Ramainya demonstrasi penolakan atas Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang terjadi di seluruh tanah air, kembali mengingatkan kita atas polemik dalam proses Pengesahan Revisi RUU Konservasi oleh DPR, pada awal bulan juli 2024 lalu.
Dimana pada tanggal 9 Juli Tahun 2024, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) dalam Rapat Paripurna DPR. Kemudian tanggal 7 Agustus Sekertariat Negara kemudian mengumumkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU “Perubahan” Konservasi).
Namun, dalam proses pengesahan oleh DPR tersebut, beberapa pihak menilai organisasi masyarakat sipil tidak dilibatkan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) misalnya, yang menilai proses revisi dan perubahan RUU tersebut kurang melibatkan partisipasi publik. Walhi menilai lembaga swadaya masyarakat (LSM) ataupun organisasi masyarakat sipis dalam konteks yang lebih luas, yang bergerak di bidang lingkungan hidup, tidak dilibatkan secara aktif dalam pembentukan RUU KSDAHE.
Walhi juga mengungkapkan, bahwa Publik kesulitan untuk mengakses dokumen dalam setiap tahap pembentukan RUU. Dalam policy brief yang dirilis oleh Walhi juga menyebutkan, RUU yang telah disiapkan sejak tahun 2016 ini, justru hanya akan menjadi RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut dengan RUU Perubahan UU KSDAHE). RUU Perubahan atas UU No. 5/1990 tersebut juga dianggap tidak menjawab inti persoalan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, karena tidak mengubah paradigma konservasi yang dianut selama ini.
Selain itu, ada juga pendapat yang menyatakan adanya Ancaman ”Green Grabbing” Ruang Hidup Masyarakat Adat yang belum diantisipasi dalam penerbitan UU (Perubahan) Konservasi. Dimana UU (Perubahan) Konservasi yang baru disahkan belum menempatkan masyarakat adat sebagai subyek. Akibatnya, pengetahuan tentang konservasi berbasis adat belum mendapatkan pengakuan dan prioritas. Meski kini telah ada pengakuan negara berupa skema hutan adat, pengakuan itu belum tiba ke pengakuan pengetahuan, identitas, wilayah dan eksistensi adat. Artinya, bentuk konservasi dan pengelolaan sumber daya hutan yang diakui masih dominan konservasi versi negara.
Di lain pihak, Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar menjelaskan, substansi dalam RUU Konservasi antara lain, yaitu pengaturan kegiatan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K), yang diharapkan dapat memperkuat penyelenggaraan KSDAHE di kawasan tersebut. Ekosistem penting di luar kawasan konservasi atau hutan negara diformulakan dalam format baru dalam RUU dengan tujuan menjamin penerapan prinsip konservasi di luar area Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan WP3K. Melalui pengaturan area tersebut, maka diharapkan ekosistem penting, termasuk keberadaan tumbuhan dan satwa liar di luar KSA, KPA dan WP3K mendapat kepastian hukum dalam pengelolaannya.
Selain itu, RUU KSDAHE memperkuat aturan tentang larangan, sanksi dan pidana dengan rumusan untuk menjaga KSA dan KPA dengan norma larangan tindak pidana bidang tumbuhan dan satwa liar. Mempertegas dan memperberat sanksi pidana dan sanksi korporasi dan pidana tambahan berupa ganti rugi, pemulihan ekosistem, rehabilitasi, translokasi dan pelepasliaran satwa.
Peran dan pelibatan masyarakat dalam konservasi juga diperkuat. Termasuk memperkuat peran dan posisi masyarakat hukum adat (MHA) dalam penyelenggaraan KSDAHE yang kuat dengan instrumen kebijakan yang implementasinya berkaitan dengan berbagai relevansi sosial. RUU KSDAHE mengakomodir istilah sumber daya genetik dalam aspek pengawetan, pemanfaatan, penambahan sumber dan lainnya. Lebih lanjut RUU KSDAHE memandatkan penyusunan 17 Peraturan pemerintah dan rancangan peraturannya disiapkan pemerintah.
Meskipun terjadi pro dan kontra, namun Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU “Perubahan” Konservasi) tetap diterbitkan oleh Pemerintah. Setelah 7 tahun lamanya, sejak masuknya Revisi UU KSDAHE dalam Program Legislasi Nasional (Proglenas) di tahun 2017, UU Perubahan Konseervasi yang baru diterbitkan akan menjadi pelengkap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE).
UU (Perubahan) Konservasi mengandung 24 butir ketentuan, yang berisi ketentuan yang merubah dan menambahkan beberapa ketentuan dalam UU Nomor 5 Tahun 1990. Selain itu, UU (Perubahan) Konservasi juga mencabut ketentuan Pasal 33 dan Pasal 69 huruf c UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.
Selengkapnya baca:
UU Nomor 32 Tahun 2024 Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya