Konflik sosial di Kota Ambon tahun 1999-2003 telah menyebabkan banyaknya pemukiman penduduk dan lahan terbangun lainnya mengalami kerusakan. Dari total kerusakan ini pada tahun 2002 seluas 261, 51 ha. Namun hingga pada tahun 2009 telah mengalami pengurangan hingga tersisa 10,72 ha atau mengalami pengurangan sekitar 250, 79 ha. Dari pengurangan lahan ini sebagian besar dialihfungsikan untuk pemukiman seluas 183,73 ha dan sebagian besar terdapat di desa Hatiwe kecil, Pandan kasturi, Waihoka, Poka dan desa rumah. Hal itu dikemukan oleh Dosen Geografi FKIP Universitas Pattimura Ambon, Mohammad Amin Lasaiba, dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Geografi UGM, Selasa (14/2).
Menurut Lasaiba, demikian ia akrab disapa, menyebutkan lahan pertanian yang dahulunya terbengkalai akibat konflik sosial telah mengalami peningkatan pemanfaatan lahan yaitu untuk perkebunan dengan luas 71,90 ha dengan tegalan seluas 26,58 ha dan sebagian besar terdapat di Hatiwe kecil, Soya dan Batu Merah. Dari penggunaan perkebunan ini sebagian besar dialihfungsikan untuk pemukiman seluas 59,34 ha, dan tegalan menjadi pemukiman seluas 19,71 ha.
Dalam pemaparannya, Lasaiba menegaskan pengurangan penggunaan lahan ini disebabkan kondisi keamanan kota Ambon yang mulai semakin kondusif sehingga berbagai kegiatan pemukiman mulai dikembangkan dan begitu juga program penanganan perumahan pengungsi yang banyak menempati areal lahan bekas kerusakan.
Lebih jauh dia menambahkan, terciptanya stabilitas sosial dan keamanan di Kota Ambon pasca konflik terjadi migrasi penduduk dari desa ke kota Ambon. Kenyataan ini menyebabkan terjadinya peningkatan penduduk yang terus meningkat pasca konflik sosial yakni rata-rata 3,43 persen pada tahun 2008 yang diatas pertumbuhan penduduk nasional 2,6 persen per tahun. Namun bila dibandingkan selama terjadi konflik 1999-2003 yang mengalami penurunan angka pertumbuhan penduduk yang hanya 1,91 persen. “Hal ini disebabkan para pengungsi telah kembali dari berbagai tempat pengungsian baik di dalam maupun di luar kota Ambon,” kata pria kelahiran ambon 16 mei 1967.
Kendati demikian, imbuhnya, peningkatan penduduk tersebut cenderung mengumpul pada daerah tertentu dengan kepadatan yang cukup tinggi serta menyebabkan ketidakmerataan penduduk. Padahal sebelum konflik terjadi, masyarakat tinggal secara bersama namun setelah konflik masyarakat harus terpisah berdasarkan agamanya. “Tidak jarang lahan bekas pemukiman terpaksa dijual karena belum adanya jaminan keamanan dan kemudian membangun pemukiman baru yang disediakan pengembang di komunitas agamanya masing-masing,” katanya.
Dalam Disertasinya yang berjudul ‘Perubahan Pengggunaan Lahan di Kota Ambon Tahun 2002-2009’, dia menerangkan perubahan penggunaan lahan di Kota Ambon selama kurun waktu 2002-2009 seluas 919,675 ha atau 2,84 persen. Secara umum perubahaan penggunaan lahan telah menyebabkan peningkatan pemukiman dan kegiatan pertanian. Sebagian besar menyebabkan pengurangan kebun campuran dan kawasan yang mengalami kerusakan akibat konflik sosial. Pengurangan ini juga terjadi pada lahan hutan, semak belukar dan lahan kosong.
Sumber: Humas UGM