• Tentang UGM
  • Penelitian
  • Perpustakaan
Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Lingkungan Hidup
Universitas Gadjah Mada
  • Profil
    • Sambutan Kepala PSLH
    • Visi dan Misi
    • Sejarah PSLH UGM
    • Kegiatan
    • Hubungi Kami
  • Pengelola dan Staff
    • Kepala PSLH
    • Kepala Bidang
    • Bidang Pelatihan dan Kerjasama
    • Bidang Penelitian Pengabdian Masyarakat
    • Bidang Publikasi
    • Bidang Administrasi Umum dan Kepegawaian
    • Bidang Keuangan dan Inventaris Aset
    • Bidang Media dan IT
  • Pelatihan
    • Agenda Pelatihan
    • World Bank
    • FAQ
  • Resource
    • Opac
    • Info Layanan
    • Referensi
    • Text Book
    • Hasil Penelitian
    • Pengadaan Buku
    • Jurnal
      • Jurnal Umum
      • Jurnal PSLH
    • Penerbitan
    • Buku Tamu
  • Event
    • Hibah Penelitian Mahasiswa Tahun 2023
    • Prosedur Peminjaman Ruang
    • Desa Wisata Pinge
    • Pameran Virtual
    • Pendaftaran Webinar
    • Download
      • Virtual Background Webinar
      • Virtual Background
      • e-Book Tata Kelola Sawit Indonesia
  • Blog
  • Beranda
  • Berita
  • 80 Persen Petani di Jawa Tidak Punya Lahan

80 Persen Petani di Jawa Tidak Punya Lahan

  • Berita, Seminar
  • 21 January 2012, 14.04
  • Oleh:
  • 0

Sekitar 70 persen masyarakat miskin di seluruh dunia berada di pedesaan. Dan sekitar 80 persen diantaranya bekerja di sektor pertanian, padahal akses lahan untuk pertanian semakin sempit. Akibatnya, pemuda yang berumur 15-24 tahun yang menjadi pengangguran terbuka dan setengah pengangguran. Oleh karena itu, kebijakan penyediaan lapangan kerja di sektor pertanian perlu dipikirkan oleh pemerintah. Salah satunya pemberian akses kepemilikan lahan. Demikian yang disampaikan oleh sosiolog pedesaan asal Belanda Prof. Ben Bhite, Ph.D dalam kuliah umum ‘Rural, Youth and Future Farming’ di Fisipol UGM, Jumat (20/1).

Guru besar emeritus dari Institutes of Social Studies, Denhaag, Belanda, yang sejak tahun 70-an sudah melakukan penelitian pedesaan di Indonesia ini mengatakan masa depan pertanian semakin terancam dengan berkurangnya minat pemuda untuk menjadi petani. Apalagi dalam pendidikan di sekolah para remaja tidak diajarkan untuk jadi petani. “Anak yang membantu orangtuanya bertani setelah atau sebelum sekolah dianggap tidak baik. Saya kira kesalahan pemikiran yang selama ini selalu mengadopsi konsep dari barat,” katanya.

Dia mengatakan, jika pemerintah menginginkan pemuda untuk banyak menciptakan lapangan kerja harus diikuti pemberian kesempatan kerja oleh pemerintah. Karena untuk menciptakan lapangan kerja baru, paling tidak pemuda harus menjadi karyawan selama puluhan tahun untuk menimba pengalaman agar bisa mendirikan usaha di kemudian hari. Oleh karena itu, pemuda yang belajar dan membantu orang tuanya bertani dirasakan sangat bermanfaat. Namun yang terjadi kemudian, tidak mudah bagi anak-anak untuk menggarap langsung.

Berdasarkan penelitiannya di lapangan, Ben White melihat pertanian saat ini lebih banyak dikuasai oleh generasi tua. Sementara generasi muda sulit untuk mendapatkan lahan pertanian. Para pemuda pun setidaknya harus menunggu jika ada pembagian tanah dari orang tuanya atau menunggu hingga orang tuanya tiada. “Paling tidak harus menunggu 30-40 tahun untuk jadi petani,” katanya.

Namun yang lebih menyedihkan, kata Ben White, pertanian sudah tidak menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan, sehinga banyak petani memilih menjual lahannya. “Sekitar 80 persen petani di Jawa tidak punya lahan lagi karena sudah dijual,” katanya.

Menurutnya perlu ada kebijakan dari pemerintah untuk memikirkan problem ini. Paling tidak memberikan akses lahan bagi pemuda. “Kulon Progo, di masa lalu, pemuda yang masih penganggur cukup datang ke kepala desa untuk minta lahan agar bisa digarap,” katanya.

Dia berpendapat, kesempatan pengembangan pertanian skala kecil untuk pemuda sangat membantu untuk mengentaskan persoalan kemiskinan namun harus diikuti dengan akses kepemilikan lahan yang diberikan oleh negara. Disamping itu, pertanian skala kecil juga mendukung pelestarian bumi ketimbang pertanian dengan skala besar yang lebih banyak merusak hutan.

Sumber: Humas UGM

Tags: pembangunan berkelanjutan
Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM

Kompleks Gedung PSLH-EFSD UGM, Jl. Kuningan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta 55281

   pslh@ugm.ac.id
   +62 (274) 565722, 6492410
   +62 (274) 517863

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY