Permasalahan Plastik dan Mikroplastik
Tak dipungkiri, apabila plastik sangat bermanfaat dan telah menjadi bagian integral dari kehidupan umat manusia. Namun di lain sisi, penggunaan produk plastik sekali pakai telah menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Baik plastik maupun mikroplastik, sekarang ada di mana-mana. Istilah “plastisphere” dalam habitat mikroba laut telah disematkan sebagai pengingat akan ancaman keberadaan plastik di lingkungan hidup.[i]
Sebagian besar masyarakat yang menggunakan plastik dalam setiap aktivitasnya, cenderung tidak pernah memikirkan, di mana sampah plastik dan mikroplastik yang dihasilkannya akan berakhir. Puntung rokok misalnya, yang filternya mengandung serat plastik kecil merupakan jenis sampah plastik yang paling banyak ditemukan di lingkungan. Kemasan pembungkus makanan, botol plastik, tutup botol plastik, tas belanjaan plastik, sedotan plastik, dan pengaduk adalah barang paling umum berikutnya.
Persoalan plastik adalah permasalahan lingkungan global. Menurut laporan yang diterbitkan oleh UNEP pada tahun 2021, total jumlah produksi plastik di seluruh dunia pada tahun 2017 mencapai 438 juta ton.[ii] Ironisnya, hanya sekitar 12% dari total plastik yang diproduksi kemudian dibakar dan hanya sekitar 9% didaur ulang. Sisanya diyakini berakhir di tempat pembuangan sampah atau di lingkungan sekitar kita, termasuk lautan. Tanpa tindakan yang berarti, maka plastik yang masuk ke dalam ekosistem perairan diperkirakan meningkat menjadi hampir tiga kali lipat, dari yang sebelumnya sekitar 11 juta ton pada tahun 2016 akan menjadi sekitar 29 juta ton pada tahun 2040.[iii]
Pencemaran plastik telah mengubah habitat dan proses alami, mengurangi kemampuan ekosistem untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, yang secara langsung mempengaruhi mata pencaharian jutaan orang, kemampuan produksi pangan, dan kesejahteraan sosial.[iv] Pada negara dengan sistem pengelolaan sampah padat yang buruk, maka sampah plastik, seperti kantong plastik sekali pakai, dapat ditemukan menyumbat saluran pembuangan sehingga menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk dan hama. Akibatnya adalah penyakit yang ditularkan melalui vektor, seperti malaria turut meningkat.[v]
Plastik juga merupakan kontributor emisi gas rumah kaca. Dimana sekitar 98 persen produk plastik sekali pakai dihasilkan dari bahan bakar fosil. Tingkat emisi gas rumah kaca yang terkait dengan produksi, penggunaan, dan pembuangan plastik berbasis bahan bakar fosil konvensional diperkirakan akan tumbuh hingga 19 persen dari anggaran karbon global pada tahun 2040.[vi]
Sebagian besar barang plastik sesungguhnya tidak pernah hilang sepenuhnya, mereka hanya tercerai menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan sangat kecil. Mikroplastik tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui inhalasi dan penyerapan dan terakumulasi dalam organ. Mikroplastik telah ditemukan di darah, paru-paru, hati, limpa, dan ginjal kita. Sebuah penelitian baru-baru ini mendeteksi mikroplastik di plasenta bayi yang baru lahir. Dampak sepenuhnya pada kesehatan manusia masih belum diketahui. Namun, ada bukti bahwa bahan kimia terkait plastik, seperti metil merkuri, plasticizer, dan penghambat api, dapat masuk ke dalam tubuh dan terkait dengan masalah kesehatan.[vii]
Tonton: POLES (Podcast Lestari) “Mikroplastik Bikin Panik”
Sampah plastik telah menyebar mencemari sumber-sumber air, seperti sungai dan danau. Secara global, tak kurang dari 1.000 sungai menjadi penampungan sampah plastik, dan menjadi penyumbang utama pencemaran lautan. Diperkirakan sebesar 0,8 dan 2,7 juta ton sampah plastik di perairan daratan dialirkan menuju lautan.[viii] Menurut Laporan UNEP, maka plastik telah menjadi bagian sampah laut terbesar, paling berbahaya dan paling persisten, terhitung setidaknya 85 persen dari total sampah di lautan. Terlepas dari upaya saat ini, maka diperkirakan 75 hingga 199 juta ton plastik saat ini ditemukan di lautan kita.[ix] Setiap menitnya, setara dengan satu truk sampah plastik dibuang ke laut kita.[x]
Diperkirakan, rata-rata sekitar 80-90% plastik laut berasal dari sumber berbasis darat, termasuk melalui sungai. Sedangkan proporsi yang lebih kecil yang berasal dari sumber berbasis laut seperti perikanan, akuakultur, dan pelayaran komersial atau kapal pribadi. Dari 80% tersebut, tiga perempat diperkirakan muncul sebagai akibat dari kurangnya skema pengumpulan yang efisien dan fasilitas pengelolaan sampah yang optimal di banyak negara, dengan sisanya (seperempat) memasuki lingkungan laut dari kegiatan pembuangan sampah sembarangan dan kebocoran dari sistem pengelolaan sampah.[xi]
Tanpa adanya upaya pencegahan dengan skenario “business as usual”, maka jumlah sampah plastik yang memasuki ekosistem perairan dapat meningkat menjadi hampir tiga kali lipat, dari sebelumnya sekitar 9-14 juta ton per tahun pada tahun 2016, diperkirakan menjadi 23-37 juta ton per tahun pada tahun 2040. Dengan menggunakan pendekatan lain, jumlahnya diproyeksikan sekitar dua kali lipat dari perkiraan 19-23 juta ton per tahun pada 2016 menjadi sekitar 53 juta ton per tahun pada 2030.[xii] Pada tahun 2015, laporan bertajuk The New Plastics Economy: Rethinking the Future of Plastics yang dirilis Yayasan Ellen MacArthur memperkirakan ada lebih dari 150 juta ton plastik di lautan. Diperkirakan, pada tahun 2025 lautan akan berisi 1 ton plastik per 3 ton ikan apabila tidak ada upaya pencegahan dan pada 2050, diyakini jumlah plastik akan jauh lebih banyak daripada jumlah ikan di lautan.[xiii]
Baca Laporan UNEP: From Pollution to Solution: A global assessment of marine litter and plastic pollution
Laut adalah penyerap karbon terbesar di planet ini, menyimpan sebanyak 90 persen panas tambahan yang telah terperangkap emisi karbon di atmosfer kita dan sepertiga dari karbondioksida tambahan yang dihasilkan sejak revolusi industri. Sebuah studi tentang polusi plastik laut oleh GRID-Arendal, mitra UNEP, menunjukkan, bahwa empat ekosistem pesisir, seperti mangrove, lamun, rawa asin/ pasang di pesisir pantai dan terumbu karang, sedang menghadapi beban polusi plastik dari darat karena letaknya yang dekat dengan sungai. Padahal keempat ekosistem tersebut menyimpan karbon paling banyak dan berfungsi sebagai penghalang alami terhadap naiknya permukaan air laut dan badai. Semakin banyak kerusakan yang kita lakukan terhadap laut dan wilayah pesisir kita, semakin sulit bagi ekosistem ini untuk mengimbangi dan tetap tangguh terhadap perubahan iklim.[xiv]
Resolusi UNEP: “End Plastic Pollution: Towards an internationally legally binding instrument”
Sejak tahun 2017 UNEP telah menyatakan, bahwa kerangka kerja untuk menangani sampah plastik laut dan mikroplastik masih “terpecah-pecah dan tidak terkoordinasi” sehingga merekomendasikan upaya revisi dan memperkuatnya, atau mengembangkan kerangka kerja baru.[xv] Setelah lima tahun lamanya, pada tanggal 2 Maret 2022 akhirnya negara-negara berkomitmen untuk mengembangkan perjanjian yang mengikat secara hukum untuk mengakhiri pencemaran plastik. Dimana perwakilan dari 175 negara di Nairobi mendukung Resolusi Majelis Lingkungan PBB (UN Environment Assembly/ UNEA-5) membentuk perjanjian internasional yang mengikat secara hukum pada tahun 2024.[xvi]
Menurut Direktur Eksekutif UNEP Inger Andersen, komitmen tersebut menjadi kesepakatan lingkungan internasional multilateral yang paling penting, sejak Perjanjian Paris.[xvii] Resolusi bersejarah yang berjudul “End Plastic Pollution: Towards an internationally legally binding instrument” (Akhiri Polusi Plastik: Menuju instrumen yang mengikat secara hukum internasional) diadopsi dalam pertemuan UNEA-5.2, yang dihadiri oleh lebih dari 3.400 orang dan 1.500 peserta online dari 175 Negara Anggota PBB, termasuk 79 menteri dan 17 pejabat tinggi.[xviii]
Resolusi tersebut juga membahas siklus hidup plastik secara keseluruhan, termasuk produksi, desain, dan pembuangannya. Produksi dan pencemaran plastik berkontribusi terhadap tiga penyebab krisis bumi (triple planetary crisis), yaitu perubahan iklim, kerusakan alam dan pencemaran[xix], akibat berlangsungnya bencana dari :
- Paparan plastik dapat membahayakan kesehatan manusia, berpotensi mempengaruhi kesuburan, hormonal, metabolisme dan aktivitas neurologis, dan pembakaran plastik secara terbuka berkontribusi terhadap pencemaran udara.
- Pada tahun 2050, emisi gas rumah kaca yang terkait dengan produksi, penggunaan, dan pembuangan plastik akan mencapai 15 persen dari emisi yang diizinkan, dengan tujuan membatasi pemanasan global hingga 1,5°C (34,7°F).
- Sekitar 11 juta ton sampah plastik mengalir setiap tahun ke lautan. Ini mungkin tiga kali lipat pada tahun 2040. Lebih dari 800 spesies laut dan pesisir dipengaruhi oleh polusi ini melalui konsumsi, belitan, dan bahaya lainnya.
Resolusi Plastik juga menekankan perlunya langkah tranformasi menuju ekonomi sirkular, yang diyakini dapat mengurangi volume plastik yang memasuki lautan hingga lebih dari 80 persen pada tahun 2040; mengurangi produksi plastik murni sebesar 55 persen; menghemat US$70 miliar pemerintah pada tahun 2040; mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 25 persen; dan menciptakan 700.000 pekerjaan tambahan – terutama di belahan bumi selatan.[xx]
Lihat: Draft Resolusi End plastic pollution: Towards an international legally binding instrument
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nation Convention of Law of the Sea/ UNCLOS) memang telah mengamanatkan, kepada negara-negara untuk melindungi lingkungan laut. Pasal 194 UNCLOS menetapkan, kepada negara-negara untuk mengambil tindakan-tindakan dalam rangka mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut, yang meliputi segala sumber pencemaran lingkungan laut.[xxi] Selain itu, Pasal 207 Ayat (1) menetapkan, bahwa Negara-negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut dari sumber daratan, termasuk di dalamnya sumber yang berasal dari sungai-sungai, muara-muara, pipa-pipa dan fasilitas pembuangan lainnya.[xxii]
Meskipun UNCLOS telah mengatur perlindungan lingkungan laut, yang juga mengikat secara hukum, namun ketentuannya masih bersifat umum sehingga tidak memberikan mekanisme tata kelola yang memadai dan tepat untuk mengatasi masalah sampah plastik laut dari sumbernya. Padahal sampah plastik yang berakhir di lautan sebagian besar dihasilkan dari sumber polusi darat yang berada di yurisdiksi masing-masing negara. Karenanya pembentukan kerangka hukum dan kelembagaan pengelolaan sampah yang komprehensif dengan implementasi yang efektif di tingkat nasional dan daerah sangat diperlukan. Kerangka peraturan dan kelembagaan pengelolaan limbah yang komprehensif diharapkan dapat mengawasi seluruh siklus hidup produk plastik, daripada mengatur pendekatan pencegahan terhadap polusi limbah plastik dari daratan. Pengaturan tersebut mencakup langkah-langkah yang lebih spesifik dalam rangka menangani masalah produksi, transportasi, konsumsi, perdagangan, dan perlakuan akhir masa pakai plastik dan sifat aditifnya.[xxiii]
Berbeda dengan pengaturan di negara anggota Uni Eropa misalnya, dimana sejak 3 Juli 2021 telah memberlakukan larangan terhadap berbagai produk plastik sekali pakai, khususnya 10 produk yang paling banyak ditemukan mencemari pantai-pantai Uni Eropa.[xxiv] Misalnya penggunaan piring plastik sekali pakai, peralatan makan, sedotan, stik balon, dan cotton bud serta cangkir, wadah makanan dan minuman. Selain itu pengaturannya juga mencakup semua produk yang terbuat dari plastik yang dapat terurai (oxo-degradable), dengan tujuan mendorong pasar agar memanfaatkan bahan pengganti alternatif, yang lebih ramah lingkungan.
Gambar: Sepuluh Produk Plastik Yang Umumnya Mencemari Pantai di Eropa.[xxv]
Langkah Pemerintah Mengatasi Permasalahan Plastik
Resolusi plastik yang berjudul “End Plastic Pollution: Towards an internationally legally binding instrument” sesungguhnya selaras dengan langkah Indonesia untuk mengatasi permasalahan sampah plastik. Sebelumnya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut dengan tujuan untuk dapat mengurangi 70% sampah plastik di laut pada tahun 2025.
Indonesia adalah negara yang pernah dinobatkan sebagai kontributor pencemaran plastik di lautan terbesar kedua dunia, yakni 1,29 juta ton sampah plastik,[xxvi] sudah sepatutnya memulai langkah untuk berbenah diri. Pada tahun 2021, menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati, total sampah nasional mencapai 68,5 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 17 persen, atau sekitar 11,6 juta ton, adalah sampah plastik.[xxvii]
Berdasarkan studi Jambeck et.al., setiap orang Indonesia diperkirakan menghasilkan 0,5 Kg sampah per hari, jauh lebih sedikit daripada orang Amerika dan China, yang menghasilkan 2,6 Kg dan 1,10 Kg sampah plastik. Meskipun lebih rendah, namun sampah plastik yang tidak dikelola Indonesia diperkirakan mencapai 83%, sangat jauh tertinggal dengan Amerika yang hanya sebesar 2% dan Brazil sebesar 11%.[xxviii] Pemerintah karenanya harus menekan terciptanya produk plastik, yang telah meningkatkan jumlah timbulan sampah plastik (pengurangan) serta mendorong upaya pengelolaan (penanganan) sampah plastik secara optimal.
UNEP telah menekankan, bahwa Pemerintah adalah aktor kunci dalam permasalahan plastik, karena berwenang menetapkan aturan main untuk semua pemangku kepentingan. Karenanya UNEP memberikan beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah dalam rangka mengatasi permasalahan plastik, antara lain yaitu:
- Pemerintah dapat mulai menghilangkan produk plastik yang tidak dibutuhkan dan menjadi sumber permasalahan, misalnya melalui larangan atau pengurangan penggunaan plastik sekali pakai yang dibarengi dengan langkah promosi untuk alternatif yang lebih berkelanjutan, seperti alternatif plastik yang dapat digunakan kembali atau lebih ramah lingkungan.
- Pemerintah juga dapat mempromosikan inovasi sehingga plastik yang kita butuhkan dirancang dan dibawa ke dalam perekonomian dengan cara yang memungkinkan peredarannya. Ini termasuk memungkinkan sistem penggunaan kembali sebagai norma daripada pengecualian. Di beberapa negara, skema penggunaan kembali terhambat karena wadah kosong dianggap sampah, dan oleh karena itu perlu penanganan khusus.
- Banyak pemerintah mengimplementasikan konsep Extended Producer Responsibility (EPR) untuk memastikan insentif yang tepat diberikan agar plastik dan bahan lainnya tetap ekonomis. Industri dapat didorong agar menghilangkan kemasan atau produk plastik yang bermasalah atau tidak perlu dengan mendesain ulang produk untuk meningkatkan keberlanjutan dan menginovasi model bisnis mereka untuk beralih dari produk plastik sekali pakai ke produk plastik yang dapat digunakan kembali. Perusahaan harus memberikan informasi keberlanjutan yang andal dan transparan sehingga konsumen dapat melakukan pembelian berdasarkan informasi. Perusahaan juga dapat meningkatkan penggunaan konten daur ulang dalam produk baru untuk mengedarkan plastik dalam perekonomian.
- Pemerintah perlu memastikan agar plastik dipergunakan selama mungkin. Ini membutuhkan infrastruktur pengumpulan sampah dan daur ulang material yang diperlukan, serta mekanisme pembiayaan yang memastikan keberlanjutannya. Hal ini membawa kita kembali ke skema EPR, di mana produsen plastik mengambil tanggung jawab yang signifikan atas pengelolaan akhir masa pakai produk mereka. Pemerintah dapat memberikan insentif kepada produk terbaik secara ekonomi dan lingkungan, seperti opsi yang dapat dipergunakan kembali atau di daur ulang. Harapannya adalah sektor industri mulai berinvestasi dalam teknologi dan infrastruktur pengumpulan dan pemilahan untuk meningkatkan tingkat pengumpulan dan daur ulang sampah plastik. Industri juga dapat didorong untuk memastikan dialokasikannya pendanaan yang cukup, dalam upaya pengumpulan dan pemrosesan kemasan/produk plastik setelah digunakan.
- Pemerintah juga bertanggung jawab untuk meningkatkan kampanye kesadaran publik, dan mendorong perubahan perilaku dengan menawarkan insentif untuk mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang, sebaliknya juga memberlakukan disinsentif atau pungutan bagi yang tidak melakukannya.
[i] Lihat dalam: https://www.unep.org/plastic-pollution
[ii] United Nations Environment Programme (2021). Drowning in Plastics – Marine Litter and Plastic Waste Vital Graphics.
[iii] United Nations Environment Programme (2021). Drowning in Plastics – Marine Litter and Plastic Waste Vital Graphics.
[iv] Lihat dalam: https://www.unep.org/plastic-pollution
[v] Lihat dalam: (https://www.unep.org/interactives/beat-plastic-pollution/)
[vi] United Nations Environment Programme (2021). Drowning in Plastics – Marine Litter and Plastic Waste Vital Graphics.
[vii] Lihat dalam: (https://www.unep.org/interactives/beat-plastic-pollution/)
[viii] Lihat dalam: (https://www.unep.org/interactives/beat-plastic-pollution/)
[ix] United Nations Environment Programme (2021). From Pollution to Solution: A global assessment of marine litter and plastic pollution. Nairobi.
[x] https://www.unep.org/plastic-pollution
[xi] F. Gallo, C. Fossi, R. Weber, et al., Marine litter plastics and microplastics and their toxic chemicals components: the need for urgent preventive measures, Environ. Sci. Eur., 30 (2018), p. 13, 10.1186/s12302-018-0139-z
[xii] United Nations Environment Programme (2021). From Pollution to Solution: A global assessment of marine litter and plastic pollution. Nairobi.
[xiii] World Economic Forum, Ellen MacArthur Foundation and McKinsey & Company, The new plastics economy—Rethinking the future of plastics., Tersedia di (https://ellenmacarthurfoundation.org/the-new-plastics-economy-rethinking-the-future-of-plastics). Diakses tanggal 12 April 2022, 2016. (2016).
Baca juga Hsing-Hao Wu, A study on transnational regulatory governance for marine plastic debris: Trends, challenges, and prospect, Marine Policy, Volume 136, 2022, 103988, ISSN 0308-597X, https://doi.org/10.1016/j.marpol.2020.103988.
[xiv] From Pollution to Solution: a global assessment of marine litter and plastic pollution
[xv] UN Environment, 2017. Combating Marine Plastic Litter and Microplastics: An Assessment of the Effectiveness of Relevant International, Regional and Subregional Governance Strategies and Approaches.
[xvi] Lihat dalam: https://www.unep.org/news-and-stories/press-release/historic-day-campaign-beat-plastic-pollution-nations-commit-develop
[xvii] Lihat dalam: https://www.unep.org/news-and-stories/story/what-you-need-know-about-plastic-pollution-resolution
[xviii] Lihat dalam: https://www.unep.org/news-and-stories/press-release/historic-day-campaign-beat-plastic-pollution-nations-commit-develop
[xix] Planetary Boundaries adalah istilah yang diperkenalkan pada 2009 oleh sekelompok ilmuwan untuk masyarakat seluruh dunia guna melakukan pembangunan berkelanjutan di segala sektor yang ramah lingkungan. Planetary Boundaries adalah sebuah pendekatan dalam menentukan batasan lingkungan di mana manusia dapat hidup dengan baik dan sehat. Dari sembilan boundaries atau batas awal yang diusulkan, PBB mengidentifikasi tiga batasan yang mungkin mendorong sistem bumi ke keadaan baru jika dijalani dan juga yang memiliki pengaruh luas pada boundaries atau batas lainnya.
[xx] https://www.unep.org/news-and-stories/press-release/historic-day-campaign-beat-plastic-pollution-nations-commit-develop
[xxi] Article 194 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982)
[xxii] Pasal 207 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982)
[xxiii] Baca juga dalam Ina Tessnow-von Wysocki, Philippe Le Billon, Plastics at sea: Treaty design for a global solution to marine plastic pollution, Environmental Science & Policy, Volume 100, 2019, Pages 94-104, ISSN 1462-9011, https://doi.org/10.1016/j.envsci.2019.06.005.
[xxiv] Mulai 3 Juli 2021, menurut Directive (EU) 2019/904, Negara Anggota UE harus, melalui undang-undang nasional mereka, memastikan bahwa produk plastik sekali pakai tertentu yang ditempatkan di pasar mereka memiliki tanda pada kemasan atau produk itu sendiri. Lihat dalam (https://ec.europa.eu/environment/topics/plastics/single-use-plastics/sups-marking-specifications_en)
[xxv] https://foodmadegood.hk/wp-content/uploads/2021/08/Silbo_infografika_elementy_plastikowe_morze_eng.png
[xxvi] JR Jambeck, et al., Marine pollution. Plastic waste inputs from land into the ocean. Science 347, 768–771 (2015).
[xxvii] CNN Indonesia, “Sampah Plastik 2021 Naik ke 11,6 Juta Ton, KLHK Sindir Belanja Online”, 26 Februari 2022, sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220225173203-20-764215/sampah-plastik-2021-naik-ke-116-juta-ton-klhk-sindir-belanja-online.
[xxviii] JR Jambeck, et al., Marine pollution. Plastic waste inputs from land into the ocean. Science 347, 768–771 (2015).