalimantan Barat. Mereka hidup dari berburu dan meramu sehingga menyebabkan habisnya sumber daya fauna di sekitarnya. “Di sana tidak pernah terdengar lagi kicauan burung-burung ataupun hewan yang terlihat karena habis diburu,” terangnya.
Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM ini berpendapat, Indonesia tidak memiliki kearifan lokal yang benar-benar dianggap lokal. Sebaliknya kearifan lokal yang dimiliki berasal dari konstruksi global. “Lokal wisdom itu memang ada di setiap daerah di Indonesia, tapi jangan dipuja-puja sebagai sesuatu yang lokal. Adat istiadat Indonesia itu tidak ada yang betul-betul asli tapi berasal dari konstruksi global,” tandasnya.
Dicontohkan Pujo, masyarakat Jawa menganggap alat musik gamelan adalah seni tradisi asli dari Jawa. Namun alat musik ini juga dapat dijumpai di negara lain seperti di Thailand dan Vietnam. Demikian halnya kearifan lokal yang ada di masyarakat Papua bisa ditemukan di Afrika dan New Zeland. “ Jadi jangan diimajinasikan kearifan lokal yang ada itu benar-benar lokal,” pungkasnya.
Sumber: Humas UGM