Deklarasi St Petersburg
Hari Harimau Sedunia (Global tiger Day) yang diperingati setiap tanggal 29 Juli, sudah diperkenalkan sejak tahun 2010. Saat itu, 13 perwakilan pemerintah negara pemilik habitat harimau yang tersisa di alam liar, dalam kerangka the Global Tiger Forum mengadakan pertemuan International Tiger Summit yang berlangsung di Saint Petersburg Tiger Summit, Rusia, pada tanggal 21 – 24 November 2010.
Negara-negara tersebut adalah Bangladesh, Bhutan, Kamboja, Cina, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Rusia, Thailand, dan Vietnam menjadi penjaga harimau yang tersisa di alam liar.
Pertemuan tersebut dilatarbelakangi sebuah fakta, bahwa 97 persen harimau telah musnah dalam periode satu abad terakhir. Dimana populasi harimau di alam liar diperkirakan telah menurun dari 100.000 menjadi kurang dari 3.500 harimau.
Pertemuan the Global Tiger Forum pada tahun 2010 kemudian menghasilkan Deklarasi St. Petersburg, yang berisi kesepakatan oleh 13 negara pemilik Harimau, untuk berkomitmen menggandakan jumlah harimau pada tahun macan berikutnya, yaitu tahun 2022.
Selain itu, dalam rangka membangun kesadaran masyarakat internasional terhadap upaya konservasi harimau, Deklarasi tersebut juga menetapkan peringatan hari harimau sedunia (Global Tiger Day).
Deklarasi tersebut juga menyetujui untuk mengadakan pertemuan tingkat tinggi secara teratur untuk meninjau kemajuan National Tiger Recovery Programs (NTRPs) dan Global Tiger Recovery Program (GTRP)dan untuk membantu memastikan komitmen politik tingkat tinggi yang berkelanjutan untuk pemulihan harimau.
Konservasi Harimau
Harimau (Panthera tigris), terdaftar sebagai ‘Terancam Punah’ dalam Daftar Merah Spesies Terancam IUCN. Harimau adalah spesies terbesar dari semua jenis kucing. Harimau sebagai satwa ikonik Asia, yang sebarannya mencakup seluruh Asia tengah, timur dan selatan. Namun, dalam 100 tahun terakhir, harimau telah kehilangan lebih dari 93% dari rentang sejarahnya dan sekarang hanya bertahan dalam populasi yang tersebar di 13 negara, dari India hingga Asia Tenggara, serta Sumatra, Cina, dan Timur Jauh Rusia. Harimau saat ini hanya menghuni 7% dari habitat aslinya. Padahal berdasarkan analisis baru-baru ini, harimau dapat menghuni habitat dua kali lebih banyak daripada habitatnya saat ini. Dengan komitmen baru untuk memulihkan ekosistem alami, diharapkan semakin banyak habitat alami bagi harimau di masa depan.
Menyelamatkan harimau berarti melindungi lebih dari 300.000 km² hutan utuh, meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim, dan mempertahankan ekosistem alami yang menyediakan air dan jasa lingkungan lainnya bagi masyarakat. Melestarikan kembali habitat yang ada dengan harimau berarti melindungi 1,6 juta km² hutan utuh.
Peranan Harimau dalam ekosistem juga ditegaskan kembali dalam Deklarasi St. Petersburg, yang mengakui harimau sebagai salah satu indikator penting dari ekosistem yang sehat. Sehingga kegagalan untuk membalikkan tren menurunnya populasi Harimau tidak hanya akan mengakibatkan hilangnya harimau semata. Tetapi, hilangnya keanekaragaman hayati di seluruh wilayah, bersama dengan manfaat nyata dan tidak berwujud yang diberikan oleh pemangsa yang luar biasa ini dan ekosistem yang mereka huni.
Sayangnya secara keseluruhan, target Deklarasi St. Petersburg untuk menggandakan jumlah populasi Harimau tidak tercapai. Namun, diketahui sejak tahun 2020, bahwa populasi Harimau liar telah meningkat di lima negara, yaitu Bhutan, Cina, India, Nepal, dan Rusia.
Beberapa negara telah berhasil mencapai target Deklarasi. Nepal misalnya, telah berhasil melipat gandakan populasi Harimau yang ada di wilayahnya. Negara lainnya yang juga sukses dalam menggandakan populasi harimau adalah India. Selaku negara pemilik 70% populasi harimau dunia, pada tahun 2006 India diperkirakan memiliki sekitar 1.400 harimau, kemudian pada tahun 2018 menjadi 2.967 harimau. Prestasi India tergolong sangat luar biasa, karena tercapai dalam waktu 4 tahun lebih cepat dari yang ditargetkan dalam Deklarasi, tahun 2022.
Pada awal tahun 2022, kawasan konservasi Bardia National Park di Nepal serta Sathyamangalam Tiger Reserve di India juga turut meraih penghargaan Tiger Conservation Excellence pada awal tahun 2022. Penghargaan yang diberikan oleh Conservation Assured Tiger Standards (CA|TS), Fauna and Flora International (FFI), Global Tiger Forum (GTF), IUCN’s Integrated Tiger Habitat Conservation Programme (ITHCP), Panthera, UNDP, The Lion’s Share, Wildlife Conservation Society (WCS) and World Wildlife Foundation (WWF) adalah insentif bagi upaya pencapaian target untuk meningkatkan populasi harimau di alam liar.
Pada tanggal 5 September 2022 telah direncanakan berlangsung KTT Harimau Global ke-2 di Vladivostock, Rusia. Sekian angan dan harapan telah dilekatkan pada the Global Tiger Forum, agar dapat menetapkan target baru dan memastikan pencapaian target yang lebih baik daripada yang telah dicapai dalam deklarasi St. Petersburg.
Konservasi harimau akan menjadi bagian yang tak tepisahkan dari, target global untuk menigkatkan keanekaragaman hayati di dalam Kerangka Kerja PBB untuk Keanekaragaman Hayati Global Pasca 2020. Dimana pada akhir tahun nanti seluruh pemerintah dunia telah bersiap untuk membuat komitmen ambisius untuk menghentikan dan membalikkan hilangnya alam pada tahun 2030.
Konservasi Harimau di Indonesia
Selain Harimau Sumatera, Indonesia dulunya adalah rumah bagi harimau Bali dan Jawa, tetapi mereka punah. Sebuah studi tahun 2010 oleh Smithsonian memperkirakan populasi Harimau Sumatera tidak lebih dari 400 ekor. Mengutip dari dokumen Supplementary International Union for Conservation of Nature (IUCN), maka perkiraan populasi Harimau Sumatera pada tahun 2010 adalah 568 individu dewasa. Lebih lanjut berdasarkan dokumen IUCN, maka tren harimau sumatera mengalami penurunan populasi (declining), dimana perkiraan harimau yang tersisa adalah 393 ekor. Berdasarkan pemberitaan Koran Kompas tanggal 2 Agustus 2022, perkiraan terbaru populasi harimau sumatera sebanyak 371 ekor.
Setelah lebih dari dua dekade diklasifikasikan sebagai Sangat Terancam Punah oleh IUCN, populasi Harimau Sumatera terus menurun, didorong oleh perburuan liar dan pembunuhan balas dendam karena konflik dengan masyarakat setempat. Sementara itu, hilangnya hutan secara cepat telah membuat habitat harimau terfragmentasi. Pertanian, pendorong utama deforestasi, telah berkontribusi terhadap perkiraan hilangnya 27% hutan tropis di seluruh pulau antara tahun 2000 dan 2016 (Global Forest Watch 2021), dan dengan permintaan produk seperti minyak kelapa sawit, kopi, dan kayu yang hanya meningkat, tren ini akan terus berlanjut. Sementara 10 taman nasional melindungi sebagian besar populasi Harimau Sumatera, sebagian besar lahan di dalam kawasan lindung ini merupakan habitat dataran tinggi yang kurang optimal; dengan demikian, hingga 70% dari sisa habitat Harimau Sumatera berkualitas tinggi berada di luar jaringan kawasan lindung. Dengan demikian, sebagian besar Harimau Sumatera hidup di habitat marginal yang terisolasi dan tidak terlindungi, yang mengarah pada perburuan liar dan tingginya tingkat konflik manusia-Harimau yang sering mengakibatkan kematian Harimau atau pemindahannya dari alam liar.
Konflik antara Harimau dan manusia, serta perburuan dan perdagangan ilegal, tetap menjadi ancaman utama bagi Harimau Sumatera. Sebuah studi komprehensif mengungkapkan bahwa antara tahun 2001 dan 2016, 130 harimau dibunuh karena konflik dengan penduduk lokal (lebih dari 8 harimau per tahun; Kartika, 2016). Studi lain tentang perdagangan Harimau internasional antara tahun 2000 dan 2018 menempatkan Indonesia sebagai pemasok bagian tubuh Harimau terbesar ketiga di dunia setelah India dan Thailand dengan perkiraan 266 Harimau dari Sumatera memasuki jaringan perdagangan selama periode tersebut. Pada saat yang sama, penyitaan harimau antara tahun 2012 dan 2016 di Indonesia meningkat tujuh kali lipat. Walaupun hal ini mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara yang paling aktif dalam penyitaan Harimau, hal ini juga menunjukkan bahwa perburuan Harimau masih merajalela, dan dengan demikian, masih menjadi ancaman utama bagi keberadaan Harimau Sumatera (Wong dan Krishnasamy 2019). Informasi ini mungkin menunjukkan bahwa penguatan upaya konservasi Harimau oleh Pemerintah Indonesia dan mitra konservasinya selama dekade terakhir belum cukup untuk mengurangi dampak perburuan, hilangnya habitat, dan konflik manusia-Harimau.
Baca juga: Mengenang Tragedi Satwa (Lindung) Indonesia (Bag 1 dan Bag 2)
Baru-baru ini, ancaman baru yang tidak diantisipasi telah muncul dalam rencana aksi konservasi Harimau Sumatera sebelumnya. Misalnya, jumlah babi hutan, mangsa utama Harimau Sumatera, menurun karena wabah African Swine Fever (ASF) di Sumatera. Pertama kali dilaporkan di Asia di Cina pada tahun 2018, penyakit ini menyebar dengan cepat, dengan laporan kematian banyak babi hutan dari semua provinsi di pulau Sumatera (Exploitasia 2021). Sebuah survei literatur menunjukkan penurunan substansial dalam indeks kelimpahan babi hutan di beberapa lanskap Harimau Sumatera. Baru-baru ini, sebuah penelitian melaporkan terjadinya Canine Distemper Virus (CDV) pada Harimau Sumatera liar (Mulia et al. 2021). Studi dari Rusia (Gilbert et al. 2020) menunjukkan bahwa CDV kurang mengancam populasi besar Harimau, alasan lain untuk berusaha mempertahankan lanskap besar yang saling berhubungan untuk Harimau.
Melihat tren populasi harimau disertai maraknya pemberitaan kematian Harimau akibat konflik di media massa, maka wajarlah apabila kita bersikap pesimis atas upaya konservasi harimau. Apalagi sampai saat ini pemerintah belum merevisi Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007 – 2017. Pemerintah terlihat lambat. Sebelumnya Pemerintah telah mencoba menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2018-2028. Lalu karena tidak terwujud, Pemerintah kemudian mencoba menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2019-2029. Ironisnya, setelah lima tahun berlalu (2017-2022), penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Harimau masih belum terealisasi sampai sekarang. Nasibnya tak jauh berbeda dengan mandeknya pembahasan Rancangan Undang-Undang Konservasi yang sampai saat ini belum juga terselesaikan.
Seandainya jika kita bersepakat untuk menggunakan kerangka kebijakan konservasi harimau dan angka harimau sebagai indikator kinerja konservasi, maka dengan lapang dada kita haruslah menerima simbolisasi “jempol terbalik”, dimana bangsa Indonesia telah mengalami kegagalan dalam upaya konservasi Harimau.
Jalan masih panjang. Namun adalah kewajiban generasi sekarang, untuk memastikan diwariskannya satwa ikonik yang masih tersisa kepada generasi yang akan datang. Tanpa adanya tindakan yang signifikan, bukan tidak mungkin Harimau Sumatera akan bernasib seperti Harimau jawa dan Harimau Bali.