Kabar duka disampaikan oleh Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, yang mengungkapkan salju abadi satu satunya yang dimiliki Indonesia yaitu Gletser yang terdapat di Pucak Gunung Jayawijaya diprediksi akan menghilang pada tahun 2025.
Menurut keterangan tertulisnya, Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Periode 2014-2017 tersebut menyampaikan, apabila situasi saat ini terus dibiarkan maka kenaikan suhu di seluruh pulau utama di Indonesia dapat mencapai 4 derajat Celcius pada tahun 2100, empat kali dibandingkan zaman pra industri. Akibat kenaikan suhu ini pula, tambahnya, puncak Jaya Wijaya di Papua yang pada tahun 2020 memiliki ketebalan es sebesar 31,49 meter, di tahun 2025 mendatang diperkirakan es tersebut akan hilang sepenuhnya.[i]
Gambar: Puncak Gunung Jayawijaya. Berdasarkan gambar terlihat terdapat beberapa elemen salju yang berada di Puncak Nggapulu (Soekarno), Puncak Soemantri, dan Puncak Carstensz Timur. Adapun puncak tertingginya, Carstensz Pyramid (Puncak Jaya) terlihat sudah tidak tertutup gletser. Tampak juga lubang tambang terbesar dan tertinggi di dunia (4285 Mdpl) milik Freeport, yang ketinggiannya setara dengan basecamp cartenzs. Dok. PSLH UGM (Google Earth, 14 April 2022)
Dwikorita mengingatkan pemerintah untuk segera melakukan langkah mitigasi secara komprehensif dan terukur, guna menekan laju perubahan iklim. Dwikorita mengatakan, peningkatan suhu tersebut akan memicu terjadinya cuaca ekstrem dan anomali iklim yang semakin sering. Intensitasnya pun semakin kuat dengan durasi panjang.Kondisi tersebut, kata Dwikorita, tentu akan mengakibatkan kerugian bagi Indonesia. Tidak hanya bersifat materiil seperti infrastruktur, namun juga korban jiwa.
Bencana hidrometeorologi di Indonesia semakin meningkat dan menjadi bencana dengan prosentase terbesar, yaitu 95 persen. Selama tahun 2021, bencana mencapai 5.402 kasus yang notabene merupakan sebagai dampak perubahan iklim global. Secara global, berdasarkan Laporan WMO tentang statistik bencana selama 50 tahun terakhir menunjukkan, bahwa lebih dari 11.000 bencana terkait dengan cuaca, iklim, dan bahaya terkait air antara tahun 1970 dan 2019, hampir sama dengan satu bencana per hari. Ada 2 juta kematian – atau 115 per hari. Jumlah bencana telah meningkat lima kali lipat dalam 50 tahun terakhir, dan biaya ekonomi melonjak. Hal itu diperkirakan akan terus berlanjut.[ii]
Dwikorita menegaskan, pemerintah bersama semua elemen masyarakat harus bekerjasama dan gotong royong dalam melakukan aksi mitigasi. Hal itu mulai dari penghematan listrik, air, pengelolaan sampah, pengurangan energi fosil dan menggantinya dengan kendaraan listrik, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menanam pohon, restorasi mangrove, dan lain sebagainya.
Sebelumnya di akhir bulan maret, dalam rangkaian peringatan Hari Meteorologi Dunia (HMD), Presiden Joko Widodo juga telah menyampaikan sejumlah pesan, yaitu:[iii] Pertama, perhatikan dengan serius informasi cuaca dan perubahan iklim yang diberikan BMKG dan instansi terkait lainnya. Kemudian formulasikan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan cepat serta siapkan penanganan yang lebih baik untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim. Kedua, Jokowi meminta jajarannya mengembangkan sistem peringatan dini yang handal dengan menyediakan data dan informasi meteorologi, klimatologi dan geofisika secara cepat dan akurat yang dibutuhkan. Dan, ketiga, Jokowi menekankan untuk melakukan sistem edukasi kebencanaan yang berkelanjutan. Jokowi menginginkan jajarannya melakukan edukasi, literasi dan advokasi berkelanjutan. Manfaatkan AI, BIG DATA, teknologi high performance computing dan lakukan dengan inovasi, teknologi rekayasa sosial dan cara kreatif untuk membangun kesadaran, ketangguhan, partisipasi masyarakat. Kapasitas dan ketangguhan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus terus ditingkatkan agar masyarakat mampu merespons dengan cepat potensi risiko bencana. Terakhir, Presiden meminta perkuat kolaborasi lintas K/L, swasta, dan berbagai elemen bangsa lainnya dalam adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim.
Menanti “Monumen” Bentang Lahan Glasial di Puncak Jayawijaya
Secara Administratif, lokasi Pegunungan Jayawijaya terletak di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua. Pegunungan Jayawijaya tersebut juga menjadi sumber tambang emas dan tembaga, yang terbesar dan tertinggi di dunia (4285 Mdpl) oleh Freeport. Puncak cartenzs atau Puncak jaya adalah puncak gunung idaman para pendaki gunung. Karena selain menjadi puncak tertinggi di nusantara, juga merupakan salah satu Seven Summits, yaitu istilah untuk 7 Puncak Gunung tertinggi yang terdapat di setiap benua atau wilayah.
Gambar: Seven Summits[iv]
Keberadaan gletser di negara tropis, yang terletak di sekitar garis khatulistiwa adalah kekayaan geografi yang luar biasa. Berdasarkan siaran pers Universitas Negeri Penn. Endapan glasial yang terbentuk di daerah tropis selama episode Bumi bola salju (snowball Earth episodes) sekitar 600 juta tahun yang lalu, menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana gletser yang meninggalkan endapan itu terbentuk. Sekarang, ahli geosains Penn State percaya bahwa gletser ini hanya bisa terbentuk setelah lautan Bumi sepenuhnya tertutup oleh es laut yang tebal.[v]
Gletser tropis di negara khatulistiwa lainnya, seperti di sekitar pegunungan Andes (Ekuador dan Kolombia) serta Pegunungan Kilimanjaro (Tanzania, Uganda, dan Kenya) serta Dataran Tinggi Tibet dan Himalaya di Asia Tengah dan Selatan menunjukan kecenderungan yang sama. Dimana, semua es yang berada di daerah tropis mengalami tekanan yang sama, semakin berkurang dan terancam menghilang.[vi] Kehilangan Gletser seperti yang terjadi di Puncak Cartenzs adalah bukti nyata dari dampak perubahan iklim. Gletser di daerah tropis merespon perubahan iklim lebih cepat daripada daerah lainnya. Lantaran secara geografis berada di daerah terhangat di dunia, dimana hanya dapat bertahan hidup di ketinggian tertinggi yang sangat dingin dari iklim sekitarnya.
Menurut petualang dan konservasionis Australia Tim Jarvis yang melakukan ekspedisi Gletser di Puncak Tropis Dunia, ada banyak salju dan es di wilayah kutub untuk memahami skala perubahan iklim, dimana es mencair sangat cepat disana. Namun di khatulistiwa, kita dapat melihat perubahannya dengan kontras. Ada catatan sejarah yang sangat bagus sehingga kita bisa melakukannya sebelum dan sesudah kontras terjadi, dimana salju abadi di negara tropis akan menjadi hilang sepenuhnya. Menurut Jarvis, peristiwa hilangnya salju abadi di kawasan tropis sangat ideal, sebagai alat untuk menyampaikan pesan tentang dampak perubahan iklim kepada seluruh masyarakat.”[vii]
Gambar: Semakin Menghilangnya Salju Abadi di Puncak Jayawijaya, tampilan tahun 1981-2021. Dok. PSLH UGM (Google Earth, 14 April 2022)
Glester di gunung yang dinamai Nemangkawi Ninggok oleh suku Amungme itu, saat ini telah hilang sebanyak 93 persen dalam 38 tahun, sejak 1980.[viii] Pencairan gletser akan memastikan, hilangnya catatan sejarah iklim yang unik dan tak tergantikan, serta dampak ekonomi, pertanian, dan budaya yang mendalam pada komunitas lokal.[ix] Masyarakat Papua di Indonesia maupun masyarakat Papua Nugini, puncak dengan gletser dianggap sebagai tempat atau kepala dewa mereka.
Generasi bangsa Indonesia saat ini, sungguh beruntung. Masih diberikan kesempatan untuk menyaksikan salju abadi satu satunya di tanah air Indonesia. Ketika tiba waktunya, dimana salju abadi Indonesia menghilang, lalu berubah menjadi sebongkah batu berwujud “Monumen” semata, seperti Monumen Okjokull di Islandia.
Monumen Okjokull adalah simbol duka cita atas peristiwa “meninggalnya” gletser berumur 700 tahun bernama Okjokull (bahasa Islandia) pada tahun 2014. Sebuah film dokumenter berjudul “Not Ok” dirilis tahun 2018 untuk meningkatkan kesadaran tentang peristiwa dan konsekuensi perubahan iklim di gletser. Tulisan monumen yang dibangun tahun 2019, berbunyi: “Ok adalah gletser Islandia pertama yang kehilangan statusnya sebagai gletser. Dalam 200 tahun ke depan, semua gletser kita diperkirakan akan mengikuti jalur yang sama”. Di bawah tulisan, “Surat untuk masa depan”, berbunyi: “Monumen ini untuk mengakui bahwa kita tahu apa yang terjadi dan apa yang perlu dilakukan. Hanya Anda yang tahu, jika kita melakukannya”.
Gambar: Batu Nisan Okjokull, yang dibangun untuk sebagai ungkapan duka cita saat memperingati hilangnya Gletser Okjokul (Gletser Ok). Pengamatan Gletser saat ini mejadi salah satu destinasi wisata populer di Islandia.[x]
Semua pihak hanyalah bisa menanti. Menerima kenyataan pahit dengan turut menyaksikan, kapankah Gletser di Puncak Jayawijaya akan sepenuhnya menghilang. Karena menurut para ahli, sudah terlambat untuk mengambil tindakan.[xi] Usaha yang bisa dilakukan hanyalah mencoba memperlambat jumlah karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya yang dipancarkan ke atmosfer. Hal itu dapat mencegah Bumi semakin menghangat dan menuju situasi terburuk.
Sebuah pelajaran yang “abadi”, yang seharusnya dapat dengan mudah untuk dipahami serta dimaknai oleh seluruh masyarakat Indonesia, secara bersama-sama, tentang ancaman dan tanggapan atas perubahan iklim yang “nyata” sedang terjadi. Kedepannya, ketika kekayaan geografi berupa bentang alam glasial (Verstappen) di nusantara sepenuhnya benar-benar menghilang, maka hilanglah pula salah satu warisan alam yang berharga untuk generasi yang akan datang. Ironis…
[i] Lihat dalam: https://www.republika.co.id/berita/ra9ccu382/kepala-bmkg-peringatkan-pemerintah-segera-tekan-laju-perubahan-iklim
[ii] https://www.bmkg.go.id/press-release/?p=perubahan-iklim-makin-mengkhawatirkan-ini-pesan-presiden-jokowi-dan-presiden-ke-5-ri-di-hmd-2022&tag=press-release&lang=ID
[iii] https://www.bmkg.go.id/press-release/?p=perubahan-iklim-makin-mengkhawatirkan-ini-pesan-presiden-jokowi-dan-presiden-ke-5-ri-di-hmd-2022&tag=press-release&lang=ID
[iv] Sumber gambar: https://marmotamaps.com/en/blog/wp-content/uploads/Seven-Summits_H%C3%B6hen-1024×257.png
[v] https://astrobiology.nasa.gov/news/tropical-glaciers/
[vi] Lonnie G. Thompson, Mary E. Davis, Ellen Mosley-Thompson, Stacy E. Porter, Gustavo Valdivia Corrales, Christopher A. Shuman, Compton J. Tucker, The impacts of warming on rapidly retreating high-altitude, low-latitude glaciers and ice core-derived climate records, Global and Planetary Change, Volume 203, 2021, 103538, ISSN 0921-8181, https://doi.org/10.1016/j.gloplacha.2021.103538.
Lihat juga dalam: (https://nationalgeographic.grid.id/read/132775084/gletser-di-puncak-carstensz-dan-tempat-tropis-lainnya-meleleh-drastis?page=all)
[vii] https://www.huffpost.com/archive/au/entry/astonishingly-indonesia-has-a-glacier-but-its-about-to-disappear-forever_a_23264108
[viii] https://nationalgeographic.grid.id/read/132775084/gletser-di-puncak-carstensz-dan-tempat-tropis-lainnya-meleleh-drastis?page=all
[ix] Lonnie G. Thompson, Mary E. Davis, Ellen Mosley-Thompson, Stacy E. Porter, Gustavo Valdivia Corrales, Christopher A. Shuman, Compton J. Tucker, The impacts of warming on rapidly retreating high-altitude, low-latitude glaciers and ice core-derived climate records, Global and Planetary Change, Volume 203, 2021, 103538, ISSN 0921-8181, https://doi.org/10.1016/j.gloplacha.2021.103538.
[x] Lihat situsnya dalam: (https://www.notokmovie.com/)
[xi] Baca dalam: (https://nationalgeographic.grid.id/read/132775084/gletser-di-puncak-carstensz-dan-tempat-tropis-lainnya-meleleh-drastis?page=all)