Kepala Bidang Inventarisasi Sumberdaya Alam Laut, BAKOSURTANAL, Drs. Suprajaka, M.T berhasil meraih gelar doktor di Bidang Ilmu Geografi dalam ujian promosi doktor di Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (15/5). Dalam disertasinya berjudul “Fragmentasi Spasial pada Ekosistem Lahan Basah Berbasis Citra Multi Temporal di Surabaya dan sekitarnya”, laki-laki kelahiran Bantul 29 September 1964, ini menjelaskan terjadinya fragmentasi spasial akibat perkembangan permukiman pada ekosistem lahan basah. “Kondisi ini menjadi persoalan penting ketika fragmentasi ini terjadi pada ekosistem yang sangat rapuh dan terbatas keberadaannya, yaitu ekosistem lahan basah,” papar Suprajaka, dosen luar biasa Universitas Indonesia Esa Unggul, Jakarta.
Apabila di banyak negara yang telah meratifikasi Konvensi Ramsar 1971 berhasil mengurangi atau bahkan menghentikan laju konversi ekosistem lahan basah, kenyataan di Indonesia terjadi sebaliknya. Bahkan laju konversi lahan basah di Indonesia semakin meningkat terutama pada periode tiga dasawarsa terakhir. Hal ini tentu menjadi konsekuensi logis yang harus diterima sebab strategi pembangunan lebih berorientasi pertumbuhan dibanding pembangunan pro-ekologi. “Karenanya kajian fragmentasi pada ekosistem lahan basah penting untuk dilakukan, mengingat laju konversi lahan basah semakin tidak terkendali, dan kurangnya pemahaman multi fungsi sawah dan tambak sebagai salah satu bentuk ekosistem lahan basah yang kini sudah terancam keberadaannya,” ujar suami Dra. Madaniyah Isfandriati, ayah tiga anak ini.
Melakukan penelitian di Surabaya yang memiliki tipikal lahan basah dengan permasalahan tingginya tingkat konversi lahan, Suprajaka mengungkap bahwa lebih 30 persen lahan basah di Propinsi Jawa Timur saat ini terancam proses konversi lahan. Kondisi tersebut disertai tingginya tingkat urbanisasi dan dinamika ekosistem lahan basah di Jawa Timur terutama Delta Bengawan Brantas dan Delta Bengawan Solo. Minimal telah terjadi tiga kali perubahan, yaitu dari ekosistem basah alami menjadi sawah dan tambak, dan kini menjadi kawasan pemukiman. “Saat ini anglomerasi perkembangan kota koridor Surabaya-Malang semakin meluas, dan aspek fragmentasi spasial nampaknya belum mendapatkan tempat pada penelitian-penelitian sebelumnya,” ungkapnya.
Dengan menggunakan metoda eksploratif dan data geospasial dari berbagai sumber, baik data analog maupun digital secara multi-temporal dan multi-resolusi, ia berkesimpulan bahwa fragmentasi spasial ekosistem lahan basah di Surabaya dan sekitarnya merupakan fenomena kompleks dari hasil konversi lahan, dan terdapat hubungan interaksi dinamis antara ketersediaan ruang yang semakin terbatas dengan tuntutan permintaan ruang yang semakin meningkat. Fragmentasi terjadi ketika sebuah kawasan bentanglahan terpecah menjadi unit-unit lebih kecil dan dikelilingi oleh penggunaan lahan lainnya yang berbeda. Kondisi ini tentu mendorong munculnya gangguan akibat adanya diskontinuitas dari bentanglahan.
Karenanya penelitian khusus dilakukan untuk memahami proses fragmentasi pada sawah dan lahan basah buatan yaitu fragmentasi pada sawah dan tambak yang menempati satuan bentuklahan fluvial (F), bentuklahan fluvio-marin (FM) dan marin (M). “Hal ini menunjukkan implikasi bahwa pemanfatan ruang seharusnya memperhatikan dan menggunakan prinsip-prinsip ‘design primordial’ atau ‘geographic design’,” tandasnya.
Sumber: Humas UGM